Menyoal Status WhatsApp

Hendy Pratama
Seorang esais dan cerpenis asal Madiun


PUCUKMERA.ID – Esai ini saya tulis manakala saya iseng-iseng mengkhatamkan seluruh status WhatsApp yang tertera dalam kontak pertemanan. Dari aktivitas unfaedah itu, tercetuslah ide untuk menulis topik ini. Baik, tanpa perlu bertele-tele, mari kita mulai~

Pertama-tama, saya ingin mengacungi jempol kepada Brian Acton dan Jan Koum yang telah meluncurkan aplikasi WhatsApp pada tahun 2009. Dua pemuda hebat yang menginisiasi lahirnya aplikasi messaging paling canggih sejagat raya ini, berhasil menyingkirkan dua aplikasi pesan pendek terdahulu; SMS dan BBM, yang belakangan jarang digunakan karena terkesan sudah jadul alias ketinggalan zaman. Kasihan amat, deh.

Teknologi merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia yang hidup pada zaman ini. Tak ayal bila para produsen gencar melakukan inovasi mutakhir. Mereka bersaing layaknya berlomba di tengah pacuan kuda. Barang siapa gagal berinovasi atau gagap mengeluarkan produk teranyar, mereka akan kehilangan pasar. Salah satu contoh nyatanya adalah Nokia—yang tentu tidak akan saya bahas di sini. Hehe.

Kembali ke topik. Aplikasi messaging termasuk bagian dari perkembangan teknologi. Maka, pihak developer harus terus melakukan pengembangan fitur kekinian. Fitur status pada peranti komunikasi WhatsApp —yang diluncurkan pada 2017, membuat pengguna setianya semakin candu untuk menggunakan aplikasi tersebut. Jan Koum seolah-olah tak ingin para pengguna lepas dari WhatsApp kendatipun hanya 1 atau 2 menit saja. Dengan adanya fitur status, rasa-rasanya kita memang tak dapat lepas dari memegang ponsel. Ya, pria asal Amerika Serikat itu memang jenius.

Lantas, apa fungsi fitur status WhatsApp bagi penggunanya?

Pertanyaan semacam ini sih, sudah pasti ketebak jawabannya. Benar, apalagi kalau bukan fungsi eksistensi. Kian hari manusia kian butuh eksistensi. Mereka berlomba-lomba menunjukkan keberadaannya. Tentu saja karena manusia pada dasarnya ingin diakui. Oleh sebab itulah, mereka menampakkan diri mereka di media sosial, salah satunya melalui media status WhatsApp. Orang-orang dapat dengan leluasa menulis atau mengunggah sesuatu dalam status WhatsApp-nya. Beragam tulisan, foto, dan video pun beredar setiap harinya.

Ngomong-ngomong, ada yang unik di fitur status WhatsApp. Kegabutan yang menimpa saya —yang entah atas dasar apa, membuat saya mengkhatamkan seluruh status kawan-kawan, ternyata ada faedahnya juga. Dari status yang saya lihat, saya jadi mengetahui kehidupan yang kawan-kawan saya jalani pada jam atau hari tertentu. Meskipun, status WhatsApp tak menjamin kesesuaian dengan realitas yang terjadi dan tak menutup kemungkinan menipu.

Misalnya, ada seorang kawan yang tengah merayakan ulang tahun kedua-puluhnya. Walau tidak terlibat dalam kemeriahan acaranya, saya turut merasakan kehangatan itu. Ada juga yang sedang menangis, saya pun merasakan kesedihan tersebut. Ada yang tengah duel main PES PlayStation 3 dan ia menulis kata-kata penuh ambisi di kolom status, ada yang sedang menonton bioskop, ada yang sibuk mengerjakan skripsi, dan ada juga yang menemui kawan lama di kedai kopi. Berbagai cerita tersirat dalam status WhatsApp.

Namun, ketahuilah, bahwa kadang kala manusia menulis status dengan maksud dan tujuan tertentu. Contohnya, kawan saya sendiri (panggil saja namanya ‘Afika’). Ia sengaja mengunggah status dalam rangka menarik perhatian si doi. Seluruh statusnya ia peruntukkan bagi doi, kecuali posting-an eventevent tertentu. Jadi, selama doi belum melihatnya, ia pun tak akan menghapusnya. Dan begitu nama doi masuk dalam ‘viewer’, sering kali status itu lenyap beberapa menit kemudian. Ahh, elah~

Ada juga kawan saya yang statusnya seperti bintik-bintik. Ia begitu percaya diri mengunggah status begitu banyak dan mengira semuanya akan dilihat. Mungkin, ia termasuk salah satu spesies manusia yang ‘jarang diperhatikan’. Makanya, ia cari perhatian posting status.

Terkait dengan hal ini, Kierkegraard, dalam filsafatnya, mengungkapkan bahwasanya eksistensi harus berelasi dengan esensi. Wujud ‘ada’ seseorang mestilah diimbangi dengan ‘hakikat’-nya diciptakan. Mudahnya, barangkali (pada topik ini), keberadaan manusia sebisa mungkin dapat memberikan pengaruh atau manfaat bagi lainnya.

Uniknya, status-status yang beterbangan di aplikasi milik Brian Acton dan Jan Koum itu lebih banyak difungsikan sebagai sarana tebar pesona. Para user WhatsApp sangat ingin memunculkan impresi seseorang terhadap dirinya. Biasanya, impresi yang dibangun adalah sesuatu yang baik-baik dan indah-indah. Dan sebenarnya hal itu sah-sah saja.

Banyak sekali motif yang melatar-belakangi seseorang dalam menulis/mengunggah status WA. Apabila saya telusuri, esai ini mungkin bakal setebal kerak bumi. Dan, yaaah, setidaknya, aplikasi ini telah memberikan wadah bagi siapa pun yang ingin menunjukkan dirinya, perasaannya, pemikirannya, citranya, dan sebagainya.

Kalau saya sendiri, kira-kira status WhatsApp saya berisi apa saja, ya?—Hm, baiklah kita cukupkan pembahasan ini! Dan sebelum mengakhirinya, izinkan saya mengutip kata-kata populer dari Descartes (“cogito ergo sum”) —yang saya ubah biar tampak kekinian dan keren: “Aku nyetatus, maka aku ada.”

Jadi, sudahkah kalian nyetatus hari ini?


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment