Merawat Keluarga, Merawat Indonesia

Nirwansyah
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Harganas atau Hari Keluarga Nasional selalu diperingati, tepatnya setiap tanggal 29 Juni. Namun, masih banyak masyarakat yang belum menyadari bahwasannya pada tanggal tersebut merupakan Hari Keluarga Nasional. Barang kali, salah satu penyebabnya ialah karena Harganas tidak dijadikan hari libur nasional.

Jelas terasa, peringatan Harganas kali ini memang cukup berbeda. Hal ini disebabkan karena adanya pandemi yang tak kunjung usai. Namun, ditengah pandemi inilah kita bisa lebih menjiwai dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Barang tentu, pengalaman, peran, dan makna keluarga bagi masing-masing orang berbeda. Berbicara tentang keluarga, sangat amat sulit untuk lepas dari unsur subjektif seseorang.

Mungkin bagi mereka yang memiliki keluarga utuh dan hubungan antara satu sama lain harmonis, maka akan memiliki kesan positif tersendiri beserta manfaat dan sebagainya. Akan tetapi, bagaimana dengan mereka yang broken home, serba kekurangan dan/atau mereka yang yatim piatu sedari kecil? Apakah mereka masih bisa merasakan apa yang disebut dengan keluarga?

Sebelum menjawab hal tersebut, alangkah eloknya kita melihat cikal bakal Harganas ini. Dimana Harganas tak lepas dari peranan keluarga untuk merelakan para pejuang dalam membela tanah air pasca kemerdekaan.

Cikal Bakal Hari Keluarga Nasional (HARGANAS)

Sebagaimana yang sudah disinggung di awal, bahwasannya Hari Keluarga Nasional belum terlalu familiar ditelinga banyak orang. Oleh sebab itu, perlu kiranya untuk terus mensosialisasikan, mengedukasi, dan mempropagandakan berbagai hal tentang Harganas. Hal ini dilakukan agar Harganas lebih dikenal oleh khalayak luas dan diharapkan mampu mengamalkan maksud dari diperingatinya Harganas tersebut.

Embrio Harganas lahir di era pasca kemerdekaan, tatkala Indonesia baru berdiri dengan format anyarnya, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Barang tentu, sebagai negara baru, kondisi Indonesia pasca kemerdekaan belum kondusif dan stabil. Pihak asing masih memiliki berahi untuk menjajah Indonesia untuk kesekian kalinya. Termasuk Belanda. Sehingga, diberlakukanlah wajib militer untuk mengantisipasi hal tersebut.

Konsekuensi logis dari pemberlakuan wajib militer ialah berpisahnya para pejuang dari keluarganya. Dengan kegigihan para pejuang, akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh pada tanggal 22 Juni 1949. Seminggu setelahnya, tepatnya pada tanggal 29 Juni para pejuang tersebut pulang kembali untuk berkumpul dengan keluarganya. Inilah embrio dari lahirnya Hari Keluarga Nasional.

Akibat peperangan tersebut, banyak pejuang yang gugur di medan tempur. Oleh karena itu, banyak pihak yang ditinggalkan berkeinginan untuk mencari pasangannya yang baru. Sehingga, lonjakan pernikahan dini pun tak terelakkan. Pernikahan dini ini mencapai titik kulminasinya pada tahun ’70-an. Sehingga, diberlakukanlah Keluarga Berencana (KB) nasional oleh penguasa pada saat itu.

Dengan demikian, Harganas sering diidentikkan dengan hari Keluarga Berencana (KB) nasional. Padahal lebih dari itu, Harganas harusnya mampu membangun keharmonisan dalam keluarga dan menumbuhkan rasa cinta terhadap bangsa.

Harganas sendiri, sebagaimana dikutip dari Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), diperingati dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan. Maka, ada yang mendefinisikan bahwa Hari Keluarga tidak hanya untuk keluarga; tetapi hari yang dirayakan untuk berbagai komunitas termasuk organisasi, bisinis, dan kelompok masyarakat tertentu.

Harganas juga ditujukan untuk menghidupkan fungsi-fungsi yang ada dalam keluarga. Keluarga tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan atau fungsi ekonomi semata, tetapi terdapat fungsi-fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 dan PP Nomor 21 Tahun 1994 menjelaskan bahwa minimal ada delapan fungsi yang harus dijalankan oleh suatu keluarga, yaitu fungsi agama, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, pendidikan, ekonomi dan fungsi pembinaan lingkungan.

Harganas pun mendapat legalitas. Pada 15 September 2014 melalui Keputusan Presiden RI Nomor 39 tahun 2014, tanggal 29 Juni ditetapkan sebagai Hari Keluarga Nasional dan bukan hari libur.

Keluarga, Fanatisme, dan Negara

Melihat fakta sejarah lahirnya Harganas, dimana peran keluarga sangat signifikan dalam proses terbentuknya dan mempertahankan negara. Jika seandainya masing-masing keluarga tidak mengizinkan anggotanya untuk berjuang membela tanah air, tak bisa dibayangkan apa yang akan menimpa bangsa ini. Oleh sebab itu, keluarga menjadi salah satu pilar penting dalam membentuk dan mempertahankan suatu bangsa.

Keluarga itu terbentuk setidaknya, akibat adanya ikatan atau pertalian darah dan secara alamiah akan tumbuh suatu sikap atau jiwa fanatisme. Mereka tidak akan terima apabila anggota keluarganya tersakiti atau dihinakan. Mereka akan saling melindungi bahkan bertaruh nyawa agar sesuatu yang buruk tidak menimpa keluarganya atau untuk melawan ancaman yang datang.

Hal ini disebabkan karena pertalian darah mempunyai kekuatan mengikat pada kebanyakan umat manusia, yang membuat mereka itu ikut merasa sakit setiap ada anggotanya yang sakit. Orang membenci penindasan terhadap kaumnya, dan dorongan untuk menolak tiap kesakitan yang mungkin menimpa kaumnya itu adalah sesuai dengan kodratnya dan tertanam pada dirinya (Khaldun, 2001).

Dalam pandangan Ibnu Khaldun, ia mengistilahan hal tersebut dengan ashabiyah. Ashabiyah adalah sesuatu yang dihubungkan atas pertalian darah atau memiliki kesamaan karakter tertentu, baik itu kesamaan visi, misi, atau tujuan tertentu. Sehingga, ashabiyah tersebut menjadi landasan berdirinya suatu negara. Apabila ashabiyah memiliki fanatisme yang kuat, maka akan mampu untuk membangun, memperthankan, dan memelihara suatu negara.

Jadi, ashabiyah yang ditopang dengan fanatisme yang kuat akan bermuara pada terbentuknya atau terpeliharanya suatu bangsa. Dengan kata lain, ashabiyah–meminjam istilah Von Savigny—memiliki kesamaan dengan volkgeist atau jiwa bangsa. Sehingga ashabiyah menjadi kekuatan penggerak Negara dan merupakan landasan tegaknya suatu negara atau dinasti.

Keluarga Bukan soal Pertalian Darah, tetapi Rasa

Ashabiyah bukan hanya semata-mata tentang hubungan pertalian darah. Namun, ia juga bisa terbentuk karena adanya kesamaan tujuan, visi, dan misi tertentu. Begitupun dengan Harganas, bukan hanya sekadar merayakan atau berkumpul dengan keluarga dalam arti yang harfiah.

Melainkan, Harganas juga ditujukan untuk mereka yang tidak memiliki keluarga atau mereka yang bergabung dengan suatu komunitas atau orang-orang tertentu, yang memiliki rasa (passion), visi, misi, dan tujuan yang sama. Sehingga, Harganas disini memiliki arti yang lebih luas.

Benang merah dari uraian diatas ialah peran keluarga sangat vital dalam menumbuhkan fanatisme, jiwa bangsa, dan rasa cinta tanah air. Selain itu, makna keluarga pun jangan dipersempit. Sebab, keluarga bukan hanya soal ikatan atau pertalian darah. Tetapi, keluarga ialah soal hubungan atau pertautan rasa.

Oleh karena itu, Harganas mesti lebih digaungkan lagi agar dikenal oleh masyarakat luas. Dengan demikian, Harganas memiliki makna yang dalam dengan formula “merawat keluarga” sama artinya dengan “merawat Indonesia”.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment