Terhitung sudah 60 tahun peringatan Hari Pendidikan Nasional ditetapkan Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Berbagai tantangan dalam upaya mencerdasakan kehidupan bangsa telah dihadapi. Mulai perjuangan untuk keadilan dalam memperoleh akses pendidikan hingga pelaksanaan pendidikan modern. Sudah sejauh ini peringatan Hari Pendidikan terus dilakukan, baik melalui peringatan upacara, penggunaan baju Korpri dan ucapan Hardiknas yang bertebaran di media. Realita yang demikian membuat saya berpikir, semua orang menjunjung tinggi pendidikan, anak-anak disekolahkan setinggi-tingginya dan siswa-siswa berlomba untuk mendapatkan prestasi terbaik. Benarkah semua orang yang cinta dan tersanjung mengerti makna dan arti yang medalam dari pendidikan? Apa yang sebenarnya mereka inginkan dari pendidikan?
Proses pendidikan bukan dijadikan sekedar rutinitas belaka, seperti rutinitas makan yang sering dianggap hanya untuk memenuhi rasa lapar tanpa memikir dampak besar yang terjadi setelah proses itu dilakukan. Merujuk pada KBBI, pendidikan memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran. Dalam kalimat tersebut, jelas dikatakan bahwa ada proses pengajaran yang berarti melibatkan pengajar dan peserta didik. Tak jarang dari proses pendidikan menimbulkan suatu ketergantungan pada peserta didik terhadap pengajar maupun sebaliknya. Hal itu disebabkan kurang mengerti makna dan dampak yang ditimbulkan pada proses Pendidikan. Perlu kiranya membedakan makna belajar dan diajar.
Sepanjang proses pendidikan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, apakah yang kita rasakan benar-benar proses belajar atau cenderung diajar. Jika proses belajar benar-benar terjadi, akan menjadikan manusia mandiri. Mandiri dalam berpikir dan menentukan sikap. Sampai saat ini rasa keraguan masih menyelimuti pribadi manusia, disebabkan daya analisa yang kurang dan timbangan yang tidak terukur. Sepertinya ini adalah buah dari pendidikan yang sering menuntun. Proses belajar belum sepenuhnya dipahami dalam proses pendidikan, akibatnya manusia tidak pernah tahu siapa dirinya dan tindakan apa yang harus dipelajari untuk menempuh kehidupan di alam semesta.
Mengenal diri jauh lebih sulit dari mengenal orang lain. Namun, kegagalan mengenal diri tak jarang menjadikan narsisme lahir dalam diri manusia. Keinginan untuk dianggap keberadaannya melebihi yang lain, selalu mengikuti tren, dan ingin menjadi pujaan bagi tiap manusia. Persaingan manusia dalam mencapai kesuksesan individual menjadikan mereka berfokus pada materi dan dipenuhi iri dengki. Sifat tersebut sering membuat kita lupa bahwa setiap manusia mempunyai peran tersendiri.
Semakin modern peradaban manusia menjadikan tingginya persaingan untuk terus bertahan hidup. Meminjam istilah Ainun Najib “Manusia Pasar” di mana manusia rela menukar kerja kerasnya dan kehidupannya dengan gaji, jabatan dengan menghiraukan rasa gembira dan kenikmatan yang telah diberikan. Manusia modern hidup dalam bayang-bayang yang penuh ketidakpastian padahal segalanya telah dipertaruhkan demi kesuksesan.
Pendidikan tidak seharusnya selalu dikaitkan dengan tingkat kesuksesan, banyak hal yang lebih dari sebuah kata sukses. Menjadikan pribadi-pribadi manusia yang percaya dengan kemampuannya, terus belajar dengan kesadaran, menjadi diri sendiri, dan menebar kebaikan jauh lebih penting dari kata sukses. Manusia butuh ihsan dalam menjalani hidupnya untuk mencapai kebahagiaan dan merasakan kenikmatan hingga mengucap syukur.
Sebagai manusia terdidik kita sering sombong, membanggakan peradaban yang selalu mengedepankan pikiran daripada otot. Hingga kita lupa terlalu banyak berpikir menjadikan otot kita lemah, daya tahan tubuh sangat mudah terserang penyakit. Parahnya lagi saat hasil kerja-kerja pikiran kita telah tergantikan oleh teknologi yang mumpuni, tinggal apalagi yang kita miliki?
Paragidma pendidikan yang terus mengarahkan pada kemampuan untuk memenuhi lapangan kerja belaka baiknya diluruskan kembali. Kebutuhan akan kemampuan tenaga kerja terampil terus berganti tanpa ada batas waktu tertentu. Penanaman kemampuan praktik saja tidak dapat menjamin para peserta didik dapat hidup dengan bahagia apalagi sejahtera. Sejatinya pendidikan adalah memanusiakan manusia, menjadikan tiap manusia menjadi manusia merdeka. Berkuasa atas diri sendiri, memahami diri, mandiri dan memiliki daya juang menebar kebaikan yang kuat.
Dalam proses pendidikan memerlukan ketersinambungan antara pendidikan di sekolah, pendidikan keluarga dan masyarakat. Ketiga hal tersebut terhubung secara erat, manusia tidak akan pernah keluar dari lingkaran sosial. Jika pendidikan di keluarga dan sekolah sudah mempunyai pengaruh positif tapi pendidikan di masyarakat malah sebaliknya, nilai-nilai yang telah didapat akan dengan mudah terkikis dengan fakta yang di masyarakat. Seperti sekolah dan keluarga mengajarkan budaya sopan santun pada orang tua tetapi fakta di masyarakat terjadi hal sebaliknya. Oleh sebab itu pendidikan adalah tanggungjawab bersama.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id
2 Comments
Register
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
Створити безкоштовний акаунт
Thanks for sharing. I read many of your blog posts, cool, your blog is very good.