Para Pengoyak Mimpi 


Tulisan ini hendak menceritakan mimpi-mimpi besar yang sempat tercecer, khayalan-khayalan yang sempat terkoyak karena berbagai hal: kepentingan, ejekan, kegamangan dan bahkan hinaan. Seluruhnya riuh-rendah di pikiran. Berputar cepat, persis seperti komidi putar yang digerakkan oleh listrik bertegangan tinggi.  

Angan-angan kami bermula kurang lebih satu tahun yang lalu. Kami berkumpul, berdiskusi, memeras ide, membahas banyak hal yang bisa dikerjakan. Melelahkan sekali, ketika itu. Hingga akhirnya terbentuk satu angan besar, kami menyebutnya “Creative partner.”

Saat itu, yang ada dalam benak kami, Creative partner adalah wujud nyata dari keinginan ‘gila’ dan ‘nekat’ anak-anak muda tentang media online, fotografi, dan vidiografi. Semuanya jadi satu di bawah naungan “Pucukmera.”

Soal nama, kami spontan saja. Nama pucukmera, ketika itu, dipilih karena representasi tanaman pucukmera yang selalu segar dan bisa tumbuh di mana-mana. Jadi, sederhananya, kami memilih lema “Pucukmera” sebab ketahanannya hidup di berbagai situasi alam. Harapanya kami pun begitu: menjadi tim tangguh, terus melaju, melangkah, gesit dan sigap meraih semua target yang sudah dicanangkan, biarpun keadaannya menyedihkan.

Tidak mudah memang. Semua yang kami anggap ringan, hanyalah ilusi. Paceklik keuangan, ketidaksamaan spirit dan daya tarung yang tak seragam, membuat kami betul-betul goyah. Ketika goyah itulah, semua impian seolah pudar, lenyap satu per satu. Sepi. Hening. Dan mencekat.

Di saat semangat kami mulai gelap dan terguncang, perlahan kegamangan menyelinap. Biarpun begitu, kami selalu dan ‘harus’ senantiasa ingat tentang Ikal, seorang anak Melayu kampung, yang sungguh gigih dan berdaya untuk terus bekerja di pelabuhan, menjadi kelasi paling rendahan, demi mimpinya tentang perkuliahan. Ia tak peduli apa pun. Ia hanya berbekal mimpi. Begitulah imajinasi Andrea Hirata tentang tokoh rekaannya di dalam Sang Pemimpi.

Abdul Rivai, seorang murid STOVIA awal yang punya semangat besar atas nasionalisme, juga hanya berbekal mimpi. Setidaknya itu yang ditulis Hans Pols di dalam Merawat Bangsa: Sejarah Pergerakan Para Dokter Indonesia.

Negara-negara Eropa Timur, ketika ingin memerdekakan diri dari cengkeraman Rusia, mungkin juga hanya berbekal mimpi tentang kebebasan. Nuansa itu diulas oleh Ong Hok Ham, sejarawan Indonesia yang rela menulis sejarah dengan khas dan populer, sehingga kita, yang begitu awam sejarah, bisa rileks menikmati sebagian adegan, plot dan alur cerita yang memukau.

Ham, bahkan juga mencatat tentang impian-impian keturunan Tionghoa untuk menjadi kaya, menjadi merdeka atas peraturan hukum Kolonial, yang menempatkan mereka pada kasta kedua di Hindia Belanda.

Para penari Ronggeng di Dukuh Paruk, Srintil salah satunya, rupanya juga berangan. Ia berharap memiliki keluarga sebagaimana banyak keluarga di desa yang hidup bahagia. Meski takdir tak berkehendak, Srintil terus berupaya. Mencari cintanya pada seorang lelaki, Rasus namanya, yang rupanya telah sukses menjadi tentara. Demikian tulis Ahmad Tohari di dalam novelnya yang paling hebat, Ronggeng Dukuh Paruk.

Para demonstran tahun 1966, mungkin juga berimajinasi, bermimpi tentang kesejahteraan dan kedaulatan yang sepatutnya dibagi rata, bisa dinikmati oleh banyak kepala. Juga, para demonstran Mei 1998. Mereka bergerak bisa jadi karena satu hal saja: Mimpi atas kehidupan yang lebih layak, apik dan beradab. Tidak lebih. Jadi, apa bekal mimpinya? Tidak ada. Hanya bayang-bayang dan khayalan yang dikonfigurasi sedemikian rupa.

Sampai sini, sepertinya memang mimpilah yang menuntun manusia untuk terus bergerak, melangkah dan berharap. Jika realitas tak sesuai keinginan, manusia hanya bermimpi dan berharap, bercita dan ber-asa lagi. Merencanakan kembali. Inilah, dan memang begitulah kehidupan: terdiri atas dua dimensi, ideal dan realita. Keduanya berkelindan, terikat satu sama lain. Tak mungkin terlepas. Bila pun terlepas, itulah kabar tercerabutnya ruh dari jasad sari pati tanah.

Kembali lagi, tentang mimpi. Kami tak punya banyak hal untuk diandalkan. Kami hanya punya satu hal untuk dibanggakan: Angan tentang anak-anak hebat agar bisa berkreasi sesuai minat dan bakat.

Berat sebetulnya menuliskan dengan jujur impian ini. Kami paham dan mengerti, bahwa menuliskan mimpi-mimpi Pucukmera di masa depan untuk menjadi Creative Partner bagi banyak anak-anak muda hebat Indonesia, adalah suatu pengharapan yang berlebihan. Tapi mau gimana lagi, itulah spirit dan angan-angan yang ada di benak kami, tim Pucukmera.

Kami tahu, sederet kegetiran selalu menyelinap lembut di pikiran dan hati, setiap kali kami mengambil nafas sejenak: bagaimana jika kami gagal? Sungguh begitu, kami paham, itulah rasa kehidupan: penuh dilema, kompetisi, penyesalan, kebahagiaan, dan perayaan hura-hura.

Kami sudah mantap. Di saat Kota Malang mulai tumbuh menjadi kota semi metropolis, ladang pertanian mulai tergadai oleh kedai kopi, pedagang baru bermunculan, gaji karyawan terkerek naik karena himpitan inflasi, mobil-mobil pelat asing berdatangan, deru mesin mobil box barang semakin rapat di jalanan, dosen mulai bergerilya mencari ide penelitian, para kucing yang mulai hina karena tak ada lagi lahan untuk BAB, dan bau busuk sampah kota yang mulai menggunung di belakang Sardo, kami sudah memutuskan impian untuk hari depan: “Menjadikan Pucukmera rumah besar anak-anak muda Indonesia.” Muluk-muluk? Mungkin. Tapi, kami sedang berusaha. Itulah kami, para pengoyak mimpi

Salam,
Redaktur 

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment