Andika Nur Perkasa
Seorang Mahasiswa
Membicarakan sistem jaminan sosial pada masa pandemi tentu menjadi bahasan yang cukup menarik. Salah satu skema jaminan sosial yang belakangan banyak dibicarakan adalah Universal Basic Income (UBI). Skema ini menekankan pada pentingnya pemberian uang tunai kepada seorang individu secara berkala untuk menanggulangi dampak dari hilangnya kesempatan kerja dan mendapatkan pemasukan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Tulisan ini berupaya turut meramaikan wacana mengenai UBI yang sebelumnya sudah diangkat oleh Irsyad Madjid. Irsyad membuka tulisan tersebut dengan cerita kasus kematian seorang ibu rumah tangga yang disinyalir karena kelaparan. Kasus tersebut, menurut Irsyad, menjadi titik kulminasi atas serangkaian hantaman yang menimpa rumah tangga perempuan tersebut akibat tidak adanya instrumen jaminan sosial dari negara bagi masyarakat miskin.
Kasus yang diangkat oleh Irsyad tersebut mengarahkan kita pada suatu empati berdasarkan ekonomi moral dibandingkan dengan ekonomi rasional. Kehilangan pemasukan harian bagi masyarakat miskin berarti mempertaruhkan nyawa pada saat yang sama. Lantas, bagaimana kasus seperti itu dapat terjadi dan sangat mungkin kembali terulang di waktu yang akan datang?
Memudarnya Solidaritas pada Masyarakat
Peter Kropotkin dalam The Conquest of Bread (1892) dan Mutual Aid (1902) berargumen, suatu komunitas dapat bertahan dari ancaman dan mengembangkan diri secara individual adalah dengan cara saling berbagi untuk menjamin kebutuhan dasar bagi setiap anggota komunitas. Hal ini mencakup dari makanan, teknologi, sampai tenaga kerja. Konsep ini yang kemudian disebut oleh Kropotkin sebagai mutual aid.
Menurut Kropotkin, mutual aid adalah sifat dasar manusia sehingga mampu melewati setiap tahapan evolusi sampai dengan saat ini. Semangat egaliter ini yang kemudian diterjemahkan oleh berbagai komunitas dalam tradisi dan budaya sehari-hari. Misalnya dalam masyarakat berburu meramu yang berbagi hasil buruan pada seluruh anggota komunitas atau dalam konteks yang lebih baru adalah memberikan tumpangan bagi teman yang tidak sanggup membayar uang sewa indekos.
Penetrasi kapitalisme membuat praktik mutual aid semakin ditinggalkan bersamaan dengan munculnya kerentanan akibat tidak meratanya kesempatan untuk berkembang. James Scott dalam Weapons of the Weak (1985)memaparkan hal itu secara gamblang. Penelitiannya pada suatu komunitas agraris di Malaysia menunjukkan bahwa berbagai ritual keagamaan yang biasanya menjadi momen untuk berbagi antara orang miskin dan kaya, belakangan justru dimanfaatkan oleh orang kaya pemilik sawah sebagai ajang kontrol sosial bagi orang miskin yang berebut kesempatan kerja. Hal ini, seperti ditekankan oleh Scott, justru terjadi ketika revolusi hijau yang menawarkan efisiensi tenaga kerja dalam peningkatan produksi hasil pertanian mulai berkembang di Malaysia.
Scott menambahkan bahwa berkurangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan cenderung menimbulkan resistensi pada masyarakat miskin. Salah satu ciri utamanya adalah perlawanan mandiri berskala kecil yang menyerang secara langsung. Scott menilai, resistensi yang dimaksud tidak menciptakan perlawanan skala besar yang teroganisir, menimbulkan keributan besar, dan dengan komando sentral. Meskipun itu dilakukan sendiri-sendiri, tetapi ada proses mutuality yang terjadi diantara orang-orang miskin tersebut sehingga agenda politik mereka tetap berjalan, yaitu untuk mendapatkan akses terhadap tanah dan pekerjaan. Hal ini yang membuat orang-orang miskin tetap secara aktif mencari celah untuk turut mendapatkan hasil dari setiap kesempatan yang ada.
Pertumbuhan ekonomi secara nasional yang terlihat menjanjikan justru menjadi sangat rapuh ketika hanya menyelamatkan segelintir orang untuk dapat tetap bertahan dan mengorbankan lainnya.
Ketika krisis moneter menghantam Indonesia pada tahun 1997 – 1998, isu jaminan sosial banyak diangkat para peneliti dari Eropa. Salah satunya adalah studi yang dilakukan oleh Gerben Nooteboom (2003) pada komunitas petani tembakau di pegunungan Jawa. Dalam studi ini, Nooteboom mencoba mengerti bagaimana respon para petani di pegunungan Jawa menghadapi krisis moneter ini. Respon yang dimaksud oleh Nooteboom mengambil sudut pandang safety net yang berlaku dalam masyarakat ketika menghadapi kondisi krisis finansial.
Salah satu poin penting dari studi Nooteboom adalah adanya perbedaan antara pandangan negara dengan masyarakat dalam pembuatan strategi ketahanan saat terjadi krisis. Ketika krisis terjadi, masyarakat mengaktifkan konsep insecurity sehingga cenderung tidak membuat perhitungan untuk membantu orang-orang yang masuk dalam kerentanan akibat krisis tersebut. Contohnya ketika ada salah seorang anggota dalam komunitas yang meninggal dunia, anggota komunitas lain akan memberikan bantuan untuk kerabat yang ditinggalkan tersebut. Bantuan ini dapat berupa bahan makanan ataupun uang tunai.
Berbeda dengan masyakarat, negara cenderung menggunakan konsep risk sehingga ada perhitungan dengan menekankan prinsip untung dan rugi. Penggunaan konsep ini tentu saja sangat berkaitan dengan logika kapitalisme di mana negara menjadi salah instrumen untuk kelancaran produksi. Konsep ini kemudian terinternalisasi pada masyarakat yang berbungan dengan negara lewat produksi tanaman non-subsisten.
Hal ini kemudian menjadi bermasalah ketika petani yang menggantungkan pemasukan pada tanaman pasar, seperti tembakau, terpaksa mengalami kerugian akibat krisis moneter itu. Para petani akhirnya turut menerapkan konsep risk dengan secara dramatis mengurangi bantuan kepada orang-orang yang mengalami musibah serta membatasi pekerjaan dengan upah pada lahan tembakau. Hal ini menjadikan masyarakat miskin mengalami kondisi kerentanan ganda akibat tidak berfungsinya jaminan sosial yang telah berlaku selama ini.
Penjelasan ini setidaknya memberikan pemahaman tentang semangat solidaritas dalam budaya masyarakat yang semakin memudar karena penetrasi kapitalisme yang difasilitas oleh negara. Tidak heran jika kemudian kasus kematian karena kelaparan terjadi dalam suatu komunitas yang mapan secara ekonomi. Sistem jaminan sosial cenderung tergantikan oleh hubungan kerja kapitalistik di mana orang miskin dibuat menjadi sangat rentan karenanya.
Menaruh Harapan pada Negara (?)
Berbicara mengenai UBI, tentu sangat lekat dengan konsep redistribusi hasil dari suatu kegiatan komersil dalam suatu negara. Salah satu acuan yang sangat baik untuk membahas ini adalah buku karya James Ferguson berjudul Give a Man a Fish (2015). Ferguson membahas bagaimana program pemberian uang tunai secara langsung kepada masyarakat miskin di negara-negara Afrika bagian selatan mampu menjadi alternatif peningkatan kesejahteraan.
Pada bagian awal buku ini, Ferguson mengungkapkan bahwa sebagai seorang antropolog ia tidak langsung percaya dengan data statistik. Ia menemukan dalam data statistik bahwa tingkat kemiskinan cenderung menurun ketika program pemberian uang secara langsung mulai dilakukan pada beberapa negara miskin di Afrika bagian selatan. Namun, setelah ia melakukan penelitian lebih lanjut, apa yang disajikan dalam statistik tersebut juga dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif.
Ferguson menyebut program pemberian uang secara langsung ini sebagai agenda “ekonomi politik distributif”. Kata kunci yang digunakan Ferguson bukanlah produksi melainkan distribusi. Hal ini sejalan dengan konsep mutual aid yang digagas oleh Kropotkin di mana setiap anggota dalam komunitas memiliki hak yang sama dalam menikmati hasil dari suatu kegiatan produksi. Tujuan yang diharapkan dari program ini adalah munculnya pembaharuan politik dan budaya dalam masyarakat yang tidak lagi menerapkan logika kapitalisme serta tidak bertumpu pada hitungan ekonomi makro.
Disadari atau tidak, politik distributif ini yang menjadi poin terpenting. Setiap hari, kita dikekang atau dikontrol orang lain agar mendapat uang untuk mencukupi kebutuhan sehari hari. Cukup beruntung bagi orang-orang yang memang mendapatkan kontrol minimum dari luar atas kerjanya. Hanya saja, tidak semuanya memiliki kesempatan seperti itu. Di sinilah pentingnya politik distributif untuk meningkatkan kesempatan itu.
Kembali pada konteks Indonesia saat ini, wacana UBI terdengar lebih solutif dibandingkan dengan memfasilitasi para pemuda dengan kartu pra-kerja. Alasannya sederhana, orang-orang mencari pekerjaan bukan untuk menopang ekonomi segelintir konglomerat, tetapi untuk keberlangsungan hidup diri sendiri dan kelompok sosialnya. Maka tidak berlebihan rasanya jika menaruh harapan kepada negara yang memiliki kuasa atas distribusi seluruh hasil pendapatan di wilayahnya.
UBI tentunya bukan sesuatu yang bebas kritik. Dalam penerapannya, tentu ada berbagai kemungkinan program ini tidak berjalan dengan baik. Seperti politik citra sangat rentan untuk membuat program ini dimanfaatkan untuk kebutuhan praktis. Selain itu, permasalahan budaya administrasi yang buruk menambah potensi penyaluran tidak mencakup orang-orang yang “cacat administrasi”. Hal ini terlihat dari berbagai bantuan yang sering kali tidak menjangkau orang-orang yang secara administrasi tidak tercatat sebagai penduduk di wilayah tersebut. Akhirnya, wacana UBI ini menjadi cukup penting guna mengembalikan moral dalam ekonomi kita yang selama ini telah dikaburkan oleh kerasnya persaingan memperebutkan kesempatan berkembang.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id