Meninjau Masa Kejayaan PS 2

Didin Mujahidin


Mendengar pemberitaan akan rilisnya PS 5 yang tidak akan lama lagi hadir di tahun 2020, membuat memori bermain game atau Playstasion yang hampir dua dekade lalu teringat kembali. Hiburan paling berjaya pada masanya dan sangat istimewa.

Setiap hari, para remaja menyisakan uang saku dalam satu pekan penuh untuk sekedar menyewa beberapa jam PS 2. Merelakan lezatnya cilok, segarnya es aneka rasa untuk menabung beberapa rupiah. Bagi beberapa generasi 90an yang pernah menikmati sewa PS 2, kenangan itu begitu terasa pada rental PS, tempat berkumpul anak kampung di hari Minggu.

Biasanya, dalam satu desa tak lebih dari dua rumah yang membuka persewaan PS. Hari Minggu adalah hari membahagiakan untuk menghamburkan uang hasil tabungan selama satu pekan. Mulai pagi gelap hingga matahari tenggelam semua betah berada di tempat persewaan PS.

Meski waktu sewa sudah habis, sebagian besar mereka tak jarang langsung beranjak begitu saja. Biasanya mereka masih tetap tinggal di tempat rental, dengan sisihan uang yang tersisa. Kadang cukup untuk membeli minuman rasa, kadang pula hanya permen pelepas dahaga.

Durasi sewa habis pertanda memasuki waktu usil untuk mengganggu penyewa berikutnya. Tujuan dari tindakan tersebut tak lain untuk membuat penyewa tidak nyaman dan sisa waktu rental bisa digunakan. Meski terkadang sering terdengar kata “disimpan” dalam praktik persewaan PS.

Terselip juga sebuah pelajaran yang berharga mengenai waktu. Mungkin sebuah gambaran arti sederhana dari kata pepatah “Waktu adalah uang”. Waktu dapat disimpan dan diambil kapan saja, selama tanda bukti masih ada. Pelajaran tersebut terkadang diadopsi dalam sistem pertukaran uang dan waktu, seperti mengenakan denda dalam setiap kumpul atau perjanjian bagi yang datang tidak tepat waktu.

Selain sebagai tempat untuk mengisi waktu berlibur, tak jarang rental PS dikonotasikan negatif oleh sebagian orang tua. Tempat rental PS sebagai tempat merokok, membolos sekolah, judi hingga pemicu tawuran remaja.

Tempat bermain berbagai macam game menjadi tempat yang dipandang dengan kenakalan. Hingga muncul pernyataa, “Jangan main PS nanti bodoh”, “Boleh main, asal tidak ke rental PS.” Mungkin beberapa trauma tersebut terjadi di kala kurangnya kontrol orang tua dan pendidikan yang menyadarkan bagi setiap anak.

Di samping itu, pemilik rental tidak mengontrol prilaku anak-anak dan lingkungan rental PS. Terkadang juga acuh, hanya memikirkan keuntungan sendiri. Begitupula dengan anak-anak yang merasa kenakalannya terwadahi. Tempat bermain game, membeli rokok yang mudah hingga makan siang mie instan yang tersedia. Semua lengkap, paket komplit. Cukup dengan dua puluh ribu rupiah sudah melegakan pikiran dari pagi hingga siang.

Bisa makan mie dan telur di tempat rental PS saja sudah terlihat sangat istimewa. Ditambah lagi es susu atau joshua, dan sewa PS 4 jam untuk diri sendiri. Jika ditaksir harga keseluruhan sekitar dua puluh ribu rupiah. Mendapatkan uang tampak begitu mudah dalam pergaulan teman se-PS-an.

Dengan mengandalkan skill dalam permainan sepak bola baik FIFA maupun WE dan balapan Most wanted ataupun Need for Speed, proses taruhan biasanya dilakukan. Biasanya senilai biaya sewa rental PS maupun lebih. Prinsip judi masih tetap, yang kalah rugi yang menang jadi kemaki.

Terkadang, karena banyaknya siswa tidak masuk kelas, Rental PS jadi sasaran empuk bagi sekolah untuk melakukan sidak. Rental PS yang jaraknya tak jauh dari sekolah adalah tujuan utama, sering ditemukan siswa dengan beseragam lengkap duduk dengan tenangnya di depan layar kaca.

Bagi beberapa siswa yang cerdas, mereka memilih memasukkan seragam sekolah ke dalam tas dan menggantinya dengan kaos oblong bersama celana kolor. Beberapa yang beruntung akan lepas dari razia, beberapa yang lain menerima hukaman yang setimpal dari sekolah. Semua tergambar begitu sempurna, kenakalan masih begitu adanya.

Masa paling berjaya dunia rental PS jatuh pada generasi PS 2. Di mana media sosial dan internet belum begitu masif pada kalangan anak muda. PS masih menjadi hiburan nomor wahid. Bahkan penggemarnya bukan kalangan muda saja, usia empat puluhan masih bisa menikmatinya.

Perlahan berganti, generasi PS 3 dan PS 4 ini tak dapat mengejar dengan sempurna perkembangan internet dan media sosial. PS mulai ditinggalkan, warnet mulai didatangi berbondong-bondong. Belum lagi masuk pada era telepon genggam yang cerdas, semua terselesaikan dengan gawai di tangan.

Hari ini, saya begitu merindukan suasana keseharian di rental PS. Meluapkan emosi dalam bentuk umpatan kesal pada diri sendiri melalui permainan bergengsi. Tempat berkumpul paling ekonomis, tanpa colokan dan wifi. Menunggu mie instan datang dengan aroma telur setengah matang.

Berharap besar dalam rilisnya PS 5 kali ini para juragan besar rental PS kembali membuka bedaknya. Kami merindukan PSan dan berkumpul dengan sederhana tanpa banyak media sosial.


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment