*) Devi Wulantika Nur Fitria
Selama 18 tahun, saya merasa telat mengetahui bahwa millennials adalah generasi Digital Native. Ya, telat 18 tahun karena Marc Prensky telah mencetuskan “Digital Natives, Digital Immigrant” tahun 2001.
Nggak telat-telat amat sih sebetulnya, karena saat artikel tersebut dirilis saya baru berusia 3 tahun. Mungkin, dosa digital saya tidak memperluas khazanah keilmuan sampai ke penelitian Prensky.
Dalam artikelnya, Prensky resah terhadap dunia pendidikan. Prensky mengatakan, “Our Student have changed radically. Today’s students are no longer the people of our educational system was designed to teach”.
Intinya, sistem pembelajaran yang dijalankan oleh Prensky telah usang dan sangat tidak cocok untuk peserta didik yang lahir bersamaan dengan mengglobalnya teknologi.
Dalam hal ini, Prensky merasa ada perubahan masif pada anak didiknya, namun tidak ada progres yang signifikan pada sistem pendidikan yang digunakan.
Generasi yang tak sesuai dengan sistem pendidikan yang digunakan Prensky adalah generasi yang lahir bersamaan dengan teknologi yang berkembang secara masif.
Mereka lebih lihai mengoperasikan gawai melebihi orang tuanya, memiliki sudut pandang yang kompleks atas permasalahan, dan menjadi penguasa informasi. Ya, mereka itulah Digital Natives.
Dalam hal ini, gaya hidup Digital Natives jauh berbeda dengan Digital Immigrants. Digital Immigrants adalah masyarakat yang merasakan kemudahan digital diparuh usianya, sehingga mereka masih merasakan lamanya menunggu balasan surat dari orang terkasih.
Kurang lebih hal itu digambarkan oleh Sukab ketika berkirim surat kepada Alina, yang juga ia masuki sepotong senja ke dalam amplop suratnya. Untung saja penggalan cerita dalam puisi “Sepotong Senja untuk Pacarku” karya Seno Gumira Ajidarma itu tidak terjadi.
Andai benar terjadi, maka Sukab bisa disalahkan atas fakta bahwa Digital Natives juga tidak akan berkembang karena sepotong senjanya telah memporak-porandakan dunia.
Dalam konteks ini, sangat unik membahas peluang Digital Natives yang sangat net savvy (fasih membangun jaringan) terhadap peluang kerja yang tinggi dan menguntungkan. Sebagaimana diketahui, jaringan dengan mudah dibangun dan memungkinkan mereka untuk menjangkau konsumen dari berbagai penjuru.
Kami sebagai mahasiswa Geografi kadang tertawa, karena kami benar-benar diberi kemudahan akses yang menembus batas geografis.
Tak ada lagi yang namanya barrier ketika kita membicarakan geografi industri karena online shop bertebaran di jagat dunia maya.
Berkaitan dengan peluang jaringan yang bisa dibangun millennials, maka saya ingin mengambil contoh hebohnya akun Instagram Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini (NKSTHI).
Di Twitter, NKSTHI hadir dengan nama yang sama. Untuk pembaca Pucukmera yang tidak mengerti arti kata sambat, maka sambat adalah perilaku mengeluhnya manusia terhadap sesuatu yang mereka hadapi.
Beberapa orang meyakini pasca sambat mereka akan merasa tenang dan lega. Ya, seperti itulah kiranya definisi sambat.
Akun NKSTHI berisi sambat-sambat manusia millennial sehari-hari. Tiap hari, sang admin membuat topik sambat yang fresh dan pas untuk di-iyakan.
Terkadang akun ini juga meng-upload ilustrasi dengan caption menarik, sehingga kita diberi kemudahan untuk setor story Instagram dan whatsapp.
Di sinilah saya merasa terfasilitasi ketika sambat. Akun ini benar-benar apa adanya menyoal manusia yang suka sambat. Tidak ada edisi menutupi dan sok kuat ketika menghadapi masalah. Kalau sambat ya sambat saja, gituloh.
Di Twitter, ternyata sambat menjadi kebutuhan yang tak terelakkan. Buktinya, setiap cuitan akun NKSTHI selalu mendapat banyak komentar sambat dari para pengikutnya.
Cukup menghibur bagi saya yang kadang masih suka menyembunyikan kelelahan dari semua orang. Komentar mereka terkesan tanpa tedeng aling-aling dan lucu karena penggunaan bahasa daerah.
Terlepas dari fenomena sambat, sebenarnya ada pola besar yang harus kita pelajari. Admin NKSTHI mungkin jadi contoh riil bahwa sadar teknologi sangat diperlukan bagi millennials untuk mencari peluang bisnis maupun popularitas.
Akun NKSTHI berhasil menawarkan apa yang tidak ditawarkan akun lain. Inilah yang membuat NKSTHI bertahan sebagai akun idaman para “Sahambat” (sebutan sahabat NKSTHI yang sering sambat di akunnya). Dari NKSTHI kita belajar bahwa sambat yang katanya tak berguna saja bisa dijadikan bisnis yang sangat bagus.
Mindset admin NKSTHI ini kiranya perlu dikembangbiakkan oleh para millennials. Bagaimanapun juga, net savvy adalah modal besar untuk menambah jaringan pemasaran.
Hadirnya online shop sesungguhnya merusak definisi industri lama. Namun, industri yang tadinya hanya bisa menjangkau konsumen sekitar dengan sponsor konvensional, kini bisa menembus batas negara.
Maka, kami para pembelajar Geografi merasa ada banyak kemungkinan yang harus segera ditangkap oleh para millennials. Bagaimanapun, nilai plus yang dimiliki millennials harus dikembangkan sebagai amunisi di era disrupsi.
Surplus net savvy jadi modal serius yang harus ditekuni. Apalagi, millennials kini terlampau mudah mengerjakan sesuatu secara otodidak karena mereka adalah generasi yang mudah mengerti segala sesuatu dengan melihat tutorial.
Menurut dr. Aisah Dahlan, Millennials cenderung menghasilkan karya yang lebih bagus dari yang dicontohkan oleh tutorial. Hal tersebut sudah jadi bukti bahwa sebenarnya pemilik zaman kini adalah generasi Millennial dengan segala kemampuannya.
Millennials hanya perlu mengerti bagaimana nyaman bekerja dan menangkap peluang sebanyak-banyaknya. Terakhir, jangan lupa campurkan ramuan kegigihan dan semangat untuk berkarya agar tidak cepat lelah, ya.
*) Mahasiswi S1 Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang