Mengapresiasi Mahasiswa Tingkat Akhir


Linta Ulinnuha Bahraine
Mahasiswa Universitas Islam Indonesia



Tahun keempat perkuliahaan adalah waktu yang riuh bagi sebagian besar mahasiswa. Jangan ditanya kenapa, karena empat tahun adalah waktu yang ideal untuk menyelesaikan kuliah.

Bagaimana dengan saya? Baiklah… saya masih menikmati jadi mahasiswa, wong sekarang saja sudah lewat dari empat tahun. Hehe.

Saya kadang bosan setiap liat postingan teman dengan tema pendadaran atau graduation. Bukan karena saya nggak bahagia dengan pencapaian mereka, tapi saya heran dengan diri sendiri kok lama amat ngerjakan skripsi. Sebenarnya, mereka yang sudah wisuda itu juga pasti pernah mengalami masa-masa sulit.

Setiap mahasiswa punya ‘cobaan’ masing-masing ketika mengerjakan skripsi. Masalah dosen pembimbing, misalnya: galak, susah banget ditemui, moody (mungkin lagi pms), dan banyak lagi. Atau, mungkin cobaan soal kapasitas keilmuan. Saya nggak bermaksud merendahkan, loh ya.

Saya misalnya, hampir satu semester lamanya bolak-balik ke ruang dosen karena harus ganti judul skripsi enam kali. Mungkin saya kurang menemukan permasalahan yang mengena (cocok) untuk dosen saya, sehingga terpaksa harus meningkatkan kapasitas keilmuan saya di bidang kesabaran, walaupun akhirnya ketemu judul yang pas. Apa pun bentuknya, perjuangan para mahasiswa zaman sekarang perlu dirayakan. Ya meskipun katanya zaman dulu ketika Bapak Ibu kita garap skripsi, cari referensi nggak semudah sekarang yang internet sangat mudah diakses kapan pun dan dimana pun. Kalau begitu, perjuangan mahasiswa macam apa yang harus dirayain di zaman ini.

Bicara soal perayaan, saya sendiri adalah golongan minoritas yang tidak pernah datang ke pendadaran teman atau bahkan wisuda. Laknat saya netizen, laknaaat. Tindakan saya ini salah atau tidak? Saya menasehati diri sendiri kok, bahwa itu adalah kebiasaan yang tidak baik, karena kebiasaan yang baik adalah yang dilakukan oleh orang pada umumnya.

Tapi, otak saya menolak konsep itu.  Bagi saya, tidak ada manfaatnya datang ke wisuda di siang hari yang panas terik, lalu bertemu dengan teman kita yang mungkin hanya sekedar mengucapkan selamat dan foto bareng sebentar karena harus giliran sama yang lain (ngomong-ngomong, mungkin ini teman hits jadi yang datang membludak), lalu setelah itu kita pulang, dan kita kembali menatap kehidupan kita yang hampa. Mungkin sambil melamun, “Dia sudah wisuda kok aku masih siap-siap seminar proposal” atau “Aku lebih dulu wisuda kok belum dapat pekerjaan sampai temenku udah menyusul wisuda” dan imajinasi yang lain, “Dia sudah wisuda berarti saya bisa serius menikahinya.” Banyaklah.

Teman saya tidak banyak. Saya rasa di zaman ini kita perlu menyeleksi teman. Saya tidak pandai merawat pertemanan agar jadi langgeng layaknya pernikahan yang sehidup semati. Maka dari itu, saya punya cara sendiri untuk mengapresiasi hasil kerja teman-teman saya.

1. Saya jarang bahkan tidak pernah menghadiri pendadaran/wisuda

Saya pernah kok gais datang ke pendadaran dan wisuda teman. Jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan followers Instagram saya yang jumlahnya seribuan. Misal dari seribu hanya 100 orang mahasiswa akhir, dan saya hanya pernah datang sekitar 5 kali, berarti keaktifan saya dalam menghadiri perayaan itu hanya 5%, sedikit sekali bukan? Hal itu tak lain karena alasan saya lebih memilih menemani teman yang senasib belum lulus (terutama) untuk mengerjakan skripsi bareng. Atau menemani dia makan, karena terlalu lama garap skripsi jadi lupa makan. Juga, ajak nonton bareng untuk menghapus rasa kebosanan agar bisa semangat skripsi lagi. Dan, itu dilakukan sebelum dia pendadaran dan wisuda. Saat dia wisuda bagaimana? Ya, saya bahagia saja wong pernah menjadi bagian dari proses skripsinya.

2. Mengganti bunga dan boneka dengan buku

Bagi saya, setiap pemberian itu bermakna. Bunga, berarti bentuk keindahan dan kasih sayang. Makanan ringan sebagai bentuk kamu tidak punya banyak uang sedangkan kamu punya banyak tanggungan teman yang wisuda di saat yang sama. Atau kasih boneka karena kehabisan ide mau kasih apa. Kalau saya lebih memilih buku. Buku menandakan: setelah perayaan kita harus terus membaca, memperluas wawasan supaya punya semangat juang untuk tahap berikutnya.

3. Kalau tidak bisa datang di waktu wisuda atau pendadarannya, jangan merasa bersalah.

Banyak dari kita yang merasa bersalah ketika tidak bisa hadir di wisuda atau pendadaran teman di waktu yang tepat. Entah karena alasan pekerjaan atau emang malas. Sebenarnya, kalau dia adalah kawan karib kita, waktu-waktu untuk mengapresiasi kerja kerasnya masih terus berlanjut. Kalian bisa to, ketemuan saat semua urusan ribetnya sudah selesai. Justru di situ kita bisa lebih akrab mengobrolnya. Bisa juga ditambah sharing pekerjaan setelahnya atau rencana apa pun kedepannya. Coba kalau harus ketemu di hari-H. Mungkin saking riuhnya, justru malah mengesampingkan keluarga yang sudah datang dari jauh, dan yang jelas momen yang didapatkan sangat singkat.

Yang paling penting dari tulisan ini adalah nggak usah datang ke wisuda dan pendadaran, tentang merawat pertemanan. Merawat itu bukan sekadar hadir di setiap hari baiknya, tapi juga hari buruknya. Bukan hanya sekadar bersenang-senang, namun juga berusaha produktif bersama. Ingat, setelah wisuda, kehidupan sesungguhnya sebagai manusia yang mandiri sudah dipikul. Ada banyak tantangan yang harus ditaklukan, baik itu karir, jodoh, rejeki, dan lain sebagainya. Kalau masih ada teman yang mau peduli, mengapa kita tidak?

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment