Fawwaz Syafril Dirana
Mahasiswa Psikologi
Hal-hal yang aku alami selama menjadi manusia, sedikit-banyak akan tertoreh dalam tulisan ini. Sebuah kolaborasi antara pengalaman empiris, dengan sedikit kajian agamis, dan secuil kajian perspektif psikologis yang menjadikan tulisan ini menarik simpati serta menambah wawasan pembaca.
Berisikan tentang bagaimana sebuah “keluarga” yang mengandung, sekaligus menciptakan sebuah makna dan peran tersendiri bagi seorang manusia, yang diamanahi untuk menjadi khalifah di bumi estetik milik-Nya, dengan sifat kehambaan yang mutlak.
Inilah kisahku, seorang Ibu berprofesi sebagai dosen di kampus swasta, yang menanggung semua kebutuhan keluarga.
***
Sedari kecil, urusan kehidupanku dan kakak-kakakku dibebankan kepada Ibuku. Ia merangkap predikat sebagai seorang kepala keluarga sekaligus kepala rumah tangga. Ibuku bukanlah seorang janda saat itu, namun semua hal terkait kebutuhan hidup dan pendidikan ditanggung olehnya.
Mungkin pertanyaan selanjutnya ialah di mana Ayahku? Yah, memang Ayah dan Ibuku belum bercerai saat itu, tapi Ayahku tidak menafkahi keluarganya secara benar.
Ibuku pernahh bercerita, saat awal-awal setelah pernikahan, Ibu pernah meminta uang untuk keperluan keluarga. Kemudian, Ayahku hanya memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepada Ibuku.
Ayahku memberi uang tersebut seraya berkata, “Sak mampuku, to!” atau “Semampuku, lho!” Sesaat setelah Ibuku memberitahu bahwa uang yang diberikan masih belum mencukupi kebutuhan.
Sudah jelas sekali bahwa uang sebesar itu tidak cukup untuk membiayai ketiga anaknya.
Tak lama kemudian, Ibuku memutuskan untuk tidak berharap lebih kepada Ayahku. Dengan tidak menggantungkan tanggungjawab kepada seorang suami dalam menafkahi keluarganya.
Dimulai dari urusan keuangan seperti uang makan, biaya pendidikan yang tak murah (karena saat itu kami bersekolah di sekolah swasta), uang transportasi untuk bekerja bagi Ibuku dan uang transportasi untuk mengantarkan aku dan kakak keduaku untuk sekolah. Sudah terbayang kan, bagaimana perjuangannya?
Ibuku juga bercerita, ketika ia sedang mengandungku, ia pernah mendorong gerobak yang berisikan jerigen seberat 10 liter sepanjang ±5 km sendirian. Bisa kalian bayangkan?
Ketika Ibuku bercerita seperti itu, aku sempat tak percaya. Bagaimana teganya seorang pria bisa-bisanya membiarkan seorang wanita yang sedang hamil melakukan hal seperti itu? Belum lagi fakta bahwa ketika pagi aku berangkat sekolah, Ayahku masih tertidur. Kemudian menghilang entah ke mana, dan baru tiba di rumah ketika aku sudah tertidur pulas.
Perjuangan dan pengorbanan Ibuku yang polos dan tulus tercermin dengan jelas, seperti sublim matahari pagi. Kepolosan itu tercermin dari sikapnya yang―saat itu―mengasumsikan bahwa sebagai seorang istri harus manut dan patuh secara mutlak kepada suami, tanpa ada sikap saling koreksi serta menasehati.
Hanya ada kata “Iya” dan menerima celotehannya, kemudian ia lanjutkan dengan berjuang sendiri. Sedangkan ketulusannya tercermin dari perjuangannya yang bahkan sampai sekarang masih ia lakukan. Mulai dari montang-mantingnya (banting tulangnya) sampai hal yang tidak bisa aku ceritakan dan bahkan akan mengakibatkan tulisan ini menjadi sangat panjang.
Oh iya, tak cukup sampai situ. Setelah itu semua, tak lama kemudian, ketika aku menduduki bangku kelas 3 SD, Ibuku memutuskan untuk bercerai dengan Ayahku. Sebab itu, anak-anak mereka harus memutuskan dengan siapa mereka akan tinggal, dengan Ayah atau dengan Ibu.
Akhirnya aku dan kakak keduaku memutuskan untuk tinggal bersama Ibuku, sedang kakak pertamaku tinggal dengan Ayahku.
Di sini, hal yang miris terjadi lagi, Ibuku sang pemilik rumah secara terpaksa harus pergi dari rumah hasil keringatnya sendiri dan mengontrak di salah satu rumah murah ― yang oleh warga sekitar dianggap horror.
Di situlah kami berjuang bersama, mulai dari menghadapi peristiwa horror sampai banjir dengan bonus mati lampu, sebuah kenangan yang indah.
Selang beberapa bulan berlalu, kakak pertamaku tiba-tiba menghampiri Ibuku dan berkata ingin tinggal dengannya. Ternyata, kakakku ini dalam kesehariannya tidak diberi uang jajan, dan ia disuruh untuk menjual koran yang kemudian hasilnya digunakan untuk uang jajannya.
Tak sampai situ, bahkan katanya, ia akan putus sekolah karena tidak ada biaya pendidikan dari Ayahku―sebenarnya di sini Ibuku sudah berencana menarik kakakku ini untuk ikut dengannya, karena ia tidak yakin dengan Ayahku dalam menjamin kesejahteraan anaknya sendiri.
Ibuku merupakan orang yang mengutamakan pendidikan, sehingga ia mengambil alih urusan hidup kakakku ini di tangannya. Ia menyelamatkan anak-anaknya dari kebodohan, dengan menyekolahkan anak-anaknya di pondok modern, yang sangat memerhatikan nilai keagamaan, nilai keilmuan, dan nilai moralitas.
Peristiwa-peristiwa yang kualami bersama dengan keluargaku, secara tanpa sadar, telah menciptakan dan mempertahankan suatu budaya tanggungjawab disertai ketulusan, perjuangan gigih tanpa takut gagal disertai orientasi ketuhanan, dan kebaikan serta keikhlasan.
Slvicon dan Celis mengatakan, sebuah keluarga ada sebagai pencipta dan mempertahankan suatu kebudayaan. Di samping itu, dalam pengertian psikologis, yang benar-benar bisa disebut sebuah keluarga adalah mereka yang merasakan pertautan batin sehingga mengakibatkan suatu pengaruh, saling memerhatikan, dan menyerahkan diri.
Sedangkan, peran sendiri merupakan the dynamic aspect of status, dengan kata lain seseorang menjalankan suatu peran sesuai hak dan kewajibannya: peran seorang Ayah ialah sebagai kepala keluarga, di mana tugasnya ialah melindungi dari gangguan dan mara bahaya; mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangga; serta bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya.
Sedangkan peran seorang Ibu sebagai kepala rumah tangga, di mana ia bertanggungjawab atas keluarga, terutama anaknya; mengasuh anak, menyediakan makanan, membersihkan rumah, mengatur keuangan keluarga, dan memerhatikan pendidikan anaknya.
Sempurnalah peran Ibuku, ia menggaet dua predikat sekaligus: menyekolahkan ketiga anaknya; menjaga keluarganya dari marabahaya; memberikan rasa nyaman kepada anak-anaknya; memenuhi kebutuhan pangan sekaligus memasakkannya; dan pengorbanan serta perjuanggannya lainnya yang laik menjadikannya mendapat gelar ‘Terbaik’―tentu gelar ini mengandung makna yang terdalam.
Saya rasa, tanggungjawab atas peran itu semua sirna jika memandang dalam sosok Ayah, tetapi akan hadir dalam sosok Ibu. Bagaimana tidak? Ibuku mengambil tanggungjawab itu semua, ia menyerahkan seluruh kemampuannya demi kehidupan keluarganya. Maka jelaslah ia layak disebut sebagai keluarga.
Kami anak-anaknya juga beruntung dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang cerdas, yang mengutamakan pendidikan. Merupakan suatu keniscayaan bahwa pendidikan merupakan hal yang krusial di dunia ini. Melalui pendidikan akan membentuk nilai moralitas, nilai keagamaan, dan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna bagi kehidupan dunia.
Melalui ini juga, kami tidak terjerat ke dalam suatu kepribadian yang amoral, dan malah menjadikan pengalaman-pengalaman itu sebagai pelajaran .Sehingga apa yang terjadi pada kami adalah pemahaman bagaimana hidup di dunia ini dengan bijak, dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya (tidak dzalim).
Jadi kejadian-kejadian masa lalu atas keluarga kami akan disaring dengan sedemikian rupa: mengevaluasi, mengambil yang baik, dan meninggalkan serta mencegah yang buruk, juga berusaha jangan sampai hal yang sama terjadi pada keturunan kami.
Dalam pandangan psikologi behaviorisme, Albert Bandura, menyatakan, seseorang yang sudah dewasa sangat dipengaruhi oleh perilaku keluarganya atau lingkungan sekitarnya, karena perilaku manusia selalu berada dalam konteks timbal balik yang berlangsung antara kognitif, perilaku, dan perilaku lingkungan, seseorang belajar sosial dan moral melalui imitation (peniruan) dan modelling (peragaan).
Contohnya, orang yang hidup di lingkungan perdukunan, maka ia akan menganggap bahwa dukun merupakan solusi yang baik (pemahaman seperti ini tentu tidak berlaku jika ada sistem nilai yang terbentuk karena pembelajaran).
Sedangkan makna keluarga dalam perspektif Al-Qur’an ditemukan menggunakan kata al-ahl artinya ahli rumah, keluarga, dan familia, yang merupakan transliterasi dengan kata keluarga (nuclear family) dan diulang sebanyak 113 kali dalam al-Qur’an.
Al-ahl (berbeda dengan al-usrah―dalam budaya Timur―yang merupakan kata jadian dari al-asru- dan alqaid yang artinya belenggu atau ikatan, berkonotasi negatif: beban dan kesempitan) berarti kesenangan, ketenangan, dan ketentraman jiwa, sehingga tanpa keluarga, orang tidak dapat menyelami kehidupan manusiawi yang sebenarnya, akan tetapi ia akan mengalami kehidupan yang lebih menyerupai kehidupan hewaniah.
“Keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya. Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati suatu bangsa, atau sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa tersebut.” Ayahanda Quraish Shihab.
Di mana setiap pembelajaran moral ditempa ketika berada di lingkungan keluarga, kemudian berlanjut ke lingkungan sekolah, dan akhirnya di lingkungan masyarakat―segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan amanah pada Ibuku sehingga membentuk kepribadian yang memiliki keyakinan, pandangan hidup, dan sistem nilai, yang memiliki muara kepada meaningful life sebagai khalifah-Nya di bumi.
Dengan melihat fakta-fakta ini, segala puji bagi Allah yang telah memberi seorang Ibu seperti ini. Seorang Ibu yang bertanggung jawab.
Sebagai penutup, sepertinya, kisahku relevan dengan pernyataan Presiden Amerika pertama, George Washington, ia mengatakan, “Ibu saya adalah orang yang paling indah. Apapun yang saya capai saat ini saya berhutang padanya. Segala kemampuan, intelektual, dan peran yang saya curahkan, semua berasal darinya.”
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id