Sepanjang tahun 2018, banyak sekali topik yang menarik untuk dibahas. Baik itu dibahas di sosial media, artikel-artikel, atau bahkan sebagai obrolan disela-sela makan siang. Salah duanya adalah tentang milenial dan kesehatan mental. Dua topik ini selain menjadi topik yang hangat, juga  merupakan dua topik yang saling berhubungan.

Millenial mungkin topik yang sudah merajai perbincangan paling tidak 2 tahun ini. Istilah milenial yang merupakan sebutan bagi generasi Y yang berada pada rentang usia 18-38 tahun dewasa ini. Karakteristiknya yang unik, dan yang saat ini merupakan kelompok usia produktif, membuat milenial menjadi topik yang paling digembar-gemborkan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebiasaan, lifestyle, pemikiran, prestasi, bahkan kelemahannya.

Menjadi millenial dan berada pada lingkungan para kaum milenial merupakan hal yang sangat berwarna-warni. Millenial yang dalam kinerjanya cukup baik dengan kemampuan multitaskingdan do something kapanpun dan dimanapun itu nyatanya memiliki sisi yang lain dalam kehidupannya. Beberapa kawan saya yang juga merupakan generasi millenial memiliki problematika hidup yang rumit dibalik kesuksesannya. Kebanyakan dari mereka merasakan mudah stress, mudah cemas dan lebih banyak menuntut waktu untuk sendiri atau me time. Beberapa mulai mengekspresikan kecemasan dan beban hidupnya melalui media sosial. Bahkan terkadang hal-hal yang membuat mereka tertekan adalah permasalahan yang relatif simpel. Misalnya, tidak disapa oleh rekan kerja, koneksi wifi di kantor yang trouble, baju yang lupa di setrika, berat badan yang naik sekilo, rambut yang lepek, lembur yang tidak sampai sejam, driver ojek online yang tidak muncul-muncul, hingga postingan instagram yang tidak di likeoleh si doi.

Saya mulai merasakan sensitifnya para generasi millenial (termasuk saya) dalam menghadapi hidup mereka. Hal ini mungkin saja yang menjadi penyebab maraknya topik kesehatan mental yang sangat terkait dengan generasi millenial. Saat ini mungkin kita sudah tidak asing dengan perilaku anxiety disorder, bipolar disorder, anoreksia, anti sosial hingga gaming disorder. Kebanyakan dari kita akan menganggap hal tersebut merupakan penyakit jiwa yang mengerikan, padahal kita tidak sadar gejala menuju penyakit itu bisa berupa meningkatnya stress dan kecemasan dalam diri kita, sesuatu yang banyak sekali dialami oleh generasi millenial. Salah satu stigma yang tertanam pada diri millenial sehingga mengalami resiko penyakit mental adalah rasa ingin memiliki “kesempurnaan”.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh peneliti dari Inggris, Thomas Curran dan Andrew Hill mendapatkan titik terang atas penyebab mengapa milenial rentan gangguan kesehatan jiwa. Hasil penelitian ini diterbitkan di jurnal Psychological Bulletin. Hasilnya, mereka menemukan mayoritas responden mengalami “multidimensional perfectionism”, atau sebuah tekanan untuk mendapatkan standar yang lebih tinggi, diukur dari beberapa koleksi metrik yang melebar. Studi ini terkait dengan meningkatnya angka kasus gangguan jiwa pada orang-orang umur 20-an, termasuk gangguan makan, kecemasan, dan depresi. Perfeksionisme adalah suatu kelemahan, yang dapat membuat kita sakit, atau bahkan membuat kita berpikir untuk bunuh diri.

Kecanggihan teknologi, menjamurnya media sosial hingga lifestyle yang semakin bermacam-macam memanglah menjadi faktor utama munculnya gejala penyakit mental yang menghatui para millenial. Namun, hal ini tidak perlu menjadi sesuatu yang kita takuti. Karna sebaliknya, faktor tersebut juga dimanfaatkan oleh sebagian orang sebagai sebuah solusi. Kini telah muncul beberapa aplikasi berbasis android yang dapat membantu para millenials untuk mengatasi problem kesehatan mentalnya. Misalnya saja Riliv  yang merupakan aplikasi curhat untuk mengkonsultasikan masalah kepada psikolog profesional dengan mudah dan aman. Aplikasi ini datang sebagai solusi atas ke-enggan-an kaum millenial ke psikolog atau psikiater karna adanya stigma negatif pada masyarakat bahwa pergi ke psikolog/psikiater sama seperti orang gila. Padahal hal ini sangat dibutuhkan oleh millenials.

Selain itu konten kreator seperti Menjadi Manusia, merupakan situs yang membedah dan membagi kisah orang-orang yang mengalami penyakit mental ataupun mengalami problematika yang berkaitan dengan keseharian para millenial yang dikemas dengan apik dan sangat manusiawi. Bahkan channel YouTubenya memiliki konten yang berisi kisah para pengidap HIV,Skizofrenia, Bipolar Disorder dan lain sebagainya. Hal ini secara tidak langsung telah mengedukasi sekaligus menyadarkan para millenials untuk lebih aware terhadap kesehatan mentalnya. Tidak kalah menariknya, buku karya Marchella FP yang berjudul “Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini” dan album “Mantra Mantra” milik musisi Kunto Aji memiliki misi khusus sebagai self healing para pembaca ataupun pendengarnya agar terhindar dari kecemasan, depresi, ataupun masalah-masalah kehidupan yang sulit untuk diselesaikan.

Nyatanya topik millenial dan kesehatan mental memang saling berkaitan di tahun ini. Namun, solusi untuk mengatasinya bisa jadi banyak bermunculan lagi di tahun depan sehingga topik millenials dan kesehatan mental bukan lagi menjadi topik negatif tentang banyaknya kasus bunih diri dan tingkat stress para millenial. Namun sebaliknya, tahun depan bisa menjadi batu loncatan para millenial untuk lebih sadar akan kesehatan mental mereka. Bisa menangani dan mengendalikan diri dengan baik, memilih gaya hidup yang seimbang, konsultasi ke psikolog atau psikiater bila perlu dan tetap menjadi pemuda pemudi yang produktif dan mencerahkan masa depan. Kalo ada solusinya, kenapa harus terjebak dalam kondisi?

Jadi millenials, tahun depan mau gandengan sama topik apa? [Mufardisah]