Menyisir Konsekuensi Ekonomi Omnibus Law

Deni Aditya Susanto


Belakangan publik dibuat riuh oleh omnibus law yang kabarnya disahkan tengah malam di kala mayoritas rakyat tengah terlelap. Berbagai kejanggalan mengemuka dari aspek prosedural hingga substansial. Memang begitulah status quo akhir-akhir ini, kondusivitas politik dan iklim ekonomi menjadi komoditas mahal untuk diwujudkan.

Omnibus law dan kegaduhan publik telah ramai diperbincangkan, mengisi diskusi lintas sektoral dan interdisipliner pengetahuan. Banyak yang ambil bagian mengedukasi masyarakat tentang problem Omnibus Law nanti di masa depan, tapi juga banyak yang mengukuhkan dukungan dengan dalih pemerataan. Tapi mari sejenak kita tinggalkan perdebatan itu. Toh, sebentar lagi suka tidak suka segepok aturan hukum itu bakal dijalankan, mengingat bebalnya para penguasa untuk mendengar suara rakyat.

Obesitas Kelembagaan

Berbagai versi Omnibus Law yang beredar di masyarakat: 905 halaman dan 1035 halaman. Saya coba pakai versi 1035 halaman yang konon telah dikirim ke meja presiden untuk disetujui bersama DPR.

Omnibus Law Cipta Kerja setidaknya memuat 10 klaster yang semua bermuara pada tujuan penciptaan dan perluasan lapangan kerja. Terdiri atas 13 bab dengan 210 pasal. Konon Omnibus Law bervisi meringkas undang-undang (UU) sehingga lebih efisien. Tapi jika ditelaah lebih dalam Omnibus Law merupakan kompilasi dari berbagai UU yang disatukan.

Berikutnya yang dikritisi banyak pengamat, yaitu semakin banyaknya aturan turunan berupa peraturan pemerintah yang mengatur teknis Omnibus Law. Hasil penelusuran yang saya lakukan, paling banyak terdapat 469 peraturan pemerintah yang akan menjadi aturan turunan Omnibus Law. Bayangkan saja betapa semakin obesitas kerangka aturan kita.

Obesitas kerangka kelembagaan menunggu di depan mata. Padahal 2 abad silam, Adam Smith telah mengingatkan peran kelembagaan yang diartikan sebagai aturan main (rule of thegame) yang akan menentukan efektivitas kebijakan dan efisiensi skala ekonomi. Dengan obesitas kerangka kelembagaan, pemburu rente akan semakin banyak karena panjangnya rente yang ada. Di lain sisi, obesitas kelembagaan ini hanya akan menciptakan ladang duopoli baru karena tingginya biaya transaksi. Maka, bersiaplah kita menghadapi kooptasi korporasi yang dishahihkan oleh kuasa birokrasi.

Konsekuensi Ekonomi

Omnibus Law akan membawa banyak konsekuensi ekonomi dari tiap bab dan pasal yang akan disahkan. Barangkali banyak perspektif yang akan digunakan, tapi saya coba pakai perspektif yang paling pesimis tentang masa depan ekonomi pasca diterapkannya Omnibus Law. Bukan untuk mengirimkan pesan pesimisme pada yang lain, tapi sebagai peringatan dini karena masa depan Indonesia adalah kita, generasi muda.

Pertama, Omnibus Law adalah kemunduran kelembagaan ekonomi publik di era reformasi ini. Desentralisasi yang menjadi nafas reformasi akan semakin memudar. Indonesia akan kembali ke orde baru yang sentralistik. Hal ini direpresentasikan 895 ayat dan poin yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Misalnya pada pasal 18 tentang Penataan Tata Ruang, secara keseluruhan mekanisme penyusunan tata ruang berada pada wewenang dan persetujuan pemerintah pusat. Ayat ini dikhawatirkan akan menjadi komoditas politik pada sektor-sektor strategis terutama tentang eksplorasi sumberdaya alam. Pemerintah Daerah (Pemda) yang belum memiliki kapasitas kelembagaan yang mumpuni hanya akan terkooptasi oleh pusat. Dan banyak sekali kebijakan sentralistik yang akan menimbulkan silang sengkarut pemerintah pusat dan pemda, bahkan pemerintah pusat akan semakin over power.

Kedua, pasar modal dan perbankan akan dibuka lebar tidak hanya bagi pribumi tetapi juga untuk otoritas asing. Sektormoneter di era financial technology akan semakin menyuburkan spekulan di pasar modal dan uang. Tampaknya, geliat sektor keuangan akan menciptakan banyak residu sehingga bubbleeconomy sewaktu-waktu akan meledak.

Ketiga, industrialisasi akan dibuka dengan kemudahan investasi dan perizinan. Hilangnya pengawas AMDAL dan andil publik dalam pengawasan lingkungan akan menjadi previllage industri tidak ramah lingkungan. Di sini, kita bisa berhitung, berapa eksternalitas positif dari serapan tenaga kerja dengan eksternalitas negatif atas kerusakan lingkungan jangka panjang.

Keempat, Paragraf 2 tentang penanaman modal halaman 435 penanam modal mendapatkan hak perluasan usaha dengan persetujuan pemerintah pusat. Sekali lagi, pemerintah pusat yang menjadi aktor utama. Lantas bagaimana dengan pembangunan berbasis pada indigenous potencial, masyarakat adat, dan kearifan lokal yang selama ini menjadi nafas ekonomi rakyat. Maka kasus-kasus seperti Freeport, Newmoon, dan sejenisnya akan semakin menjamur.

Terakhirsektor tenaga kerja yang paling banyak diributkan. Pada akhirnya, angkatan kerja kita tidak akan punya pilihan lain selain tunduk pada konstitusi karena kita butuh makan. Tapi sampai kapan ketegangan dengan kaum buruh dapat ditahan. Etos kerja dan produktivitas juga akan sulit ditingkatkan jika hak-hak tidak ditunaikan. Belum lagi potensi konflik yang sewaktu-waktu dapat terjadi di mana pun sesuai kesadaran kolektif yang dirasakan kaum buruh.

Namun, semoga kekhawatiran dan pesimisme ini tidak terjadi agar Indonesia semakin baik seperti harapan perumus kebijakan.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka1Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment