Galih Arozak
Penulis Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID – Desember kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Selain masih harus disibukkan dengan virus yang tak kunjung usai, publik terutama di kalangan umat Islam dihadapkan pada suatu perdebatan baru. Selain perdebatan usang tentang boleh tidaknya pengucapan “Selamat Natal”, perdebatan lain adalah kebenaran antara versi ormas dan versi kepolisian terkait peristiwa pembunuhan 6 orang di Tol Cikampek.
Tentu fokus perdebatan pun jadi terbagi, tapi memang perlu demikian. Supaya ada diskursus baru dan tidak berujung pada labelisasi kafir maupun intoleran seperti yang sudah-sudah. Dan bila mau adil pula istiqomah, seharusnya pengucapan hari besar agama lain juga turut heboh diperdebatkan tiap tahunnya supaya tidak terkesan diskriminatif terhadap umat Kristiani saja.
“Kamu ikut tim boleh ngucapin Selamat Natal atau tim nggak boleh ngucapin, Jo?” Santo mulai membuka obrolan sore itu, tepat di samping rel kereta api Patukan, tempat favoritnya dan Bejo menghabiskan sore. Mereka berdua menyaksikan kenyataan, ada yang lebih ruwet dari pikiran di kepala, yaitu lalu lalang kendaraan yang saling mendahului menyeberangi rel kereta.
“Aku tim cari aman saja, San. Ketimbang ngucapin Selamat Natal, aku lebih tertarik buat ngucapin terima kasih pada umat Kristiani. Sebab, karena hari besarnya, kita bisa menikmati libur hari ini. Lumayan, bisa bebas dari rutinitas kerja meski cuma sehari.” Bejo menimpali dengan santai. Santo rupanya gagal menjebak dan melabeli Bejo dengan pertanyaanya.
“Hidup ini memang penuh perdebatan ya. Dari perdebatan asal usul kehidupan oleh para filsuf, perdebatan cara makan bubur, hingga perdebatan pengucapan Selamat Natal tiap tahunnya.” Santo coba menggeser obrolan. Kali ini pertanyaannya tidak untuk menjebak Bejo, namun ia benar-benar heran atas kebiasaan orang-orang yang gemar memperdebatkan sesuatu. Sebab yang sering dikedepankan bukan soal kritisnya, tapi lebih pada ngeyel.
“Pemaknaan hidup itu subyektif, San. Bagi yang kerap dirundung masalah, hidup adalah rangkaian masalah. Bagi yang diselimuti keberuntungan dan kemudahan, hidup adalah rangkaian kebahagiaan. Dan bagi dirimu yang suka berdebat, hidup adalah rangkaian perdebatan.” Kali ini Bejo menjawab sedikit serius. “Sekali pun kamu tak sering berdebat, kamu selalu memberi porsi lebih untuk mengamati setiap perdebatan yang muncul, itulah sebabnya bagimu hidup ini penuh perdebatan.”
“Lalu, pemaknaan hidup yang bukan tafsiran subyektif itu seperti apa, Jo?” Santo coba mengejar.
“Cari saja sendiri, San! Yang pasti, hidup ini perlu berbekal prinsip. Bagiku, orang lemah ialah mereka yang tak punya prinsip, dan orang kalah ialah mereka yang mangkir dari prinsipnya sendiri. Jangan jadi orang lemah dan kalah, San!”
“Sebenarnya aku juga belajar dari para sufi, Jo. Melepaskan keterikatan dengan hal-hal duniawi, mengosongkan pikiran atas rasa kepemilikan, menyaksikan Tuhan dalam segala sesuatu, hingga menyadari bahwa kita ini sepenuhnya milik Tuhan. Tapi susah untuk seperti itu, toh kita masih sangat bergantung pada hal-hal materialistik.”
“Bagus itu, San. Minimal tahu dulu, soal kamu nggak bisa seperti para sufi, sudah pasti bisa ditebak. Haha.”
“Kan nggak ada salahnya, Jo! Belajar itu kapan pun, di mana pun, dan dari kejadian apa pun!”
“Memangnya aku terlihat sedang menyalahkanmu, San? Justru aku sepakat. Kita perlu terus belajar setiap saat. Melihat sesuatu bukan hanya sebagai kejadian, tapi pelajaran.”
Menjelang matahari terbenam, suasana semakin ramai. Anak-anak bersama orang tuanya, mahasiswa yang kongko-kongko, dan para penjual jajan memenuhi sekitaran rel kereta. Meski hari itu libur, jalanan tetap padat seperti biasa ketika orang-orang pulang kerja.
“Aku lihat mobil-mobil bagus pada lewat saja udah senang, Jo.”
“Aku lihat kamu senang gitu juga ikut senang kok, San.”
“Ternyata bahagia itu murah ya. Nggak harus punya barang yang mahal-mahal atau impian yang tinggi-tinggi.”
“Justru bahagia itu mahal, San. Hanya bisa dibeli dengan syukur, dan nggak semua orang bisa membelinya.”
“Jangan-jangan, kamu sendiri nggak bisa membelinya, Jo?”
“Aku sudah lebih dahulu membelinya sebelum kamu, San! Di kantor, meja sebelahku sama sekali nggak terganggu kalau aku putar lagu dangdut, malah ternyata sama-sama maniak dangdut. Itu suatu hal yang membahagiakan selain menunggu tanggal gajian tiba, San.”
Setelah sibuk berdebat soal kebahagiaan, obrolan mereka merambah ke persoalan pandemi yang sejak Februari lalu merambah Indonesia. Kondisi ini memaksa banyak pihak untuk beradaptasi dengan hal-hal baru, seperti penerapan protokol kesehatan hingga penerapan sistem daring baik di dunia pendidikan maupun dunia kerja.
Pandemi pun membuat waktu cepat berlalu. Tak terasa, semarak obrolan memasuki tema resolusi yang selalu ramai setiap akhir tahun. Meskipun banyak yang terhenti menemui jalan buntu, mengendap dan menjadi tumpukan sampah. Agaknya, kita semua berada dalam kondisi yang sama, pandemi dan hal-hal yang belum usai.
“San, apa resolusimu tahun lalu?” tanya Bejo yang sebenarnya ia sudah tahu apa resolusi Santo.
“Kamu kan tahu sendiri, Jo. Resolusinya ditelan pandemi,”
“Ya, aku tahu soal itu. Maksudku, mau bagaimana setelah ini? Untuk tahun depan?”
“Aku mau fokus CPNS saja, Jo. Nanti sekitar dua tahun setelahnya baru nikah. Sepertinya aku nggak berbakat kalau mau bisnis.”
“Kamu sudah atur strategi untuk itu?”
“Belum. Perlu muhasabah dulu akhir tahun ini.”
“Menangislah sesekali, San, jangan terlalu banyak tertawa. Lagi pula, menangis untuk muhasabah bukan hal memalukan seperti menangis saat patah hati.”
“Kalau resolusimu, mau bagaimana, Jo?”
“Resolusiku, tidak tidur saat khotbah Jum’at berlangsung. Sederhana sih, tapi sulit.”
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.