NKCTHI: Mengakhiri Keegoisan Antara Orangtua dan Anak


Nashir Efendi Pucukmera.id


Angkasa (si sulung yang paling berat beban), Aurora (si tengah yang diabaikan) dan Awan (si bungsu yang paling dikekang); mungkin kita di kehidupan nyata. Mereka mewakili kita sebagai anak yang mungkin memendam konflik batin dengan orang tua. Keinginan orang tua memberikan yang terbaik untuk kita justru menjadi bumerang.

Di awal cerita, Narendra yang digambarkan sebagai bapak yang menjadi pengambil keputusan keluarga. Bapak juga mendoktrin keluarga untuk selalu bahagia dengan memendam dan menanggung kesedihannya sendirian. Sesungguhnya memendam perasaan justru lebih buruk daripada sesekali merasa kesedihan.

Bapak secara tidak sadar membuat Angkasa memikul beban terlalu banyak. Niatan baik Bapak dilakukan dengan cara kurang tepat. Angkasa selalu dituntut Bapak menjadi kesatria yang siap membantu adiknya dalam kesulitan. Akibat beban yang diberikan bapak, karir dan asmara Angkasa menjadi bermasalah. Angkasa dituntut lebih fokus pada keluarga, akhirnya tidak ada waktu untuk diri sendiri.

Missing atau crash dari hubungan orang tua dan anak tergambar jelas dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini. Seperti sudah kita ketahui bersama, selalu ada konflik yang terjadi antara orang tua dan anak, meski pada dasarnya semua ikatan dan hubungan memiliki komponen unik, yaitu konflik.

Begitu dekat peran dan hubungan yang dirasakan anak dengan kelurga, membuat keluarga menjadi satu-satunya institusi sosial yang relatif permanen dalam menjalankan fungsi sosialnya. Keluarga dibentuk dari ikatan emosional dengan dorongan yang paling kuat dari sifat organis manusia untuk saling memilih satu dengan lainnya.

Konflik biasa terjadi dalam Keluarga ketika ada upaya anggota keluarga untuk memerebutkan sumber-sumber daya yang langka. Misal uang, perhatian, kekuasaan dan kewenangan untuk memainkan peran tertentu. Bahkan keluarga sering berunding atau bermusyawarah dalam mencapai tujuan kompetitif. Sehingga interaksi konflik yang terjadi merupakan interaksi bersifat verbal sampai fisik. Dalam film NKCTHI memusatkan konflik yang bersumber pada rasa perhatian  orang tua sebagai wujud kasih sayang kepada anak. Rasa yang seringkali tidak sampai pada anak karena keterbatasan cara penyampaian.

Erich Fromm dalam buku Art of loving mengatakan cinta adalah tindakan, perhatian aktif pada kehidupan dan pertumbuhan dari apa yang kita cintai. Cinta bersifat pribadi sehingga dapat dikatakan bahwa cinta adalah keegoisan. Secara sadar maupun tidak, film NKCTHI menggambarkan cinta melalui bentuk interaksi bapak pada anak-anaknya. Bapak sangat over-protective kepada Awan. Semua faham bahwa Bapak takut terjadi musibah pada Awan. Meski Awan menjadi kesal dengan perbuatan Bapak, ia merasa dikekang dan tidak diberi kebebasan seperti kakaknya.

Sebagai seorang anak, mungkin tidak pantas memberikan kritikan kepada orang tua. Setiap anak sadar telah dibesarkan oleh orang tua dan suatu saat semua akan menjadi orang tua. Pengabdian seorang anak kepada orang tua dianggap sebagai balas jasa atas kasih sayang dan cinta yang tidak bisa dihitung dengan apa pun.

Sebagian orang tua menganggap apa yang disampaikan harus dilaksanakan oleh anak, tanpa bertanya bagaimana keinginan sang anak. Prilaku seperti ini masih berlaku dalam kehidupan keluarga di masa modern, doktrin bahwa orang tua selalu benar harus selalu dijunjung tinggi. Bila ditilik dari sisi agama memang benar, bahwa anak tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuanya, bahwa marahnya orang tua adalah marahnya Tuhan, tetapi anak juga manusia yang memiliki keinginan.

Ada rasa ambigu ketika siapa salah dan siapa benar diungkit dalam hubungan keluarga. Apakah anak tidak boleh memiliki keinginan sendiri dalam hidupnya?. Tidak sesuainya kenginan orang tua dan anak sering menimbulkan konflik dan berujung pada pemberian label durhaka pada anak. Demokrasi seharusnya berlaku dalam keluarga, tidak selamanya anak  bersalah. Anak hanyalah seorang manusia sama seperti orang tuanya, yang juga memiliki keinginan.

Doktrin dua pasal, yaitu pasal pertama, orang tua selalu benar, dan pasal kedua, jika orang tua salah maka kembali ke pasal pertama. Doktrin singkat yang membelenggu kebebasan anak untuk berkespresi. Pada akhirnya akan menjadi lingkaran setan yang menyesatkan, doktrin akan diteruskan kembali ke generasi berikutnya. Namun, bila ada anak yang berani mengutarakan niat untuk menentukan seperti apa hidup dan memutuskan rantai lingkaran doktrin, maka jatuhlah vonis anak durhaka padanya.

Tidak semua orang tua mengerti dan memahami bagaimana karakter dan kepribadian anak. Begitupun anak tidak mengerti bagaimana pola pendidikan yang diterapkan orang tua padanya. Semakin akan dikekang dengan doktrin, semakin memberontak jiwa sang anak. Bukan berarti bahwa orang tua harus memberikan kebebasan penuh kepada anaknya, tetapi berikanlah kebebasan yang bertanggung jawab. Layaknya sebuah hubungan kasih sayang, kepercayaan adalah faktor penentu dalam keberhasilan hubungan.

Selama semua mau membuka mata dan hati tidak akan ada tindakan membenarkan diri sendiri dan menyalahkan yang lain. Ada orang tua yang harus dikasihi, dihormati, dan dihargai, tidak berarti harus selalu dituruti. Ada anak yang haus kasih sayang dan cinta, ingin dipeluk dengan penuh penghargaan, tapi bukan di pojokkan dengan berbagai kesalahan.

Jika keterbukaan, emansipasi, penghapusan doktrin, dan sikap empati benar-benar diterapkan dalam kehidupan. Tidak akan ada yang menuding dengan vonis “Kamu (anak) tidak tau terimakasih!”. Kembali kepada pribadi masing-masing, bagaimana menyikapi permasalahan. Asam garam kehidupan memang telah ditelan oleh orang tua lebih dulu daripada anaknya, tetapi bukanlah parameter mutlak bahwa apa yang dilakukan anak untuk kehidupannya merupakan sebuah kesalahan, alih-alih menjadi vonis durhaka.

Setiap orang tua mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, baik laki-laki atau perempuan, anak pertama atau anak terakhir. Hanya cara mendidik tiap orang tua berbeda, tapi yang pasti orang tua memberikan versi terbaik dari mereka. Jadikan petuah orang tua sebagai pedoman, namun jangan lupakan kemandirian dan rasa tanggung jawab kita dalam mengambil keputusan.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment