Hendy Pratama
Esais dan Cerpenis Asal Madiun

Tiap malam, saya pasti misuh-misuh bila mendengar suara ‘kedubraaak’. Suara itu timbul akibat hantaman kaki kucing yang mengenai permukaan seng di belakang rumah saya. Sepertinya, kucing-kucing liar hobi sekali bikin saya jantungan.

Suara kampret itu sering kali saya dengar menjelang tengah malam. Kira-kira, antara pukul 23.00 atau 23.30. Mula-mula, saya pikir suara itu tercipta dari seng yang tertiup angin. Namun, setelah nekat memeriksanya, barulah saya tahu kalau pelakunya tak lain dan tak bukan ialah kucing bangke yang tak bertuan.

Kucing-kucing liar memang gemar melompat dari rumah ke rumah. Binatang itu menjelajahi tiap penjuru ruang; mulai dari gang sempit, selokan, kandang ayam, huma, trotoar, sampai ke dapur saya—melalui jendela yang lupa ditutup.

Usut punya usut, binatang berkumis itu berkelana saban malam dalam rangka berburu tikus. Atau, sekadar mencari sisa makanan. Kapan hari, Ibu saya pernah memergoki seekor kucing kumal nyelonong masuk rumah. Mencuri ikan asin di atas meja. Spontan, Ibu marah. Ia meraih gagang sapu, bermaksud memukulnya seperti atlet bisbol hendak memperlihatkan pukulan terbaiknya. Sialnya, kucing itu keburu kabur.

Hari demi hari berlalu dan suara nista itu masih terdengar. Sesekali, saya coba berkompromi dengan si kucing. Dalam hati, saya berniat menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan saja. Tanpa perlu memukul atau melempar benda keras. Gini-gini, saya masih punya peri kehewanan. Lama-lama, saya kasihan juga pada kucing-kucing itu. Maka, jalan suci itu pun pada akhirnya saya tempuh.

Beberapa saat mengobrol, si kucing hanya mengeong. Kadang-kadang beringsut mundur, mengambil ancang-ancang untuk kabur. Saya iseng melempar kepala tongkol di depannya. Sesaat, ia berlari. Namun, setelah saya tenggelam ke dalam rumah—dan saya memantaunya dari balik jendela—kucing tak bertuan itu menghampiri makanan kesukaannya dan, dengan rakus, melahapnya tanpa ampun!

Ajaibnya, saya justru kepikiran sesuatu.

Orang Jawa terkenal dengan pepatah-pepatah yang mengandung ajaran hidup. Dari sekian banyak pepatah itu, salah satunya adalah ‘ora obah ora mamah’. Apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti: Tidak bergerak, tidak mengunyah (dalam artian, “Orang kalau tidak bekerja, ya, pasti gak dapat makan”). 

Pepatah tersebut agaknya menyindir orang-orang yang sukanya malas-malasan, tak berselera mengerjakan sesuatu, dan lebih menyukai menganggur. Nganggur itu memang nikmat, sih, tetapi lambat laun bakal kena getahnya juga. Bayangin aja, kalau kita hobinya rebahan melulu. Pasti kita bakal menyesal nantinya begitu mendapati satu per satu teman kita sudah ada yang wisuda, dapat pekerjaan, bahkan menikah dan mempunyai anak. Nah, kita? Halo, apa kabar diri sendiri?

Lantaran pepatah ora obah ora mamah itulah, orang Jawa biasanya malu-malu sendiri bila gak ngelakuin apa pun. Kalaupun gak malu, pasti bakalan kena marah oleh orang tua. Dalam banyak kasus, biasanya seorang Ibu suka menyindir anak-anaknya yang kerjaannya di kamar terus, nonton TV terus, main gim terus. Percayalah, sindiran Ibu itu rasanya lebih makjleb daripada sindirannya Rocky Gerung orang lain.

Kalau Ibu sudah menyindir, rasanya tuh lebih sakit ketimbang gigitan kobra. Dan mau gak mau, saya terpaksa mengerjakan segala sesuatu. Misalnya, Ibu berkata, “Le, pemuda, kok, kerjaannya tidur-tidur melulu… malu sama Bung Karno.” Atau, “Bapak-Ibu rajin begini, kok anaknya malas-malasan, kamu itu sebenarnya anak siapa, sih?”

Dan seandainya Ibu berbaik hati untuk tidak menyindir, para tetanggalah yang mengambil peran. Cukup sering saya mendengar tetangga bergunjing. Membicarakan ini-itu, menggunjingkan sesuatu yang mereka pikir menarik. Entah itu mereka sedang berada di teras rumah, di pasar, di toko kelontong, di tempat tukang sayur melabuhkan gerobaknya, di mana pun itu, mereka bergunjing dan bergunjing.

Salah satu contoh gunjingan para tetangga begini: Eh, tuh, lihat si Tono. Ia masih muda kok malasnya minta ampun. Besok mau kerja apa? Ngasih makan anak-istri pake apa? Cita-citanya gimana? Masa depannya macam mana? Lagian, siapa pula yang sudi menikahi seorang pemalas? Mana orang tuanya sudah tua. Dan, bla-bla-bla~

Begitulah susahnya tinggal di Jawa. Namun, dari pepatah ora obah ora mamah itu, pastinya diciptakan bukan untuk menyusahkan masyarakat Jawa. Sebagaimana umumnya pepatah, ‘ia’ tak ubahnya Sabdo Palon yang memberi ajaran hidup. Tentang bagaimana idealnya hidup di dunia, apa saja yang boleh dan dilarang dilakukan, serta petuah atau nasihat agar selamat dunia-akhirat. Mestinya, sih, begitu.

Plot twist-nya, pepatah itu agaknya tak hanya berlaku bagi orang Jawa saja. ‘Ia’ juga berlaku bagi siapa pun yang tinggal di Jawa, sekalipun itu binatang. Seekor kucing yang hobi bikin saya jantungan, yang melompat dari rumah ke rumah, yang bekerja mencari sisa makanan, pada dasarnya tengah mengamalkan pepatah mulia itu. Yah, setidaknya kucing itu berhasil menampar saya yang kerjanya cuma malas-malasan. []

Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.