Orang Udik, Orang Desa


PUCUKMERA.ID – Banyak perspektif orang yang mengatakan, wilayah perkotaan merupakan sebuah pusat dari peradaban yang memiliki banyak pusat perbelanjaan, akses yang memadai, kesediaan teknologi yang maju, dan hal yang mendukung kemajuan lainnya. Sehingga, orang-orang yang hidup di luar wilayah perkotaan yang kita anggap sebagai orang-orang desa, secara naluri akan mencari akses ke peradaban kota, dengan berbagai macam motif seperti finansial, akses teknologi, hingga motif untuk sekadar mencari pergaulan sekalipun. Orang-orang desa akan mengalami proses interaksi dan penerimaan kultur baru dari perkotaan ketika mereka merantau ke kota.

Jika tidak kuat mental, orang-orang tersebut bukannya menjadi maju, tapi justru akan mengalami culture shock. Sehingga, mereka tidak akan bisa memproses interaksi dan penerimaan kultur baru secara sempurna. Ketika mereka kembali ke kampung halamannya dengan membawa kultur baru tersebut, akan terjadi culture shock berulang kali yang dialami oleh masyarakat di kampungnya.

Orang-orang yang gagal bertahan pada tahap culture shock akan langsung terjatuh pada tahap selanjutnya yaitu culture lag, suatu kondisi di mana manusia tidak dapat bertahan dalam pusaran peradaban baru. Hal ini biasa kita sebut sebagai udik atau katrok. Orang-orang udik atau katrok, sering kali dikerdilkan dan dijadikan bahan olok-olok oleh orang kota. Jawa metal (jamet), begitu orang-orang kota menyebutnya. Penstigmaan jamet biasanya disematkan pada mereka yang umumnya berambut gondrong, berkaos oversize, celana jin robek-robek, dan menaiki kendaraan motor berwarna-warni yang mencolok dengan knalpot brong.

Dari perspektif orang yang sebagian besar tinggal di desa dan sebagiannya lagi tinggal di kota, fenomena jamet merupakan sebuah bentuk laten dari tidak meratanya persebaran teknologi, bahkan untuk sekelas pergaulan meliputi penampilan dan selera budaya sekalipun. Saya juga pernah men-jamet pada masanya. Saya beranggapan, gaya hidup tersebut sudah keren. Namun, saat saya memakai gaya hidup tersebut di kota, justru saya dikucilkan karena dianggap alay dan katrok.

Pada saat itu, saya cenderung menyalahkan lingkungan, mengapa mereka tidak bisa menerima gaya hidup saya? Mengapa mereka tidak menganggap gaya hidup saya keren? Namun, hal tersebut justru membuat saya merenung. Mau tidak mau saya harus menanggalkan ke-jametan saya, lalu menerapkan gaya hidup yang lazim di lingkungan itu. Perlahan saya sadar, gaya hidup tersebut, yang kata orang desa keren, justru menjadi bahan olok-olokan di kota.

Semakin dewasa saya menjadi sadar, itu semua bukan salah lingkungan pergaulan yang ada di kota. Namun, semua itu berakar dari tidak meratanya distribusi pergaulan dan gaya hidup dari kota ke desa. Sehingga terjadi ketimpangan sosial dari hal yang paling kecil sekalipun, yaitu pergaulan.

Segi paling dasar dari pergaulan tentunya berasal dari lingkungan pendidika,  yaitu sekolah yang menjadi pusat interaksi dan pertukaran budaya paling efektif yang dilakukan oleh para remaja. Pengklasifikasian sekolah berdasarkan prestise, seperti sekolah favorit dan yang tidak, menjadi penyumbang adanya ketimpangan budaya. Sekolah favorit biasanya banyak dihuni oleh remaja-remaja gaul. Sebaliknya, sekolah yang biasa, diitempati oleh murid-murid yang tertinggal secara budaya dan pergaulan. Di desa, sangat sulit ditemui sekolah yang dapat dikatakan sebagai sekolah favorit, sehingga sudah bisa dipastikan bahwa distribusi budaya modern di desa mengalami hambatan.

Sebuah paradoks terjadi ketika saya mencoba memberikan solusi terkait ketimpangan pergaulan dengan menyuntikkan akses teknologi dan kemajuan di desa. Namun, justru esensi dari desa yang asri, ramah, sopan, sederhana, dan kampung halaman akan hilang begitu desa sudah setara dengan kota. Jika hal ini tidak ditangani, desa akan selamanya mengalami ketertinggalan dan ketimpangan sosial.

Desa biarlah tetap menjadi desa dengan nuansa kampung halamannya. Dan kota biarlah menjadi kota dengan arogansinya seperti sedia kala. Keduannya, baik desa ataupun kota, merupakan keseimbangan yang sulit untuk diubah satu sama lain. Tugas kita adalah memastikan keduanya tidak saling bertabrakan satu sama lain.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka3Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment