Papua, si Burung Kurus di Sangkar Emas

PUCUKMERA – Membahas Papua, berarti membahas investasi. Ya. Investasinya siapa lagi kalau bukan Freeport? Sebuah kerajaan raksasa penguasa investasi tambang emas dan tembaga di Papua yang telah menciptakan dominasi tambang di Tembagapura, Timika, sejak tahun 1967. Tak sadar, kini sudah 5 dekade lebih Freeport menelanjangi  Gunung Emas Grasberg.

Wilayah Tembagapura disebut oleh geolog dengan sebutan ‘Leher Burung Papua’. Asal mula sebutan ini adalah karena pulau Papua dengan Negara Papua Nugini mirip dengan bentuk burung, oleh karena itu, wilayahnya dibagi menjadi wilayah Kepala Burung, Leher Burung, Badan Burung, Kaki Burung, dan Ekor burung yang menjadi wilayah Negraa Papua Nugini.

Pembagian wilayah tersebut juga disebabkan asal mula Pulau Papua yang merupakan tumbukan dari berbagai sumber. Perlu diketahui, bahwa pembentukan daratan papua disumbangkan dari  lempeng Australia yang bergerak ke Utara  yang bertumbukan dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat akibat dari proses tektonik tersebut, maka Papua memiliki kekayaan alam yang fantastis. Hal ini wajar, karena dua lempeng memiliki karakteristik yang berbeda sehingga melahirkan sumber daya alam yang menjanjikan .

Tak tanggung tanggung, kekayan alam Papua sangat luar biasa. Sektor tambang menunjukan signifikansi daya tarik investor untuk mengelola Papua “dengan sebaik mungkin”.  Setelah itu, disusul oleh daya tarik pariwisata sekelas Raja Ampat yang memiliki keindahanyang memanjakan mata. Dapat dilihat bahwa potensi Papua sangat menjanjikan sebagai ladang investasi.

Kekayaan sumberdaya alam papua tersebut nahasnya berbanding terbalik dengan perekonomian masyarakat. Lagi-lagi, masyarakat hanya menjadi pengoperasi alat berat di lapangan. Tugas mereka adalah “mengeruk” Grasberg hingga borok tambang emas perusahaan ini dapat dengan mudah diidentifikasi dengan google maps. Dengan tugas yang berat pula, mereka hanya menerima gaji bulanan yang terbilang sedikit untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Film dokumenter berjudul Alkine Mokiye garapan WatchDoc cukup menggambarkan kesengsaraan masyarakat di atas bumi Papua ini. Belum lagi, di penghujung bulan Juni, tersiar kabar bahwa serangan tenaga asing ilegal Cina dengan gaji 40 juta per bulan di Nabire membuat sesak harapan warga Papua untuk sejahtera.

Tahun 2017 lalu, dalam perut papua masih terdapat  sebesar 2,1 miliar ton emas. Cadangan emas itu masih akan bertahan dan diperkirakan  akan habis pada tahun 2054. Periode yang cukup lama dengan sisa cadangan yang lumayan melimpah. Namun, akankah Indonesia tetap mempercayai Freeport?.

Sudah menjadi kewajiban sebuah perusahaan, terutama yang mengganggu keberlangsungan kehidupan lingkungan, untuk menerapkan TJSL (Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan) atau CSR (Corporate Social Responsibility). Sasarannya adalah stakeholder Freeport, termasuk lingkungan tempat mereka mengeruk konsentrat emas maupun tembaga. Tak ketinggalan, masyarakat sekitar yang terdampak dari perusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.

Penerapan TJSL atau CSR ini seharusnya menjadi optimalisasi yang tak terlewatkan. Mengingat, hak hak masyarakat sekitar dan alam yang direnggut sejak berdirinya perusahaan. CSR tentunya tidak menjadi bahan pencitraan semata di website resmi perusahaan. CSR harus menjadi bukti nyata pertanggungjawaban atas penambangan emas dan tembaga di Grasberg.  CSR tentunya juga bukan ajang pamer kebahagiaan palsu lewat foto anak anak yang terlihat bahagia. Jangan lagi ada burung kurus di sangkar emas. Jangan ada lagi saudara kami di Papua yang tak sejahtera!.

Oleh : Devi Wulantika Fitria
Illustrator : Didin

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment