Menyoal Residivisme di Tengah Pandemi

Chusnus Tsuroyya
Pucukmera.id


Pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat adanya penurunan angka kejahatan umum selama pandemi. Berdasarkan keterangan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Argo Yuwono, tindak kejahatan pada bulan Maret dan April terjadi penurunan. Dalam siaran streaming Youtube BNPB (6/5), Argo mengatakan, rincian data tindak kejahatan di bulan Maret terdapat 19.182 kasus dan bulan April tercatat 15.322 kasus. Dari data tersebut, terdapat penurunan sejumlah 19,90 persen.

Meski angka kejahatan umum menurun, angka kejahatan jalanan kian meninggi. Bentuk kriminalitasnya beragam, mulai dari penjambretan, perampokan, dan pencurian sepeda bermotor (curanmor).

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia membebaskan 38.822 narapidana. Para narapidana dibebaskan dengan dalih untuk mencegah penularan Covid-19 di dalam penjara.

Sebanyak 36.641 narapidana dibebaskan melalui program asimilasi, sedangkan 2.181 narapidana dibebaskan karena program integrasi. Asimilasi adalah program pemasyarakatan yang diberikan kepada narapidana dewasa dan anak. Sedang integrasi diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi ketentuan pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas.

Rata-rata, pelaku yang melakukan kejahatan jalanan ini justru adalah para eks narapidana yang dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi tersebut. Dalam dunia hukum, mereka adalah residivis, orang yang melakukan pengulangan tindak pidana yang sama, yang mana tindak pidana yang dilakukan sebelumnya telah dijatuhi pidana dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Hal ini menjadi persoalan tersendiri. Di saat semua lengah karena kebijakan karantina di rumah, justru eks narapidana kembali berulah. Mereka kembali melakukan tindak kriminal di masyarakat. Pandemi hanya menjadi pelengkap bagi seorang residivis.

Fenomena Residivisme

Seperti yang dikatakan oleh Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Reza Indragiri pada CNNIndonesia.com, keterbatasan gerak selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat banyak orang tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Menurut Reza, rasa frustasi yang demikian dapat memicu seseorang untuk melakukan tindak kejahatan.

Eva Achjani Zulfa, ahli hukum pidana dari UI juga pernah berpendapat, hukuman yang terlalu ringan dapat membuat residivis tidak jera apabila keluar dari penjara.

Juga, dalam kaitannya mengenai penanganan terhadap terpidana, seakan tidak berjalan. Penjara mungkin hanya sebatas formalitas. Orang dimasukkan dalam lapas, dikurung dalam kurun waktu tertentu. Bertemu dengan terpidana yang lain, hingga terjadi prisonisasi di dalamnya.

Tiga hal ini seakan menjadi faktor pembenar mengapa residivis berani melakukan aksi kriminalnya lagi.

Dalam ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana pencurian misalnya, sebagaimana tertera pada Pasal 362, hukuman maksimalnya adalah penjara selama lima tahun. Jika pelaku eks narapidana yang melakukan tindak pidana pencurian di kemudian hari, hukumannya akan diperberat.

Mengenai pemberatan residivis ini terdapat pada Buku II KUHP. Ketentuan pasal 486 KUHP menyatakan, pemberatan residivisme dapat ditambahkan dengan sepertiga, jika yang bersalah ketika melakukan kejahatan, belum lewat lima tahun, sejak menjalani untuk seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya.

Namun praktiknya, dalam beberapa putusan pengadilan, yang digunakan justru hukuman yang paling rendah. Akhirnya, tujuan adanya hukuman penjara untuk memberikan ‘efek jera’ pun menjadi hilang.

Senada dengan ini, pakar hukum Bivitri Susanti dalam diskusi virtual yang diadakan oleh Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2) dan The Asia Foundation mengatakan, residivisme yang dilakukan eks narapidana asimilasi dan integrasi menuntut pembenahan proses penindakan hukum di Indonesia. Hukuman penjara bukanlah satu-satunya jawaban. Teori absolut/teori pembalasan dalam hukum pidana, yang menjadikan ‘balas dendam’ sebagai sasaran utama dilakukannya pemidanaan, sudah tidak relevan.

Alternatif Baru Sistem Pemidanaan

Menurut Bivitri, alternatif hukuman dapat bersifat restorative justice. Restorative justice merupakan konsep/prinsip pendekatan keadilan restoratif yang memberi perhatian sekaligus pada kepentingan korban, pelaku dan masyarakat.

Proses pemidanaannya berfokus pada proses dialog dan mediasi. Pada korban, penekanannya pada pemulihan kerugian aset, derita fisik, dan rasa keadilan. Pada pelaku, ditekankan pada rasa malu dan pemberian tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan. Jika sudah ada dialog dan mediasi, konsep keadilan yang berimbang akan tercapai.

Selama ini proses pemidanaan yang dilakukan dengan prinsip restorative justice sudah dilaksanakan dengan baik dan berhasil. Beberapa di antaranya dilakukan pada tindak pidana yang melibatkan anak —anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku.

Alternatif ini seakan mendukung asas hukum pidana yang berbunyi ultimum remedium. Hukum pidana merupakan upaya hukum paling terakhir. Sebelum hukum pidana diterapkan, masih banyak alternatif hukuman lain yang dapat/harus diterapkan.

Bivitri menegaskan, prinsip restorative justice perlu diterapkan sebagai salah satu jalan keluar. Pandemi ini, kata dia, menjadi momentum yang baik untuk mendorong perubahan sistem penegakan hukum pidana dari hulu. Prinsip restorative justice ini harus dimulai dari kepolisian, di mana tahap pertama penyelidikan dimulai, kemudian tahap penyidikan oleh polisi maupun PNS berwenang, penuntutan oleh jaksa penuntun umum (JPU) sampai pembacaan putusan oleh pengadilan.

Sehingga, baik dalam kondisi pandemi maupun keadaan normal, ketika residivis berulah kembali, ada konsep yang membuat residivis tersebut enggan melakukan kejahatannya lagi.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment