Uswah SahaL
Penulis buku Merawat Luka
Kenangan kembali merayap-rayap pada ingatan janda beranak satu itu, saat orang-orang kampung menyebut Haji Mail yang belum juga dijemput Izrail. Sudah satu bulan ini Haji yang terkenal kikir itu terbaring dirumah sakit seperti sepotong kayu, dia hanya membuka mata dan ingin membuka mulutnya. Namun lagi-lagi mulutnya seperti dijejali batu besar sehingga ia susah berbicara. Sementara ketiga belas anak dari empat pernikahannya semakin meredam cemas, silih berganti berjaga di luar kamar. Siap untuk memberontak dengan pandangan dengki dari pembagian harta waris yang tak adil. Tak mungkin adil. Semua berebut untuk masuk. Tiga belas anak dan cucu-cucu tentulah membuat kamar berubah menjadi pasar malam. Istri pertama Haji Mail lebih memiliki kuasa. Lalu ia mengusir semua orang agar suaminya menjadi lebih tenang. Lamat-lamat, diantara napasnya yang berat ia dekatkan telinganya pada mulut yang suaranya rendah dan menahan kesakitan. Sepotong nama, gumam ini berulang diantara tarikan napasnya yang payah. Romlah.
Janda itu masih belum bisa tidur hatinya sedang risau, ia tengadahkan dalam keremangan cahaya bulan tua yang tinggal sepertiga bulatan. Di timur bintang kejora tampak terlihat sempurna karena langit kemarau sangat bersih. Nampak terlihat puluhan kelelawar masih beterbangan mengitari rumpun rumahnya. Kirap sayap yang mengibas udara yang dingin dan sepi. Janda itu tak bisa tidur sampai terdengar kokok ayam terdengar makin ramai. Langit mulai menununjukkan warnanya merah rona, menandakan pagi akan menjelang. Bulan sudah tergelincir menyembunyikan wajahnya ke bukit. Kejora memucat dan gemintang mulai tampak samar karena datangnya cahaya matahari. Cecet burung sikatan yang selalu bangun menjelang fajar. Remang rumah-rumah, remang pepohonan. Kabut tipis mulai tampak menyaput dan melayang. Pedesaan mulai hidup. Sementara janda itu belum tahu jika namnaya telah disebut oleh Haji Mail saat mendekati ajal. Ia seakan tak peduli pada laki-laki yang telah membuat hatinya menjadi keras. Janda itu tak mau peduli, namun lagi-lagi kenangan akan Haji Mail serupa lumpur yang mengendap di dasar sungai mengeras menjadi kerak pada ingatannya. Kini yang ia pikirkan hanyalah bagaimana setiap hari warungnya ramai lalu mendapatkan banyak uang.
Dimana ada kematian, disana ada Romlah. Janda beranak satu dengan bibir merah kepundung itu memang masih menyisakan kecantikan masa belia. Pekerjaannya memasak makanan setiap ada kematian. Ia pasti akan datang meski tak diundang karena itu sudah menjadi pekerjaanya setiap ada kabar kematian. Bilamana kabar kematian telah dimaklumatkan. Romlah akan bergegas menuju rumah mendiang. Tapi entahlah, jika kabar kematian itu datang dari Haji Mail.
Matahari sudah berada di ufuk barat. Burung-burung kembali ke sarangnya. Terdengar suaranya melengking kering. Seperti merindukan hujan. Debu-debu mengawang, saat Romlah membersihkan warungnya. Dengan terbata- bata anak sulung Haji Mail menghampirinya. Selepas ashar tadi Haji Mail kembali membuka mata dan mulutnya kembali bersuara. Kedatangannya karena permohonan istri pertama Haji Mail Saodah. Entah darimanana kabar itu tersiar akan ajal Haji Mail yang menyebut nama Romlah. Kemudian di jalan orang-orang membicarakan ihwal sepotong cinta tak sampai Haji Mail pada Romlah. Diboncenglah janda itu menuju rumah Haji yang terkenal itu. Semua keluarga besar itu telah menunggu Romlah, ia persilahkan masuk ke dalam kamar yang baunya pesing. Sementara Haji Mail masih menutup matanya ia masih tak bergerak. Mata Romlah menjadi berkaca-kaca antara marah dan perasaan iba melihat Haji Mail seperti sepotong kayu. Romlah menatapnya lekas-lekas. Tatapannya menyimpan rahasia yang tak terbaca. Tak lama kemudian Romlah keluar kamar sambil mengusap matanya. Tak ada suara, ia hanya membisu.
Baca tulisan terkait
Niskala Peti Peremuan
Lepas Maghrib tiba, saat Romlah meninggalkan kamar Haji Mail. Laki-laki yang rambutnya sudah memutih itu dikabarkan telah tak bernyawa dengan air mata yang menggenang dipipinya. Sementara istri dan anak-anaknya berdiri dan mengepung laki-laki yang kini sudah menjadi mayat. Hanya Saodah istri pertamanya yang meratap disamping pembaringan mendiang suaminya dengan tangis pilunya. Tak boleh dibiarkan berlama-lama, kabar kematian Haji Mail sudah tersebar di seluruh kampung. Orang-orang kampung mulai berdatangan menuju rumah mendiang untuk meramu daun serai, pandan wangi dan minyak kesturi sebelum jenazah dimandikan.
Romlah masih juga belum tiba di rumah mendiang Haji Mail. Kemudian kerabat mendiang kembali menjemput janda anak satu itu untuk melakukan tugasnya meramu dan memasak makanan kematian untuk nanti malam. Setelah jenazah diberangkatkan semua keluarga berkumpul. Romlah bersama temannya seperti mendengar suara gelas piring berhamburan jatuh ke lantai seperti sengaja dijatuhkan oleh pemiliknya. Saodah menangis sejadi-jadinya tatkala istri ketiga Haji Mail dan anak-anaknya meributkan harta warisan mendiang suaminya. Padahal tanah kuburan masih basah dan belum kering. Bukan persolan harta suaminya yang membuat Saodah menangis sampai sekarang melainkan nama Romlah yang lebih dipilih suaminya menjelang ajalnya. Pikirannya menjadi berkecamuk dan bertanya-tanya. Ada hubungan apa antara mendiang suaminya dengan Romlah janda satu anak itu.
Semua orang dikampung ini sudah tahu tentang kerasnya hati Romlah. Wataknya keras jika menghadapi pelanggan yang tak mau membayar di warung. Ia pandai menjaga rahasia bumbu dapurnya. Kelezatan makanan yang dibuatnya tak bisa ditandingi. Para pelanggan memanggilnya Mak Ayu. Saat temannya pergi Romlah masih tetap sibuk memotong-motong sayur. Ia masih tetap bekerja, menyiapkan tungku, memasukkan bumbu-bumbu ke dalam panci. Kemudian setelah beberapa detik matanya mengintai ke seluruh arah. Gelagatnya tak ubah seperti maling. Ada yang ganjil dengan Romlah, ia terus menerus meludahi bahan-bahan masakan yang sedang dikerjakannya. Lebih parahnya lagi perempuan itu mengangkat kainnya tinggi-tinggi, melewati lutut, lalu berdiri setengah jongkok mengangkangi panci besar yang kuahnya mulai mendidih. Raut wajahnya berkeringat antara mengejan dan mengerikan. Dari tempatnya berdiri suara desing gemericik air jatuh ke panci. Romlah kembali lagi meludah mulutnya mengumpat sekali. Sambil menyebut nama Haji Mail.
Sungguh tak bisa dibayangkan apa yang telah dilakukan Romlah, apa dia juga melakukan kelakuan sintingnya setiap meramu makanan kematian?
Saat usianya genap dua puluh tiga tahun. Desa ini mengalami kemarau yang panjang akibatnya udara panas berbulan-bulan mengeringkan berjenis tanaman dan pohon-pohon. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi desa ini menjadi kerontang. Burung-burungpun susah menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu.Haji Mail seringkali mendatanginya di warung. Kesempatan itu semakin menjadi-jadi saat suaminya pergi mencari kerja ke Jawa tengah. Meski mengandung calon anak pertamanya, citra kemudaanya masih sangat tersisa. Itulah yang membuat Haji Mail tertarik dengannya. Sejak itu pula hidupnya banyak dirundung nestapa.
Awal malam yang mengerikan bagi Romlah. Angin masih bertiup lunak. Bulan menyentuh cakrawala. Pelita-pelita kecil mulai dinyalakan. Kelap-kelip di kejauhan membuktikan desa ini sunyi namun ada kehidupan manusia. Udara kemarau makin malam makin dingin. Taka ada orang diluar rumah. Menjelang tengah malam perempuan itu masih termangu di bawah lampu minyak yang bersinar redup. Di belakang seperti ada suara orang berjalan pelan. Bulu kudunya mulai merinding. Perempuan itu lalu masuk ke dalam kamar tanpa daun pintu. Badannya gemetaran saat menangkap bayangan laki-laki bertubuh besar. Haji Mail telah merencanakan semuanaya. Dengan lihai dia masuk ke dalam kamar melakukan aksi bihadapnya. Teriakan perempuan itu tak di dengar oleh siapapun. Semua orang tetap tidur dengan nyenyak. Petaka datang tanpa seorangpun melawannya.
Sinar bulan tak mampu menembus tirai awan. Di langit bulan hanya membuat rona kuning. Kilat acap kali membuat benderang sesaat meninggalkan garis kemilau yang patah-patah. Tiba-tiba suara gema guruh berkepanjangan menjadi gaduh. Tangis dan kebisiun berjalan sampai fajar menjelang. Setelah berbulan-bulan kemarau tiba-tiba rinai gerimis menciptakan bianglala dari timur beriringan dengan musibah yang baru saja menimpanya. Kokok ayam dan cericit tikus busuk yang mencari sarangnya dibalik rumah kayunya malah semakin ramai seolah menertawakannya. Perempuan itu tergolek sendiri dengan lemas. Ia ingin berterik sekencang-kencangnya. Pergulatan hatinya berkecamuk. Seketika ia ingin membunuh Haji Mail karena ketegagan jiwanya. Bibirnya menjadi memucat dan napasnya memburu. Perempuan itu menangis ketakutan. Perang antara suara hati dan suara nuraninya semakin seru. Fitrahnya sebagai manusia ingin menolak keburukan yang telah datang menimpa akan dirinya. Tak mungkin dia meminta Haji Mail untuk bertanggung jawab. Mustahil. Saat itu pula ia mulai menyumpah Haji Mail dan keturunannya.
Itulah sebabnya janda tua itu meludah dan mengencingi panci berisi makanan kematian. Sengaja perempuan itu melakukannya karena dendam hatinya. Makanan kematiannya menjadi najis. Biarlah laki-laki yang pernah mengagahi itu membusuk di neraka selamanya. Ujar janda yang dirundung nestapa hidupnya.
2 Comments
Utivafe
buy priligy tablets Even if your hands and feet are cut off, you do vegetarians have lower blood pressure have to struggle to bite the guard
100 USDT
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.