Pasang Surut Berdangdut

Ahmad Sugeng Riady


PUCUKMERA.ID– Sejak kecil saya sudah diakrabkan dengan musik. Sarapan pertama sebelum nasi dan lauk sekadarnya masuk, musik sudah merangsek masuk ke tubuh keluarga. Pagi-pagi sekali, si Mbah sudah geragapan memutar radio yang salurannya hanya itu-itu saja. Itupun suaranya cukup berisik.

Tapi bagi kami saat itu, memiliki radio menjadi kemewahan tersendiri. Melalui radio bisa sedikit tahu tentang dunia luar dengan seabrek peristiwa yang tengah terjadi. Kendati kami juga luput di mana, kapan, dan siapa tepatnya peristiwa itu sendiri mengejawantah. Kami hanya menerka-nerka melalui bebunyian atau suara.

Radio itu juga membuat badan kami bergoyang, meski keluarga saya tidak bisa menjamin perut pada hari itu bisa kenyang. Pencaharian keluarga sebagai buruh tani dengan pundi-pundi keuntungan yang tidak seberapa, keluarga mengkalkulasi konsumsi rumah tangga dengan seadanya agar cukup dimakan oleh semuanya.

Kondisi itu semakin ditegaskan dengan selera musik keluarga kami pada dangdut. Musik dengan alunan kendang yang liriknya padat nasihat. Nama-nama kondang seperti Rhoma Irama, Elvi Sukaesih, Mansur S, dan Ike Nurjanah lebih dulu akrab dengan saya ketimbang nama presiden beserta jajarannya pada saat itu.

Dulu musik dangdut di desa dianggap sebagai representasi dari kaum menengah ke bawah. Orang-orang yang menggilai dangdut adalah mereka yang tiap hari kelimpungan mencari sesuap nasi. Maka wajar jika hari ini musik dangdut lebih tumbuh subur di wilayah pedesaan dibanding perkotaan.

Musik dangdut dulu juga belum berserah diri dengan pop, rock, jazz, atau reggae agar menarik minat orang kota. Perubahan musik dangdut yang paling kentara dapat dilihat pada transformasinya menjadi lebih bergairah dengan alunan koplo. Suara gendang dan seruling memicu pendengar musik dangdut keranjingan bergoyang. Selain berubah koplo, rentetan pendatang baru juga turut mewarnai belantika goyangan musik dangdut.

Buntut dari perubahan ini memicu garis demorkasi yang tegas dalam tubuh musik dangdut. Mbak Inul Daratista yang mewakili musik dangdut aliran bergairah berhadapan dengan Bang Haji Roma Irama dengan aliran musik dangdut tipe ceramah. Keduanya saling seteru. Meskipun kronologinya mewartakan Mbak Inul Daratista dengan kelonggaran hatinya berkunjung dan sungkem apabila selama ia bermusik dangdut luput dinilai kurang beretika. Bang Haji Roma Irama memaafkan. Hanya saja sejak kejadian itu, keduanya belum pernah mau berduet dalam satu acara di stasiun televisi.

Kejadian itu juga menandai kemonceran karir Mbak Inul Daratista. Ia beberapa kali diundang untuk menjadi juri kontes dangdut, mengisi acara dangdut dalam peringatan hari tertentu, sampai melebarkan sayap ke industri makanan. Bahkan tren dangdut koplo dengan ragam nama goyangan juga mulai banyak diproduksi. Nama goyangan yang dipilih juga cukup membumi sehingga memudahkan masyarakat mengingat meski tengah terlilit utang sana-sini.

Setelah musik dangdut melalui koplonya menuai keberhasilan, musik dangdut mulai berani mengawinkan dengan lagu pop. Lagu pop yang diproduksi band papan atas seperti Peterpan, Ungu, ST 12, Radja, dan semacamnya didangdutkan. Secara tidak langsung, keduanya sama-sama saling diuntungkan. Mendangdutkan lagu pop berarti menambah variasi lirik musik dangdut, sedangkan bagi lagu pop sendiri dapat memperoleh pendengar di luar target pasarnya.

Belakangan musik dangdut lebih cair lagi. Lirik lagu yang memuat bahasa kearifan lokal juga didangdutkan. Nama-nama tenar seperti Via Valen, Nella Kharisma, Jihan Audi, dan lain-lain menjadi garda depan mempopulerkan tembang kearifan lokal dengan bergoyang.

Bahkan hari ini nama-nama itu lebih populer ketimbang pedangdut yang memiliki cengkok dan suara mendayu-dayu. Konkretnya bisa ditilik melalui ragam media sosial. Sekali diantara nama-nama itu muncul, ratusan ribu kali orang-orang akan memberi komentar dukungan, menekan like, dan mendistribusikannya ke grup media sosial.

Fenomena musik dangdut menunjukkan bahwa, apa yang keluarga saya alami tempo dulu memiliki kemiripan dengan hari ini. Musik dangdut hanya sebagai hiburan untuk mengisi waktu sebelum, ketika, dan setelah beraktivitas. Toh dengan diputarkan alunan musik dangdut, pikiran tidak lagi tertuju pada beratnya beban kerja atau upah yang tidak seberapa, tapi pikiran telah dituntun untuk menikmati setiap lirik dan dendangan pedangdut. Saya meyakini, pencipta lirik dangdut memiliki misi terselubung di dalamnya.

Apalagi hari ini. Hiburan musik dangdut sudah mewabah ke mana-mana dan siapa saja. Kakak saya tidak pernah absen untuk mendengarkannya melalui pengeras suara. Orang tua saya juga demikian. Tetangga saya yang baru pulang merantau di luar negeri, setiap hari juga memutar Nella Kharisma. Belum lagi jika saya akumulasikan dengan komentar dan jumlah penonton dangdut di media sosial yang angkanya menyentuh jutaan.

Ya, musik dangdut memang berakar pada ketidakberdayaan pendengarnya dalam perundungan nasib yang tidak memihak padanya. Namun berawal dari itu, musik dangdut pelan-pelan mulai merangsek naik. Meski lika-liku jalannya juga tidak bisa dihilangkan dari narasi historis. Sama seperti penikmatnya yang dulu dari kalangan bawah yang sekarang mungkin sudah berkecukupan dan memiliki banyak keturunan. Bisa jadi musik dangdut dan pedangdut di masa depan menjadi bagian dari jalannya penemuan identitas diri manusia Indonesia. Atau bisa jadi tidak.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment