Habib Asha Kurniawan
Mahasiswa UM Ponorogo
Mari bersepakat bahwa sebuah polemik yang terjadi di tubuh stafsus milenial Pak Jokowi itu murni tindakan blunder dari pihak-pihak terkait. Nggak usah bawa-bawa nama milenial. Titik.
***
Ramai perbincangan soal stafsus milenialnya Pak Jokowi, lama-lama kok bikin gatel telinga. Bagaimana tidak, term milenial kali ini agaknya ikut terbawa-bawa. Yang ditakutkan ada semacam generalisasi istilah—yang sering disebut hasty generalization. Kalau stafsus, ya stafsus saja, tidak usah diembel-embeli term milenial, begitu.
Padahal, kalau orang mau sedikit berfikir lebih dalam dan panjang, bahwa eksistensi mereka di dalam circle istana sama sekali bukan potret kaum milenial hari ini. Jadi, jangan sampai ada anggapan bahwa stafsus tersebut adalah representasi dari pada milenal di Indonesia, ya. Bila di awal Pak Jokowi meminta kepada segenap staf khusus tersebut untuk menjadi jembatan dari para kawula muda Indonesia, ya sudah, diiyain saja.
Sebenarnya kenapa lagi stafsus Pak Jokowi ini kok bikin rame jadi perbincangan publik?
Bahwa kemarin, sedikit ngobrol dengan rekan sejawat atas apa yang terjadi sama stafsus-stafsus tersebut. Meskipun via aplikasi percakapan daring, setidaknya hal tersebut menemukan sebuah kalimat kesimpulan yang tidak sama-sama dipenuhi dengan prasangka. He-he.
Insiden bermula saat Andi, salah satu stafsus, menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada camat di seluruh Indonesia—yang pada intinya ingin agar perusahaan yang masih dipimpinnya, Amartha, bisa berpartisipasi dalam program desa dalam menghadapi wabah pandemi corona.
Tampaknya, niat yang dikira baik itu penuh dengan kontroversi. Sebagai salah satu pejabat negara dan juga masih terhitung sebagai pimpinan dalam sebuah perusahaan besar, apakah sudah mencerminkan moral etik dalam birokrasi pemerintahan? Alih-alih punya niat baik, justru yang terjadi adalah konflik kepentingan.
Ramai-ramai media publik membicarakan persoalan tersebut. Termasuk saya dan rekan dialog saya tersebut. Hingga yang cukup menggelitik adalah ada sebuah pihak yang berani merevisi isi surat yang ditulis oleh Andi tersebut. Lengkap dengan coretan bolpoin merah di atasnya. Mengherankan sekelas staf khusus masih seperti demikian.
Selang beberapa waktu, Andi langsung mencabut surat tersebut dan segera membuat sebuah klarifikasi permintaan maaf kepada publik.
Sama halnya dengan Andi. Belva Devara, sapaan akrabnya, seorang pimpinan platform belajar digital Ruang Guru, ikut tersandung masalah—yang lagi-lagi menyangkut pada konflik kepentingan di lingkar istana.
Bagaimana tidak, start up yang menggawangi program pendidikan daring tersebut—melalui Skill Academy menjadi salah satu bagian dari program Kartu Prakerja. Hal tersebut tentu menimbulkan banyak anggapan negatif atas keberadaan Belva sebagai pimpinan perusahaan dan sebagai staf khusus Pak Jokowi. Tidak berselang lama, Belva juga memberikan klarifikasi kepada publik lewat akun Twitter pribadinya.
Andi dan Belva tidak sendirian dalam menuai polemik, masih ada Billy Mambrasar yang dengan percaya diri menuliskan sebuah bio pada akun LinkedIn-nya. Dalam sebuah akun jejaring professional tersebut, Billy diketahui menulis bahwa posisinya sebagai stafsus setingkat dengan dengan menteri. Namun, Billy segera merevisi bio tersebut dengan menghapus diksi yang menyatakan posisi staf khusus setingkat dengan menteri tersebut.
Tentu, pernyataan-pernyataan jumawa seperti itu tidaklah elok dikatakan oleh sosok-sosok besar seperti staf khusus Pak Jokowi.
Dan, lagi-lagi, ketika sosok-sosok penting di istana hanya membuat sebuah klarifikasi permintaan maaf dan lain sebagainya, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Akan ada banyak polemik lagi menyoal permasalahan-permasalahan abuse of power seperti itu. Lain hal ketika pemerintah juga mengambil sikap tegas dan tidak pandang bulu akan persoalan tersebut.
Beragam respon hadir di tengah polemik tersebut, dari pihak istana yang sangat kalem dan terkesan tidak ambil pusing akan persoalan tersebut. Hingga para media oposisi—yang kalau sudah angkat suara kejamnya minta ampun. Sampai-sampai ada yang berpendapat dengan insiden yang demikian sudah patutnya mereka angkat kaki dari Istana a.k.a mundur dari jabatan sebagai staf khusus. Bagi saya itu sebuah ironi.
Dengan persoalan-persoalan pada staf khusus tersebut, terlalu berlebihan ketika Pak Jokowi di awal kepemimpinannya menaruh terminologi milenial kepada para staf khususnya tersebut—yang di tengah periode kepemimpinannya tersandung polemik-polemik seperti di atas.
Milenial tidak boleh dipahami hanya pada angka tahun kelahiran dan rentang usia saja. Lebih dari itu, milenial adalah sebuah terminologi-representasi-generasi hari ini yang akan menjadi sosok-sosok pemimpin untuk masa depan Indonesia. Lha kalau yang katanya representasi milenial Indonesia yang diangkat jadi pejabat negara saja sudah seperti itu, gimana dong?
Pucukmera.ID – Sebagai media tempat anak-anak muda Indonesia untuk berkreasi dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu saja, Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu untuk mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id