Mengenang 48 Tahun Kematian Sukarno : Petani Marhaen dan Kebun Raya Bogor

PUCUKMERA – 21 Juni 1970 merupakan hari kematian presiden pertama republik Indonesia, ia menghabiskan sisa-sisa umurnya bahkan hingga ia sakit dan menemui ajalnya dalam kondisi yang cukup mengenaskan sebagai seorang tahanan ‘rumah’ di Wisma Yaso, Jakarta. Sukarno dinyatakan meninggal pada pukul 07:07 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta.
Hendri F. Isnaeni dalam artikel yang dimuat di historia.id menuturkan, beberapa oknum dari intelijen Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban) ingin membuktikan keterlibatan Sukarno dalam gerakan makar PKI, yang atas hal itu Sukarno kemudian ditetapkan sebagai tahanan rumah selama proses penyelidikan berlangsung. Bahkan, laporan resmi pemeriksaan tidak pernah dikeluarkan, tutur Jusuf Wanandi, mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).
Sukarno diasingkan dari keluarga dan para pendukungnya sejak tahun 1967, semula ia menjadi tahanan rumah di Istana Bogor hingga kemudian ia dipindahkan ke Wisma Yaso yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala pada penghujung Desember 1967. Wisma Yaso merupakan kediaman milik Ratna Satridewi Sukarno yang diberikan oleh suaminya, Sukarno. Sang proklamator diasingkan di sebuah rumah yang nampak lusuh dan berdebu dengan kebun yang nampak tidak terurus sebagaimana tutur Ali Sadikin seorang gubernur Jakarta pada tahun 1966-1977 yang saat itu pernah menjenguk Sukarno. Bahkan keluarga dan kerabat terdekatnya sulit untuk membesuk Sukarno karena harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari otoritas yang berwenang, sebagaimana yang ditulis oleh Bob Hening seorang sejarawan yang menulis Soekarno Arsitek Bangsa.
Bahkan sesudah meninggalpun Sukarno terpaksa dikebumikan di Blitar dekat makam ibunya. Padahal ia tidak menginginkan demikian. Sukarno berwasiat ketika ia meninggal agar dikebumikan di antara bukit-bukit, di bawah pohon yang rindang, dan di samping sebuah sungai dengan udara yang segar. Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno berwasiat, “Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar keindahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku berasal. Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.”.
Hal yang cukup menarik mengapa Sukarno berwasiat dan ingin dikebumikan di tempat ia bertemu dengan pemuda petani bernama Marhaen, seorang pemuda yang menjadi motivasi bagi Sukarno dalam merintis gagasan ideologi politiknya yang kemudian dikenal dengan Marhaenisme. Marhaenisme berpijak pada keberpihakan terhadap kaum Marhaen dimana mereka adalah rakyat kecil yang masih memiliki alat produksi namun belum cukup untuk memenuhi kebutuha sehari-hari mereka, hal ini yang menjadi perbedaan dengan kaum Proletar menurut Marx dimana mereka tidak mempunyai alat produksi dan hanya menjual jasa, kendati keduanya memiliki kehidupan yang melarat. Hal ini seakan menunjukan kuatnya ikatan antara Sukarno dengan rakyat kecil bahkan secara tidak langsung ia tidak ingin dikebumikan di Blitar.
Di sisi lain, berdasarkan tulisan Asvi Warman Adam, seorang sejarawan yang menulis Bung Karno Dibunuh Tiga Kali, seorang sahabat Sukarno, Masagung dalam bukunya Wasiat Bung Karno mengungkapkan bahwa Sukarno telah menulis dua wasiat, pertama ia tujukan kepada istrinya Hartini dan wasiat lainnya ia tujukan kepada Ratna Sari Dewi. dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor.
Sungguh menarik, wasiat Sukarno untuk dimakamkan di Kebun Raya Bogor seakan menjadi sebuah surat ancaman bagi Suharto, bahkan ketika Bung Karno telah terbaring tak bernyawapun masih menjadi ancaman politik bagi kekuasaan Suharto. Wajar, Sukarno memiliki basis yang besar di Jakarta, disamping Istana Bogor menjadi saksi bisu lahirnya Supersemar.
Presiden Suharto kemudian mengumpulkan para tokoh politik dan pelbagai tokoh masyarakat untuk membahas perihal akan dikubur di manakah Sukarno. Menurut Asvi hal yang dilakukan Suharto merupakan langkah politis yang aneh, bukan main, ia sampai mengundang para tokoh politik dan tokoh masyarakat hanya untuk membahahas letak pemakaman Sukarno dan justru bukan dengan keluarga Sukarno.
Hingga akhirnya berbuah keputusan berupa Kepres No. 44 tahun 1970 yang berisi keputusan presiden Suharto bahwa Sukarno akan dimakamkan di Blitar pada 22 Juni 1970. [ifan/historia]
What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment