Azhar Syahida
@azharsyahida
Kucing-kucing itu pengen berak. Mereka mencari tanah yang bisa digali dengan kuku-kuku kecilnya. Mereka menelisik, clingak-clinguk, menelusuri setiap sudut rumah di sepanjang gang kosku. Suara mereka, satu dua, terdengar parau. Tak tahan lagi!
Salah satu dari mereka sudah mulai berjalan pelan. Kaki belakangnya berjalan agak mengangkang, tanda betul-betul sudah di ujung dubur, kotorannya. Tapi nahas, hingga tai kucing itu keluar satu persatu, si kucing berbulu putih bercampur kuning kecoklatan itu tak menemukan sejengkal tanah pun. Dia, akhirnya, berak persis di tengah jalan gang. Semenit kemudian, baunya semerbak. Khas.
Semua tanah di wilayah ini telah tertutup semen. Terhitung sejak beberapa bulan lalu. Aku lupa persisnya. Yang pasti semenjak proyek penyempurnaan hunian mulai dijalankan.
Pohon-pohon di sepanjang gang juga tercekik oleh semen yang telah mengeras. Sebelum ini memang ada beberapa jengkal tanah di depan kontrakan, barang satu jengkal lebarnya dan sekitar 1,5 meter panjangnya, yang mana pohon-pohon hias biasa tumbuh leluasa di sana.
Dahulu, kucing-kucing di kompleks sini suka berak di sana. Kami, para penghuni kontrakan tak mempermasalahkannya, sebab mereka betul-betul disiplin ketika berak: menggali, jongkok, dan mengubur kotoran. Rapi dan bersih! Tidak hanya buang air besar, geng kucing itu juga suka buang air kecil di sana. Mereka menganggapnya seperti kakus umum, milik bersama, dan gratis.
Namun, semuanya berubah setelah wilayah ini disemen seluruhnya. Satu-satunya petak tanah yang ada di sepanjang gang, hilang. Lenyap dari peredaran. Saya tak tahu siapa yang menginisiasi. Tapi sepertinya otoritas manusia setempat. Mereka, orang-orang itu, pengen wilayahnya tak bau tai kucing. Bersih dan rapi. Anggapan yang salah, rupanya. Justru karena semen, kucing tak lagi disiplin. Sebaliknya, Semobrono, bahkan ugal-ugalan. Kucing-kucing jadi suka berak sembarangan. Kebiasaan disiplinnya hilang. Memprihatinkan. Sungguh.
Puak kucing itu, sepanjang pengamatanku, “tertindas” seluruhnya—jika aku boleh menggunakan diksi yang provokatif tersebut. Manusia memang terlampau tega, “Kuku kucing itu tak mampu menggali semen. Kuku-kuku mereka tak sekuat cengkeraman manusia.” Batinku memberontak. Kesal.
Betul adanya, manusia tega menghapus norma-norma kebiasaan kucing yang dahulu diajarkan oleh ibu-ibu mereka. Manusia benar egois. Termakan cerita memikat bahwa manusia adalah pusat segala peradaban di bumi, manusia adalah pemegang strata kehidupan tertinggi, sentra kehidupan. Dugaanku, bisa jadi benar bisa jadi salah, mereka adalah agen-agen antroposentrisme yang meyakini manusia adalah raja diraja makhluk hidup. Hmm, “cukup” simplistis.
Mari kita ajukan pertanyaan sederhana, “Bagaimana jika kucing-kucing itu adalah manusia?” Semua jamban ditutup dan Anda, semuanya, diminta berak di depan rumah. Hanya disediakan pelataran bersemen untuk berak. Adakah yang berkenan? Aku sendiri tidak. Selain tak etis, juga karena tak sesuai norma kesopanan manusia.
“Kuciiingg!” teriak ibu depan kontrakan. Ia menginjak kotoran kucing-kucing tertindas, rupanya.
Saya tertawa cekikikan. “Ah, teriakan naif, Bu!”
Malang, 5 Juli 2019 pk. 06:38 WIB