Merawat Cinta Ditengah Angkara, Dunia Semakin Gila

PUCUKMERA – “Senenge sak klenteng susah e sak rendeng” cuplikan alunan lagu Candra Malik feat Sujiwo Tejo, heru Shaggydog, marzuki kill the DJ, Emmy Tobing seketika menyayat hati. Irama membuat badan bergoyang serta membuat kepala mengangguk-angguk tetap menancap dalam hati bait-bait lirik lagu dengan judul samudera debu ini. Sebuah tamparan terhadap diri, rasanya orientasi hidup selama ini hanya mencari sebuah kesenangan belaka. Tak jarang untuk menggapai kesenangan usaha yang dibutuhkan sangat kejam, saling curiga bagai musuh dalam selimut.

Lagu ini mengingatkan saya dengan sebuah buku karya buya HAMKA yang banyak bercerita tentang kumpulan air mata, kesedihan dan rintihan yang diderita segolongan manusia dimuka bumi. Ditampakkan dua sisi dunia, gelap terang, hitam putih, bumi langit.

Dunia tak akan mampu dikejar meski hidup seribu tahun lamanya, yang kaya ingin semakin kaya, terus menumpuk harta bagai sebuah gunung. Padahal ada sebuah lembah dan jurang yang sangat curam membutuhkan uluran bantuan dari bagian gunung harta untuk naik melewati jurang yang curam.

Seperti digambarkan dalam kisah pasar malam, kontras sekali. Pasar malam dihiasi dengan berbagai lampu kerlap kerlip, makanan mewah yang disajikan dan orang lalu lalang dengan pakaian terbaiknya. Di seberang kesenangan itu nampak sebuah penderitaan, sebuah gubuk yang lesuh dihuni pasangan suami istri beserta anaknya yang serba kekurangan.

Sampai suatu ketika musibah menimpa keluarga tersebut, punggung keluarga terserang penyakit akibat kelelahan bekerja, perekonomian berhenti. Seisi rumah bingung ! ditambah lagi dengan adanya anak yang masih menyusu. Siapakah yang peduli dengan kondisi seperti ini, sedang sebuah pesta pasar malam masih berlangsung hingga suara terdengar dari rumah sang keluarga yang menderita.

Hingga ketika buya HAMKA menolongnya serta mencoba memanggil dokter dengan menelfonya, tak tanggung-tanggung 3 dokter telah di hubunginya. Pertama sedang mengobati pasien lain, dokter yang kedua sedang berada di pasar malam, dan ketiga dia berada di rumah, kemudian dijelaskan lokasi si sakit, seketika ia mengatakan besok saja ya.

Padahal kondisi pasien sudah sangat kritis, ada ketakutan dari kondisi ekonomi yang membuat dokter menjadi gugup. Miris ! Sesubuh itu dikabarkan oleh sang anak bahwa bapaknya telah tiada. Penderitaan tak terhenti disitu, saat arak-arakan pengantar jenazah terhenti sebentar dipersipangan bak bertemu dengan arak-arakan pasar malam.

Jenazah dengan terpaksa dilewatkan jalan lain yang teramat sempit karena masyarakat berduyun-duyun berangkat ke pasar malam. Saat dikebumikan suasana di hiasi sebuah petasan yang menjadi duri.

“Cinta memberi tanpa diminta“ Kembali dalam lirik lagu diatas rasanya tepat sekali menggambarkan siapa yang dengan sungguh mencintai sesama manusia serta siapa yang lebih memilih mencintai diri dan hasrat belaka.

Parahnya lagi hingga sampai saat ini kondisi kemanusiaan tak jauh berubah dari masa lalu, bahkan terkadang bertambah parah, kasus pacul, linggis dan kasus bom bunuh diri yang tiada henti dari tahun ke tahun contohnya. Nurani menjadi hewani.

Saat gadget menjadi andalan, pemenuhan kebutuhan sangat tercukupi. Mulai belajar si gadget, memesan makanan, memesan tiket bahkan untuk berselancar di dunia menjadi sangat mudah.

Pernah muncul sebuah gagasan “anti sosial sosial club” sebenarnya adalah sebuah life project kemudian menjadi brand yang sering diartikan klub anti sosial. Bahkan banyak pemuda bangga pada gelar tersebut. Dalam bahasa Indonesia sebenarnya berari kelompok sosial yang terdiri dari anak-anak anti sosial.

Nah bingung kan, nggak sedangkal itu pemaknaannya. Neek penulisnya mengatakan ini sebuah item nyata untuk mewakili hari-hari terendah saya dalam zetizen.com Tak bisa dipungkiri merawat cinta kemanusiaan penuh dengan tantangan, bukan hanya soal kepedulian setiap manusia, namun teknologi yg tidak digunakan secara bijak perlahan menggerogoti moral pengguna.

Timbul sebuah kesombongan seoalah semua hal dapat dilalui sendiri. Coba bayangkan jika teknologi saat ini dilenyapkan seketika, kebingungan sepertinya apa yang akan melanda dunia. Hamparan pelajaran kehidupan berhamburan bertahun-tahun lamanya, nilai kemanusiaan harus dihormati.

Apakah sebuah kegagalan membaca peristiwa sejarah yang terhampar luas bertahun-tahun lamanya. Nampak peristiwa tragis masa lalu terus terulang, tak kunjung berbenah diri dan mengambil ibrah dari berbagai kisah yang telah lalu, bertambah parah dengan masalah yang timbul saat ini.

Kemanusiaan yang tak kunjung memanusiakan manusia, seolah pengharapan palsu. Buya HAMKA menyampaikan pesan dalam buku dilembah kehidupan, bagaimana mungkin orang akan peduli sebab orang-orang sedang dirintangi oleh kesenangan dan kemewahan?[Didin]

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment