Chusnus Tsuroyya
Pucukmera.id
4 April lalu menjadi hari yang paling nahas bagi Mira. Mira adalah transpuan (transgender perempuan) berusia 43 tahun, yang dituduh mencuri dompet dan satu unit telepon seluler milik salah satu pelaku. Selain dituduh mencuri, Mira juga dibakar hidup-hidup oleh para pelaku. Setelah memberi hantaman bertubi-tubi, para pelaku lalu menyiram tubuh Mira dengan bensin. Polisi mengungkapkan, bahwa ketujuh pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan tersebut agar Mira mengakui perbuatannya.
Namun, setelah mendalami kasus tersebut, Tim Advokasi Kasus Mira menemukan fakta bahwa perbuatan tersebut dilakukan secara sengaja. Sebelum menyiksa dan membakar Mira, para pelaku sempat mendatangi dan menggeledah indekos Mira. Namun, para pelaku tidak menemukan dompet dan telepon seluler tersebut. Kesal lantaran tidak menemukan barang-barang tersebut, mereka kemudian menyeret Mira ke pangkalan kontainer di daerah Cilincing. Dan serangkaian kekerasan terhadap Mira pun terjadi.
Tim Advokasi Kasus Mira dari mengecam keras tindakan tersebut. Pengeroyokan dan pembakaran yang dilakukan terhadap Mira merupakan bentuk transfobia, perlakuan atau perasaan antagonistis terhadap transgender.
Kasus ini tidak hanya terjadi satu atau dua kali saja, melainkan berkali-kali. Di Indonesia sendiri, kasus-kasus pembunuhan terhadap transpuan kian meningkat sejak tahun 2016. Kevin Halim, seorang aktivis dan peneliti transgender mencatat, terdapat 3 kasus pembunuhan terhadap transpuan pada 2016, 4 kasus pada 2017, 5 kasus pada 2018 dan 6 kasus yang terjadi pada tahun 2019. Angka-angka ini meningkat beriringan dengan meningkatnya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok LGBTQ.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia bukanlah negara yang ramah dan aman bagi kaum transgender. Masyarakat yang cenderung memiliki intoleransi tinggi, tidak mudah untuk menerima perbedaan dan aparat serta perangkat hukum yang cenderung diskriminatif terhadap transpuan. Kondisi yang seperti ini seakan-akan menjadi pembenar untuk melakukan kekerasan terhadap transpuan.
Padahal sejatinya, merujuk pada Pasal 28 UUD NRI 1945, setiap orang memiliki hak-haknya yang dilindungi oleh konstitusi. Katakanlah, mereka adalah orang-orang yang berbeda, mereka bukanlah kaum yang tidak bisa diterima oleh agama, atau mereka adalah kaum yang kalian benci. Tapi, bukankah mereka juga manusia? Dalam Prinsip-prinsip Yogyakarta tahun 2015 (Prinsip-prinsip Pemberlakuan Hukum HAM Internasional dalam Kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender) yang disusun oleh Komnas HAM, terdapat 29 prinsip agar siapa pun menggunakan pendekatan hak asasi manusia dalam menanggapi isu kekerasan berbasis orientasi seksual dan identitas gender.
Sama halnya dengan mayoritas heteroseksual di Indonesia. Transpuan memiliki hak untuk hidup, transpuan memiliki hak atas rasa aman, transpuan berhak atas perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di mata hukum. Ini semua dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.
Sebagai bagian dari mayoritas heteroseksual, saya pun harus memberi rasa aman bagi mereka. Menghargai pilihan hidup mereka, menerima segala perbedaan dan memanusiakan mereka sebagai mana mestinya. Negara pun harus turut andil dalam hal ini, dengan memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang sama. Kekerasan dan perilaku diskriminatif yang merendahkan martabat manusia harus dihapuskan.
Dengan begitu, ke depannya, tidak akan ada lagi Mira lain yang harus gugur. Tidak akan ada lagi narasi-narasi kebencian terhadap mereka yang berbeda dari kita. Bukankah Indonesia negara Bhineka Tunggal Ika?