Menyatukan Pendidikan Intelektual dan Pendidikan Moral

Honing Alvianto Bana
Lahir di Kota Soe – NTT. Saat ini sedang aktif di Komunitas Embun Molo dan Pokja OAT Nausus. 


Pucukmera.id — Di tengah berbagai krisis bangsa, kita semua tentu menaruh harapan lewat pendidikan. Karna hanya lewat pendidikan, kemajuan dalam berbagai sendi kehidupan berbangsa dapat kita capai. 

Namun belakangan ini, tak sedikit orang yang merasa khawatir dengan sistem pendidikan kita. Bagi mereka, banyak orang saat ini memiliki keterampilan teknis dan gelar yang panjang. Tapi sayang, mereka tak punya watak yang baik. Lalu kita bingung dan bertanya, apa yang harus dilakukan?

Jawaban singkat adalah dengan membongkar pendidikan kita. Kita perlu lebih banyak pendidikan moral di sekolah-sekolah. Namun karena paradigma yang sempit, kita semua mengira, moral dapat dibangun melalui agama. Padahal tidak selalu seperti itu. 

Moralitas adalah soal memahami apa yang baik dan buruk di dalam kehidupan. Agama memang ikut mengajarkan, namun agama berpijak pada dogma yang tak selalu abadi. Dunia berubah jauh lebih cepat, daripada kemampuan agama menanggapinya secara jeli. 

Maka moral harus dipahami lebih luas dari agama. 

Moral adalah soal membangun kepekaan nurani di dalam melihat dunia. Moral tak semata berpijak pada ajaran dogma, tetapi juga pada akal budi yang terasah. Moralitas adalah soal hati nurani manusia yang selalu melihat kekejaman dengan gelisah. 

Namun proses akal budi bukanlah proses yang universal. Setiap kultur memiliki pola penalarannya masing-masing yang khas dan tak tergantikan. 

Ruang untuk memperdebatkan apa yang baik dan apa yang buruk dalam satu konteks disebut sebagai etika. Etika bukanlah seperangkat norma, melainkan kesempatan bagi orang untuk sungguh mempertimbangkan sikapnya di dalam suatu masalah kehidupan yang nyata. 

Maka porsi pendidikan moral dan etika haruslah cukup besar di dalam pendidikan kita. Lalu pertanyaannya adalah, apakah kita perlu menambahkan mata kuliah atau mata pelajaran baru di dalam kurikulum yang sudah cukup “menyiksa”? 

 

Pendidikan Sains

Jawabannya tidak. Moral dan etika tidak perlu menjadi mata pelajaran atau mata kuliah mandiri. Moral dan etika bisa hidup di dalam pelajaran-pelajarannya lainnya. Seperti sudah ditegaskan oleh para filsuf pendidikan, esensi pendidikan selalu mencakup tiga hal, yakni penyadaran, pemanusiaan, dan pembebasan manusia. 

Melalui pendidikan, manusia disadarkan akan perannya di dunia. Melalui pendidikan manusia dibebaskan dari kemiskinan dan kebodohan. Dan melalui pendidikan manusia menjadi semakin manusiawi dalam memandang kehidupan.

Ketiga hal ini bisa diterjemahkan di dalam pendidikan ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan alam maupun sosial. Pendidikan sains bukan cuma pemindahan pengetahuan semata, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi di dalamnya. 

Bagaimana caranya?

Penerapan

Misalnya di dalam matematika, ilmu ini tidak hanya soal menghafalkan rumus, tetapi juga mengajarkan nilai ketepatan berpikir. 1+1=2. Tidak bisa lainnya. 

Artinya kalau orang mulai mengubah itu, maka ia berpeluang menjadi koruptor di masa depan. 

Di dalam ilmu biologi pun kita bisa melakukan hal yang sama. Guru biologi tidak boleh hanya mengajak anak menghafal anatomi tubuh, tetapi juga mengajar anak untuk sungguh menghargai tubuh. Jika tubuh itu berharga, maka tubuh harus sungguh dihargai dengan tidak menindik tubuh sembarangan, mengonsumsi obat-obatan yang merusak tubuh, atau melakukan seks yang tidak aman. 

Di dalam ilmu fisika, kita diajarkan soal hukum-hukum yang menggerakkan alam. Namun guru tidak boleh hanya mengajarkan rumus untuk dihafalkan oleh peserta didik. Guru juga perlu mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang tersembunyi di balik rumus-rumus yang ada. 

Misalnya ketika melihat kerumitan alam ini, peserta didik juga diajak untuk sungguh mencintai dan menghargai alam. Peserta didik juga diajarkan untuk melihat dirinya sebagai bagian dari alam, bahwa ia tidak akan bisa hidup dan berkembang sebagai manusia jika alam tidak menopangnya. Maka sekali lagi perlu ditekankan, bahwa guru fisika tidak hanya mengajarkan rumus dan soal semata, tetapi juga nilai moral yang tertanam di dalam rumus maupun soal tersebut.

Hal yang sama bisa diajarkan melalui pelajaran kimia. Ilmu kimia bertujuan untuk mengungkap elemen-elemen yang menyusun alam semesta. Di dalam proses belajar kimia, para peserta didik diajak untuk melihat alam sebagai suatu harmoni agung yang seimbang tiada tara. Alam adalah sesuatu yang indah, yang perlu kita hargai dan cintai. 

Di dalam pendidikan seni, peserta didik tidak hanya diajak untuk menghafalkan not balok ataupun not angka. Anak juga tidak boleh hanya diajarkan menyanyi dan bermain musik semata. Melalui musik anak diajar untuk mengasah rasa dan kepekaannya soal situasi sekitar, maupun kepada orang lain. 

Seni adalah alat untuk menggerakkan hati peserta didik, dan mengajaknya untuk peka serta terlibat aktif di dalam lingkungannya. Di sisi lain seni juga merupakan ekspresi dari diri manusia. Di dalam pelajaran seni, anak diajarkan untuk berani terbuka dan mengekspresikan perasaannya. Kemampuan mengekspresikan diri ini juga amat penting untuk menjaga kesehatan mentalnya.

Di dalam ilmu pengetahuan sosial, peserta didik diajarkan soal kelas-kelas sosial yang ada di dalam masyarakat. Misalnya di dalam pemikiran Karl Marx, masyarakat terbelah menjadi dua kelas, yakni kelas proletar yang tak punya modal, dan kelas pemilik modal yang kaya raya. 

Ajaran ini tidak boleh berhenti menjadi teori belaka. Nilai di baliknya adalah bahwa peserta didik perlu belajar tentang nilai empati dan solidaritas pada kelas sosial yang berbeda dari mereka. Teori bertujuan untuk membuat hidup manusia lebih bermutu, dan bukan hanya sekadar untuk dihafal belaka. 

Di dalam semua mata pelajaran, peserta didik juga diminta untuk belajar mengenai nilai pentingnya kerja sama, kejujuran, ketekunan, komitmen, kerja keras, manajemen waktu, dan kesetiaan yang tertanam di dalam setiap mata pelajaran. Ini semua harus diangkat oleh para guru, sehingga peserta didik memahaminya secara tepat, dan melakukannya di dalam kehidupan. 

Pemahaman akan sesuatu juga harus melahirkan kecintaan dan penghargaan pada sesuatu itu. Ilmu bukan sekadar teori ataupun rumus untuk dihafalkan, tetapi juga ajakan untuk sungguh menghargai dan mencintai alam semesta, baik alam sosial maupun alam natural. Cinta dan penghargaan yang nantinya kita wujudkan di dalam sikap hidup sehari-hari. 

Maka jelaslah bahwa pendidikan sains juga bisa menjadi jembatan untuk pendidikan moral, tanpa perlu menciptakan mata pelajaran baru dengan nama etika, moral, atau agama. 

Dengan cara ini kita semua bisa membangun kurikulum pendidikan yang bersifat integral antara pendidikan intelektual dan pendidikan karakter. Kedua hal itu sama sekali tidak terpisahkan. 

Jika itu bisa terjadi, harapan saya generasi Indonesia akan tetap cerdas, sekaligus memiliki karakter yang baik. 


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment