Mitos Kecantikan dalam Al-Ahzab Ayat 33

 
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah yang dahulu…. (QS. Al-Ahzab : 33)
PUCUKMERA – Para perempuan mungkin akan dilema ketika membaca ayat tersebut, lantaran secara tekstual melarang perempuan untuk berhias. Bagaimana tidak, kecantikan yang menjadi tujuan dari berias tersebut selalu dikaitkan dengan perempuan. Ini agaknya disebabkan perempuan memiliki kecantikan dan kemampuan menampilkannya pada diri mereka serta memiliki perhatian lebih besar dari pada lelaki. Ini adalah naluri yang dianugerahkan oleh Allah swt. kepada mereka.
Misalnya, kita bisa melihat pada hari ini contoh kecil saja, tas yang selalu dibawa oleh perempuan lebih khususnya mahasiswi, bisa dipastikan ada makeup di dalamnya, minimal lips tick dan pelembab. Tidak hanya ketika hang outke mall bahkan ketika ke kampus sekalipun mereka membawa benda-benda itu. Itu hal yang wajar, karena perempuan ingin selalu berpenampilan menarik di ruang publik.
Dalam buku Adonis disebutkan bahwa secara sosio-historis bangsa Arab waktu itubisa dikatakan penuh dengan eksploitasi tubuh perempuan. Mereka hanya menjadi pemuas syahwat birahi para lelaki. Bukan tanpa alasan hal itu terjadi, perempuan bangsa arab memang terkenal dengan kecantikannya serta mereka suka menampilkan kecantikan bahkan kemolekan tubuh mereka di khalayak umum, dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya misalnya.
Lantas apa makna ayat tersebut? Karena tidak mungkin Allah swt. mengharamkan hamba-Nya untuk berhias, karena sang Khaliq sangat mencintai keindahan yang menjadi titik tekan dari berhias. Tuhan ingin menyadarkan kepada hamba-Nya bahwa jangan sampai terobsesi akan kecantikan. Sebuah obsesi tentang kesempurnaan fisik yang memenjarakan perempuan dalam lingkungan harapan, kesadaran diri & kebencian diri yang tak berujung.
Bukan kebetulan jika kita menemukan kenyataan bahwa banyak perempuan yang berkuasa dan berpotensi pula mengalami hal ini. Kita berada di tengah-tengah pertentangan melawan fenomena yang menggunakan citra kecantikan perempuan sebagai senjata politis untuk menentang kemajuan perempuan. Itulah mitos kecantikan, mitos kecantikan merupakan versi mutakhir dari refleksi sosial yang kuat sejak Revolusi Industri. Selepas perempuan dari mistik feminin tentang domestisitas, mitos kecantikanlah yang mengambil alih dasar yang hilang ini, dan terus memperluas kekuasaannya sebagai kontrol sosial.
Mitos tentang kecantikan menyatakan hal ini pada kita: kualitas yang disebut dengan “cantik” benar-benar ada, secara objektif dan universal. Perempuan pastilah ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki. Situasi ini menjelma menjadi sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena hal itu bersifat biologis, seksual, dan evolusioner. Lihat saja, para laki-laki perkasa selalu berperang demi perempuan yang cantik. Perempuan yang cantik selalu dihubungkan dengan kesuburan, dan sejak sistem seleksi berbasis seksual ini diterapkan, kecantikan menjadi sesuatu yang niscaya dan baku.
Akan tetapi, hal-hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan adalah sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Seperti semua yang ada dalam lingkaran ekonomi, kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Pada abad modern, di negara-negara Barat kecantikan menjadi agama terakhir dan terbaik, yang meneguhkan dominasi kaum laki-laki. Dalam upaya memercikkan api perlawanan kaum perempuan dalam hierarki vertikal sesuai dengan standar fisik, dan kecantikan merupakan ekspresi dari relasi-relasi kekuasaan, di mana perempuan harus bersaing secara tidak alamiah demi sumber daya yang diberi harga oleh laki-laki.
“Kecantikan” sesungguhnya bukan hal yang universal atau tidak bisa diubah, meskipun orang barat percaya bahwa segenap kecantikan perempuan yang ideal berawal dari sosok yang platonis. Orang-orang suku Maori mengagumi tubuh yang gemuk. Dan orang-orang Padung menyukai buah dada yang montok. Dan “kecantikan” juga bukan bagian dari fungsi evolusi. Ukuran-ukuran idealnya berubah lebih cepat daripada proses evolusi spesies. Charles Darwin sendiri tidak meyakini pernyataannya bahwa “kecantikan” dihasilkan dari “seleksi seksual” yang punya aturan-aturan berbeda dari seleksi alam. Bagi perempuan, bersaing dengan sesamanya, melalui “kecantikan” merupakan pembalikan dari cara-cara di mana seleksi alam mempengaruhi mamalia lainnya. Antropologi telah membalikkan anggapan bahwa perempuan harus cantik agar bisa memenangkan proses seleksi ini.
Meskipun sejak lama mitos kecantikan telah memiliki bermacam-macam bentuk, yang sama tuanya dengan sistem patriarki, versi mutakhir mitos kecantikan merupakan sebuah penemuan yang cukup baru. Mitos itu muncul ketika batasan-batasan material yang terdapat dalam diri perempuan nyaris hilang. Sebelum revolusi industri, rata-rata perempuan tidak punya sense yang sama tentang apa yang disebut dengan “kecantikan”. Ini berbeda dengan perempuan modern yang mengalami mitos tersebut sebagai perbandingan yang terus menerus dengan standar fisik ideal yang disebarluaskan secara massal.
Mitos kecantikan masa kini lebih berbahaya dibandingkan mistik feminitas pada masa lalu: seabad yang lalu, Nora membanting pintu rumah bonekanya: satu generasi yang lalu, perempuan membalikkan tubuhnya menghadapi surga konsumen berupa rumah mewah yang terisolasi; tetapi di mana perempuan terjebak saat ini, tak ada satu pun pintu yang bisa dibanting. Penghancuran dalam bentuk mutakhir atas reaksi mengenai kecantikan secara fisik telah merusak perempuan dan memangsa mereka secara psikologis. Jika kita ingin membebaskan diri dari kematian berat badan ini, bukan hak pilih atau lobi-lobi atau juga plakat yang pertama-tama kita butuhkan, tetapi cara pandang yang baru.
Sesungguhnya, bukan identitas perempuan yang lemah. Tetapi imajinasi atas hal yang “ideal” menjadi begitu penting bagi perempuan karena idealitas tersebut dimaksudkan untuk dapat menjadi kenyataan. Perempuan dianggap sosok yang tidak cukup cantik dalam kebudayaan laki-laki, sehingga kebudayaan tersebut tetap menjadi kebudayaan laki-laki. Ketika perempuan dalam kebudayaan tersebut menunjukkan bahwa ia memiliki karakter, mereka menjadi tampak tidak menarik, bertentangan dengan sosok-sosok yang dianggap menarik yaitu perempuan yang tidak terlalu pintar.
Kebudayaan menciptakan stereotip-stereotip perempuan agar sesuai dengan mitos. Ini dilakukan dengan meruntuhkan feminitas menjadi kecantikan tanpa intelegensi. Perempuan dibiarkan memiliki pikiran atau memiliki tubuh, tetapi tidak boleh memiliki keduanya. Alegori yang sama yang mengajarkan perempuan tentang hal ini adalah kombinasi kecantikan yang sederhana. Kebudayaan laki-laki tampaknya sangat senang membayangkan dua perempuan bersama-sama ketika mereka didefinisikan sebagai pihak yang menang dan pihak yang kalah dalam mitos kecantikan.
Mitos kecantikan digunakan sebagai senjata politik untuk menghambat kemajuan kaum perempuan, yang kemudian lebih sering disebut sebagai citra kecantikan perempuan. Asal usul mitos kecantikan, yang telah ada sebelum Revolusi Industri yang sama tuanya dengan patriarki. pengalaman-pengalaman pekerja perempuan yang mengalami diskriminasi hanya karena persoalan kecantikan, salah satunya dengan menggunakan syarat harus berpenampilan menarik. Perusahaan, kantor, mall, mini market membuat seolah-olah tidak terjadi diskriminasi terhadap perempuan, dengan alasan bahwa syarat tersebut merupakan strategi untuk menarik pelanggan, ketika tidak memenuhi syarat tersebut maka tidak dapat bekerja di tempat tersebut. Oleh syarat tersebut kaum perempuan dipaksa untuk selalu memikirkan kecantikan mereka, Lantaran perempuan selama ini selalu diposisikan sebagai makhluk yang dilihat dan dinilai oleh pria.
Mitos Kecantikan yang setiap hari disuguhkan kepada masyarakat, khususnya kaum perempuan, lewat berbagai macam media: iklan televisi, majalah-majalah kecantikan, tulisan-tulisan mengenai kecantikan perempuan yang diperkuat dengan budaya patriarki, menyebabkan kaum perempuan terjebak pada keinginan untuk selalu tampil cantik dan menjadi sangat memuja berat badan ideal.
Kita patut khawatir melihat gencarnya serangan kecantikan yang semakin memojokkan kaum perempuan dalam ruang publik dan politik. Setiap hari kaum perempuan diperlihatkan dengan mitos-mitos kecantikan yang notabenehnya akan semakin menjerumuskan perempuan ke dalam jurang pemujaan terhadap citra kecantikan.
Obsesi untuk selalu ingin cantik mendorong kaum perempuan merelakan tubuhnya terbaring di atas meja-meja operasi plastik dan bedah kosmetik serta membiarkan para dokter berkreasi atas tubuh mereka. Demi mendapatkan kecantikan itu, perempuan rela menderita lapar dan sakit yang kemudian dianggap sebagai pilihan bebas kaum perempuan. Serangan kecantikan yang bertubi-tubi terhadap kaum perempuan telah membiarkan kekerasan hak asasi terhadap tubuh perempuan.
Melihat fenomena tersebut, hakikatnya Islam tidak melarang perempuan untuk berhias namun yang dilarang adalah tatkala perempuan sudah mulai terobsesi akan kecantikan. Sehingga hal tersebut mengakibatkan perempuan menjadi objek pasar serta maraknya eksploitasi tubuh perempuan demi memuaskan hasrat seksual si hidung belang.

Oleh : Zaki Ma’ruf
Editor/Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment