Mengeja Indonesia

Irfan Anas
Agen Diplomasi RI untuk Timur Tengah dan Dunia Islam


[I] Mengeja Indonesia
Berabad tahun yang lalu negeri ini dikenal seluruh jagat.
Kerajaan berjaya bertata-tata selatan ke utara timur ke barat.
Prabu dirajanya adil bersahaja disegani bentangan nusa.

Rakyat rukun berdampingan.
Gotong royong adalah nuansa utama.
Nusantara terbaca begitu sempurna.

Indonesia.
Sebuah bangsa yang belum tereja pun dapat terbaca begitu gamblangnya.

Kini setelah pertiwi semakin renta.
Nusantara perlu kembali dieja.
Bagai pelita yang makin redup dalam gulita.

Indonesia makin tak tereja makin tak terbaca.
Seluruh penghuni rimbun nusantara terbata-bata.
Lidah terkelit, Indonesia semakin rumit.

Indonesia terdahulu.
Bangsa besar dipuja segala bangsa.
Indonesia termutakhir.
Bangga besar dicerca segala bangsa.

Jika lampau adalah kemakmuran.
Masa depan semakin tak kelihatan.
Jika dahulu adalah kedamaian.
Esok bisa jadi pertikaian.
Tak kunjung mereda.
Semakin menggejala.

Rindu kian menjadi.
Menyamudera tak lagi menepi.
Kami rindu cerita masa lalu.
Dongeng malam yang lelapkan kami dalam buaian.

Cerita tentang Gajah Mada.
Cerita tentang Angling Dharma.
Penakhluk naga penguasa dirgantara.
Yang adil disegani.
Yang perkasa namun tak ditakuti.

Lisan yang semakin fasih mengucap janji.
Semakin terbata mengucap nama bangsa: Indonesia.
Bagaimana kami dapat mengeja?

Mengeja Indonesia.
Seperti melihat si buncit berternak duit.
Mengeja Indonesia.
Seperti mengamati julangan gedung di atas lumpur basah.
Mengeja Indonesia.
Seperti menatap langit siang yang fitrahnya biru gemerlap indah namun suram hitam legam.
Seperti menatap langit siang yang fitrahnya biru gemerlap indah namun suram hitam legam.

Mungkin, sesak kepulan asap napas mereka yang kesulitan makan di tengah lapar.
Yang segar di tengah gerah.
Yang terlelap di tengah gelisah.
Yang terbuai mimpi di tengah jejeritan yang riuk.

Semua meraba-raba bangsanya: Indonesia.
Yang katanya besar namun besar katanya.

Biar sudah kami terlelap dalam tidur.
Dengan harap lidah gemulai ketika tersadar.
Agar dapat mengeja secara benar.
Mengucap dan melafal Indonesia secara benar.
Bangsa yang besar tak hanya katanya.
Bangsa yang bersahaja dipuja berbagai bangsa.

Dalam lelap kami berlatih, mengeja dan mengeja.
Indonesia raya Indonesia bersahaja.

[II] Kita Masih Hidup di Negeri yang Sama
Kita masih berdiri di atas tanah yang sama
Tanah yang katanya tanah surga.
Rakyat yang hidup begitu makmur di atasnya.

Saking suburnya tongkat kayu dan batu tak hanya jadi tanaman.
Tongkat kayu dan batu menjelma hotel, swalayan, dan berbagai bangunan.

Saking makmur rakyatnya kalau siang tak hanya makan nasi.
Jangankan hanya siang, sepanjang hari mereka juga menelan janji.

Saking makmur rakyatnya kalau malam tak hanya minum susu.
Jangankan hanya malam, sepanjang hari mereka juga menegak tipu.

Dulu penjajah datang cari rempah.
Pahlawan gugur demi kata “Merdeka!”.
Sekarang penjajah pergi tinggalkan sampah.
Pahlawan lahir demi kata “Harta, Tahta, dan Wanita”.

Kita masih di bawah langit yang sama.
Langit yang setelah hujan datanglah pelangi.
Langit yang habis gelap terbitlah terang, katanya.
Rakyat dibawahnya selalu riang, mereka bernyanyi-nyanyi.

Sekarang setelah hujan datanglah banjir.
Setelah hujan rumah nenek di lereng gunung ditelan longsor.
Sekarang habis gelap tak terang-terang.
Habis uang digelapkan terbitlah pom bensin di atas tanah lapang.

Saking riang rakyatnya lagu kemiskinan dinyanyikan dengan suka cita.
Saking riang rakyatnya hujan air mata membanjiri ibu kota.

Kita masih menghirup udara yang sama.
Udara yang katanya segar di bumi khatulistiwa.
Udara yang begitu bersihnya.
Rakyat senantiasa sehat menghirupnya.

Saking segar udaranya bau bacin, bau busuk, bau menyengat di sini dan di sana.
Saking bersih udaranya asap pabrik di mana-mana.
Saking sehat rakyat yang menghirup udaranya penyakit ISPA menggejala, merajalela.
Saking segar, bersih, dan sehatnya kabut pun tercipta dari asap, mengudara.

Kita masih meminum air yang sama.
Air yang jernihnya tiada tandingannya.
Air yang mengalir dari sumber mata air pegunungan mulia.
Air yang mengalir dari sungai-sungai panjang bermuara ke samudera.

Rakyat yang meminumnya sehat badannya.
Rakyat yang mengalirkan ke ladang, subur tanamannya.

Lihatlah sekarang ini kawanku, engkau yang di sini dan di sana.
Air selalu datang membawa bencana.
Di kota-kota banjir menjadi langganan saban tahunnya.
Di desa-desa sungai dialiri limbah-limbah orang kota.

Setiap musim hujan tiba, rakyat mengungsi karena banjir.
Rumahnya tenggelam, anak-anak terkena demam.
Setiap musim kemarau tiba, rakyat frustasi tak ada air.
Ladang kering tanaman suram, tenggorokan kering tak juga tersiram.

Kita masih hidup di negeri yang sama.

Negeri bahari yang kaya hasil lautnya.
Negeri kepulauan yang asri pulau-pulaunya.
Negeri kaya raya yang melimpah-ruah hasil alamnya.
Negeri berbudaya yang damai sejahtera rakyatnya.

Negeri yang sekarang seperti apa nyatanya?

[III] Ratapan Anak Negeri
Wahai Robbi kami meratap bergobar hati.
Tanah air kami tak lagi tanah yang Kau ridhai.
Semakin bertambah hari semakin bertambah ngeri.

Tanah lahir kami tak lagi tanah yang Kau berkahi.
Semakin bertambah usia kami semakin bertambah derita kami.
Tumpah darah kami tumpah ruah cidera kami.
Semakin berkurang umur kami semakin berkurang senyum kami.

Negeri kami galeri karya cerita legenda untuk anak turun nanti.
Cerita tentang agungnya raja-raja pendahulu kami.
Cerita tentang besarnya perjuangan pahlawan negeri.
Hingga cerita tentang bengkaknya hak kami yang dilucuti.
Juga cerita tentang buncitnya perut yang duduk di kursi tinggi.

Gagah kebesaran tinggal puing kehancuran bertubi-tubi.
Bengah kebongkakan bertambah panjang menjulang tinggi.

Kami meratap kami merintih menangisi.
Kami dibungkam mulut kami disumpali.
Kami dipasung kaki kami dibelenggui.
Kami dijerat tangan kami diborgoli.

Di negeri sendiri kami diasingkan didzalimi.
Sebagai anak negeri kami larat meratapi.
Niatnya mendidik si pak guru dijeruji.
Si murid tertawa lepas mencumbui ekstasi.

Kepada pembesar pejuang kemerdekaan dan kejayaan negeri.
Ceritakan pada mereka seberapa merah jemari.
Sebetapa merah tanganmu dicambuk mistar kayu trembesi.
Seberapa jontang kantung matamu malam tak pernah lelap bermimpi.
Seberapa pecah retak telapak kaki berjalan ke sekolah pulang pergi.
Mereka tak tahu hanya tahu tidur nyenyak makan enak tiada tapi.

Kami meratapi keadaan negeri ini.
Semakin rapuh di ambang pintu keterpurukan esok hari.

Ya Ilahi Robbi ampuni kebiadaban kami.
Selamatkan tanah air tumpah darah kami.
Untuk anak turun kami nanti.
Supaya cerita sejarah keagungan negeri ini tak terhenti.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment