Wildan Kurniawan
Penulis buku kumpulan cerpen “Bicara Setelah Mati” (2018) dan antologi cerpen lainnya

---

Nasi Goreng Kuah Air mata

Tengah malam sekali gadis kecil berambut keriting memasak di dapur.
Ditemani sepasang sendok garpu dan wajan yang murung.
Lemari es diam-diam menatapnya dingin.
Membungkam hening, membekukan waktu.

Gadis kecil berambut keriting menuangkan minyak sayur ke atas wajan.
Kompor dinyalakan.
Minyak sayur merintih kepanasan.
Waktu yang membeku kembali melaju.

Rintihan minyak sayur membangunkan ibu.
Selekas cahaya gadis kecil berambut keriting dan ibu bertemu.
“Aku memasak makanan kesukaan ibu.”
“Nasi goreng kuah air mata?”
“Ya, dan segelas teh rasa hampa.”

Gadis kecil berambut keriting dan ibu duduk di meja makan.
Bersama malam, melahap hidangan.
Di atas lemari es sepasang mata memperhatikan dari dalam bingkai.

“Ibu, boleh ayah ikut makan?”
Ibu mengangguk mengiyakan.
Sepasang mata yang memperhatikan dari dalam bingkai kini bersanding di meja makan.
Bersama nasi goreng kuah air mata.
Dan segelas teh rasa hampa.

Cilacap, 12 Januari 2021

Sajadah Putih Kecoklatan

Malam yang sudah sepertiga membangunkanku.
Wajah beraroma peluh merengek minta dibasuh.
Hawa dingin jatuh merambat di bibir kulit.
Menimpali garis nadi yang semakin menyempit.

Sajadah putih kecoklatan lekas-lekas aku hempaskan.
Di ruang sempit tempatku mengadu dosa dan iman.
Bau apak sajadah sudah ditolak kuman.
Tapi masih kupakai bertemu Tuhan.

Rangkaian sembah yang tuntas kutunaikan.
Di sepertiga malam demi sebuah kemenangan.
Menikung mulus, lancar, bebas hambatan.

Kupanjatkan doa khusyuk sekali.
Di tepi langit, malaikat sedang memanen dengki.
Malaikat berkata lirih,
“Tuhan, hamba macam mana yang lebih taat dari kami?”

Di atas sajadah sembari bersujud.
Sisa doa khusyuk mulai lenyap tak berwujud.
Azan subuh merampas lelapku dalam sujud.

Sajadah putih kecoklatan mulai basah.
Bukan sebab air liurku tumpah.
Namun, ia dibanjiri dosaku yang berlimpah.

Yogyakarta, 17 Januari 2021

Laki-laki Tua Penjaja Doa

Di bibir sumur yang tipis,
laki-laki tua menyimpan takdir yang teriris-iris.
Melamun hampa di hamparan kesabaran.
Memeluk kenangan di halaman kesunyian.

Demi jangkrik yang tak pernah berhenti berisik.
Laki-laki tua hanya berselimut jarik.
Beraroma terik yang sedikit tengik.
Hidupnya ditemani doa-doa manusia di pemakaman.
Menunggu giliran diijabah Tuhan.

Laki-laki tua berjalan keliling desa.
Menjajakandoa-doa yang tercecer di tepian makam.
Sebagian doa telah menjadi masam.
Sisanya muram kemudian padam.

Keluh adalah musuh yang tangguh.
Tapi laki-laki tua penjaja doa tak pernah mengeluh.
Meski doa yang ia jajakan selalu luruh.
Apa guna peluh jika hanya berkeluh
sedang kepada takdir ia harus patuh.

Laki-laki tua kini menjelma renta.
Ia mengais doa-doa yang tersisa.
Sedikit berharap terselip namanya di sana.
Tapi tak ada satu saja doa untuk dia.

Sambil menyelam ke dasar sumur,
laki-laki renta menjinjing sembarang doa.

Entah milik siapa.
Entah kepada siapa.
Entah apa isinya.
Entah isinya apa.
Demi menghadap Tuhan, mencuri doa adalah keniscayaan.

Cilacap, 19 Januari 2021

---

Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.