Panduan Menjadi Oposisi yang Baik dan Bermartabat



Rezza Deviansyah
CEO bolehbaca.com dan Pustakawan di Boba Library


Pilpres sudah berakhir. Pemenang pun sudah ditentukan. Puncaknya, Jokowi dan Prabowo mengadakan pertemuan di Stasiun MRT Lebak Bulus beberapa waktu lalu dan menandai itikad baik di tingkat elit untuk melakukan proses rekonsiliasi nasional. Pertemuan ini seakan mengirim pesan kepada publik bahwa perseteruan sudah berlalu dan sudah saatnya semua anak bangsa kembali rukun dan saling berpelukan–seperti gestur yang kedua tokoh contohkan.

Sayangnya, tidak semua simpatisan dari kedua kubu merespon positif pertemuan ini, khususnya para pendukung Prabowo. Alhasil, tagar #kecewa dan #GoodbyePrabowo sempat trending di Twitter untuk melampiaskan kekecewaan pada Prabowo yang, menurut mereka, tidak mengapresiasi perjuangan dan militansi mereka selama masa kampanye.

Menyaksikan respon tersebut, saya merasa heran. Tidak suka dengan pemerintah itu wajar dan sah-sah saja. Toh pemerintah cuma sekumpulan manusia yang bisa melakukan salah dan khilaf. Apalagi demokrasi memberikan ruang bagi kebebasan menyuarakan aspirasi dan kritik agar tercipta mekanisme check and balance.

Sebab, peran oposisi dalam sistem demokrasi sangat vital. Sebagai kekuatan penyeimbang, oposisi bertanggung jawab dalam mengabarkan kepada publik tentang kesalahan suatu kebijakan publik atau penyalahgunaan wewenang oleh lembaga atau pejabat publik. Selanjutnya, oposisi mengonsolidasikan kekuatan publik untuk melawan kebijakan dan penyalahgunaan tersebut.

Intinya, pemerintah tidak sepatutnya bekerja sendiri tanpa kontrol oposisi. Sebab, pemerintahan tanpa oposisi sangat rentan terjerembab dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan. Seperti adagium Lord Acton yang masyhur, “Kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan yang absolut niscaya absolut pula korupnya” (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).

Tapi, mengingat kembali situasi dan lini masa media sosial berbulan-bulan sebelum Pemilu lalu, ketidaksukaan kepada pemerintah kerap diekspresikan oleh sebagian kelompok secara membabibuta dan tanpa etika. Hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah bertebaran di mana-mana. Membuat iklim demokrasi menjadi tidak sehat dan kontra-produktif dengan semangat kebangsaan dan kebinekaan.

Oleh sebab itu, diperlukan pola penyuaraan kritik yang lebih elegan dan bermartabat agar pilihan menjadi oposan tidak menjadi bumerang dalam lima tahun ke depan. Dan yang paling penting, agar timeline media sosial kita kembali sejuk dan tidak tercemari oleh ujaran kebencian, hoaks dan fitnah murahan.

Pertama, check and recheck (tabayyun) dulu sebelum membagikan informasi terkait pemerintah. Paling tidak dari sisi konten, produsen dan medianya.

Apakah informasinya menggunakan sumber-sumber yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Apakah kredibilitas penulisnya sudah teruji dan terkenal tidak pernah menebar fitnah. Apakah media yang menyebarkan informasi tersebut terbukti netral dan tidak berafiliasi dengan faksi politik manapun.

Namun sayangnya, kebanyakan orang cenderung mempercayai informasi yang mewakili perasaan dan pikiran mereka saja. Bukan benar atau salah yang menjadi bobot utama, tetapi soal senang atau benci. Tidak peduli apakah informasinya benar atau bohong, asal klik dengan isi hati, langsung klik tombol share.

Tidak jarang berpuluh-puluh bukti yang sudah dikumpulkan tidak dipercaya hanya karena tidak selaras dengan preferensi politik. Sementara meme yang cuma bermodal gambar dan celotehan bisa langsung disambar meski sudah jelas-jelas bohong dan tidak masuk akal. Inilah efek berpolitik cuma mengandalkan rasa sehingga emosi mudah diaduk-aduk tanpa mempedulikan akal sehat.

Kedua, jangan menghina dan menghujat dengan kata-kata yang tidak pantas.

Kamu manusia bukan setan. Gunakan nalar dan hati nuranimu. Jangan mentang-mentang sudah anti sama pemerintah, sampai-sampai gemar mencaci maki dengan hinaan dan umpatan yang kamu sendiri bakal marah bila orang lain melakukannya padamu.

Pastikan setiap kata yang terpajang di dinding media sosialmu sudah terfilter dan dapat diterima publik menurut ukuran akalmu. Sebab, segala yang berseliweran di media sosial adalah konsumsi publik dan menjadi tanggung jawab pemiliknya. Jangan sampai umpatan dan cacian yang kamu lontarkan malah menjerumuskanmu ke dinginnya penjara.

Ketiga, jangan menuduh kalau tidak ada buktinya.

Kalau menurutmu ada konspirasi di balik suatu peristiwa, kumpulkan dulu bukti-buktinya dan susun bangunan argumentasinya agar orang lain bisa percaya dengan teori konspirasimu. Jangan asal tuduh bahwa pemerintah telah mensetting, mengalihkan isu, atau merekayasa aksi-aksi tertentu demi terwujudnya agenda-agenda tertentu.

Selama bukti-bukti sudah terkumpul dan susunan argumentasi telah teruji dengan kokoh, tidak masalah seberapa keras kritik yang kamu lontarkan kepada pemerintah. Sebab, kamu telah menjalankan peran mulia sebagai oposisi ‘bergizi’. Oposisi yang tidak terjebak pada jargon dan slogan kosong, lebih-lebih yang sekedar mengandalkan sentimen SARA, tetapi berpijak pada fakta dan data yang valid.

Tapi kalau tidak ada bukti, tahan dirimu baik-baik. Jangan nodai martabatmu sebagai manusia dengan dusta dan fitnah keji yang membuatmu tidak ada bedanya dengan setan.

Terakhir, pikirkan dulu nama baik pribadi dan keluargamu sebelum bertindak.

Sudah berapa banyak orang yang ditangkap polisi karena hoaks dan ujaran kebencian yang meresahkan masyarakat. Jangan sampai hal yang sama terjadi padamu.

Kalau kamu merasa punya nama baik, jaga itu dengan perilakumu yang baik-baik. Ingat, nama baik asalnya dari perbuatan dan tutur kata yang baik. Jangan cemari namamu sendiri dengan fitnah, ujaran kebencian dan hoaks.

Kalau kamu sayang diri sendiri dan keluargamu, jangan pula membuat tindakan-tindakan bodoh yang dapat merugikan dirimu dan keluargamu. Apa sih manfaat dari memfitnah, menghina dan menyebarkan hoaks selain cuma melampiaskan dendam dan kesenangan sesaat?

Biasakan berpikir dulu sebelum bertindak. Daripada menyesal dan nangis-nangis kalau sudah terciduk, seperti yang sudah-sudah.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment