M. HARISH ISLAH
PUCUKMERA.ID – Indonesia adalah negara di ASEAN yang memiliki umur yang relatif sudah tua yaitu 79 tahun. Rakyatnya selalu merayakan dengan gembira pada tanggal 17 Agustus setiap tahunnya. Pemerintah pun tak mau kalah dalam merayakan budaya tahunan tersebut dengan acara-acara yang lebih meriah dan megah sehingga memakan banyak biaya negara. Ironisnya, selepas merayakan kemeriahan kemerdekaan itu, rakyat kembali bekerja seperti pada biasanya seakan tidak pernah terjadi apa-apa yang mengesankan. Kemerdekaan hanya sebatas ada di kelopak mata mereka dan tidak sampai pada kepala, apalagi hati mereka.
Setiap tahunnya, rakyat seolah dipaksa untuk merayakan suatu kemeriahan sesaat hanya untuk menutupi dan menormalisasi kebobrokan akibat dari kebijakan negara yang tidak bisa bahkan sekadar menunaikan isi dari Pancasila. Apalagi jika harus dipaksa untuk memahami arti dari cita-cita kemerdekaan, bisa saja meledak isi kepalanya sebab tidak mengerti.
Selain dijadikan sebagai rasa bersyukur, Hari Kemerdekaan juga seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk refleksi dan menuntut pemenuhan atas hak-hak yang belum ditunaikan oleh sang pemegang kekuasaan. Perayaan kemerdekaan tahunan tersebut seakan hanya sekadar mengaminkan penindasan-penindasan yang terus dilakukan oleh Negara terhadap rakyatnya yang juga seakan dipaksa untuk tetap menerima saja nasibnya.
Ini miris, merayakan kemerdekaan namun dalam keadaan masih tertindas. Banyak yang mengatakan kita tidak lah benar-benar merdeka atau terbebas dari penindasan penjajah, namun penjajah telah berganti baju dan wajah dengan penjajah yang baru dengan keadaan yang sebenarnya tidak begitu berbeda dari zaman penjajahan. Secara sadar, rakyat mengamini untuk ditindas dan dikuras oleh penguasa tanpa boleh atau bahkan sempat terlintas dalam benaknya untuk melawan, sehingga penindasan yang terjadi saat ini merupakan penindasan yang sudah dinormalisasi dan berjalan secara kultural.
Maka dari itu, perayaan-perayaan simbolik adalah klaim atas kesejahteraan yang tidak dapat dilangsungkan atau diberikan oleh Negara. Perayaan megah yang hanya sesaat itu dianggap sudah menghangatkan hati rakyat, meski esoknya rakyat tetap saja akan terus ditindas. Perayaan-perayaan momentual hanya dipakai Negara sebagai pertunjukan sirkus belaka yang menghibur sesaat saja. Kemerdekaan simbolik berarti kemerdekaan yang dirayakan secara besar-besaran namun tidak mencerminkan kemerdekaan sejati bagi semua lapisan masyarakat karena tidak memberikan implementasi dari kemerdekaan itu sendiri.
Hal ini membuat kita berpikir, bagaimana bisa kita tetap melanjutkan hidup dengan fenomena yang ironis tersebut? Sebenarnya, seberapa jauh “kemerdekaan” bisa dirasakan oleh rakyat Indonesia? Alam pikir kritis kita cenderung sedang ditenangkan oleh berbagai pertunjukkan murahan dari Negara yang hanya memuaskan dengan tempo waktu yang singkat saja, sehingga sulit untuk rakyat dalam memiliki kesadaran kolektif untuk “tidak patuh” terhadap ketundukan.
Mengutip pula dari buku Howard Zinn yang berjudul Ketidakpatuhan dan Demokrasi, “There is a danger in overemphasizing symbols at the expense of substance. A flag may wave in every yard, and we may still be a nation far from justice.” Pernyataan ini menyoroti tentang bagaimana simbol-simbol demokrasi atau kemerdekaan sering kali tidak mencerminkan kondisi nyata masyarakat, terutama dalam hal keadilan kultural.
Simbol-simbol seperti bendera, lambang negara, dan perayaan hari kemerdekaan sering kali menjadi representasi dari nilai-nilai kemerdekaan, kebebasan, dan persatuan. Namun, Zinn memperingatkan bahwa ketika masyarakat atau negara terlalu fokus pada simbol-simbol ini, ada risiko bahwa perhatian terhadap isu-isu substansial—seperti keadilan sosial, kesetaraan, dan hak asasi manusia—menjadi terabaikan.
Dalam konteks demokrasi, sebuah bangsa bisa saja tampak bersatu dan bebas melalui simbol-simbol tersebut, tetapi sebenarnya masih jauh dari keadilan yang sejati. Ini terjadi ketika simbol digunakan untuk menutupi atau mengalihkan perhatian dari masalah-masalah mendasar yang dihadapi oleh masyarakat, seperti ketidakadilan ekonomi, diskriminasi, atau penindasan terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Ketika kita menghubungkan ide ini dengan judul “Merdeka Simbolik, Penindasan Kultural,” kita melihat bagaimana perayaan kemerdekaan bisa menjadi sebuah ritual yang penuh simbol, namun tidak mencerminkan kenyataan yang dialami oleh semua warga negara. Contohnya, dalam perayaan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-79, kita melihat bendera dikibarkan di mana-mana, dan ada berbagai upacara yang menunjukkan betapa besar kebanggaan kita terhadap kemerdekaan. Namun, di balik semua itu, apakah semua orang di Indonesia benar-benar merasa merdeka? Atau apakah ada kelompok-kelompok tertentu yang masih mengalami penindasan, baik dalam bentuk kultural, ekonomi, maupun politik?.
Simbol kemerdekaan Indonesia, seperti bendera Merah Putih dan lagu kebangsaan, memang penting untuk membangun identitas nasional. Namun, jika kita terlalu fokus pada simbol-simbol ini dan mengabaikan substansi dari apa arti kemerdekaan itu sendiri, yaitu kebebasan dari segala bentuk penindasan. Maka kita jatuh ke dalam perangkap yang diingatkan oleh Zinn.
Misalnya, masyarakat adat atau komunitas-komunitas lokal yang masih menghadapi marginalisasi mungkin merasakan bahwa kemerdekaan yang dirayakan secara nasional adalah sesuatu yang jauh dari kenyataan hidup mereka. Mereka mungkin melihat simbol-simbol kemerdekaan berkibar di sekitar mereka, tetapi merasa bahwa nilai-nilai kemerdekaan itu sendiri belum mereka rasakan, terutama ketika budaya mereka ditekan atau diabaikan oleh arus modernisasi atau kebijakan pemerintah.
Zinn mengajak kita untuk tidak hanya merayakan simbol kemerdekaan, tetapi juga merenungkan dan memastikan bahwa substansi dari kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan penghormatan terhadap semua budaya dan identitas, betul-betul terwujud. Dalam esai “Merdeka Simbolik, Penindasan Kultural” ide ini bisa menjadi fondasi untuk mengeksplorasi bagaimana kemerdekaan sering kali dirayakan secara simbolis, tetapi dalam kenyataan sehari-hari, banyak yang masih belum merasakan kebebasan sejati dari penindasan kultural dan sosial.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
4 Comments
Telegram下载
WPS官网下载WPS Office: 一站式办公服务平台: 新升级,无广告,AI办公更高效. 立即下载. 登录使用. WPS 365: 面向组织和企业的WPS 365: 一站式AI办公,生产力即刻起飞. 了解更多. 咨询,记忆体占用低,体积轻运行快. 将文字、表格、演示、PDF等融合为一个组件。
Shelia
Appreciatioon to myy father who topd mee concernig this weblog,
thi webb site iis realky remarkable.
Allso visit mmy homepage; xxxto.day
Telegram下载
HelloWord翻译Hello World聊天翻译助手专注于为出海企业提供高质量的即时聊天翻译服务,专业聊天翻译技术,极速稳定收发,全球畅游,使用邮箱免费注册登录体验,专业翻译技术团队开发,超数百家企业信赖,支持whatsapp Line Tinder Twitter Instagram Telegram Zalo Facebook Badoo Bumble Quora Linkedin googleVoice Crisp Hangouts TextNow VK等软件的实时聊天翻译,无限网页多开。支持facebook群发,whastsapp群发,googleVoice群发
Telegram下载
有道词典是由网易有道出品的全球首款基于搜索引擎技术的全能免费语言翻译软件。简介. 支持中文、英语、日语、韩语、法语、德语、俄语、西班牙语、葡萄牙语、藏语、西语等109种语言翻译。拍照翻译、语音翻译、对话翻译、在线翻译、离线翻译更顺畅。更多的翻译 https://www.youdaoo.com