Meneguk Kembali Air Oasis Pedesaan



Oleh: Ubaidillah Rosyid
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta
@ubaidillah_r


Tak terasa bulan Ramadan telah usai. Segala hikmah semoga dapat dipetik. Tentu, harapannya kita bisa mengabadikan spirit Ramadan di bulan-bulan berikutnya. Bila pun tak bisa, setidaknya ada usaha “Menuju La’allakum tattaquun” sehingga menjadi refleksi atas apa yang sudah dijalankan.

Pasca Ramadan, bulan Syawal disambut dengan beragam cara oleh masyarakat Indonesia. Mulai dari pulang ke kampung, membuat ketupat, hingga saling mengunjungi rumah untuk sekadar menyambung tali silaturahmi. Itulah sederet contoh kebiasaan saat Idul Fitri dan bulan Syawal. Tentu, semuanya memiliki filosofi masing-masing.

Beberapa waktu lalu, saya mudik. Kebetulan kampung halaman saya berada di daerah pegunungan. Jauh dari hiruk-pikuk perkotaan. Masyarakatnya sebagian besar petani sayuran. Termasuk keluarga saya. Karena itu, saya isi waktu libur lebaran kemarin dengan bertani—aktivitas yang tentunya tidak biasa saya lakukan ketika di kota.

Bagi saya, pulang kampung adalah momentum untuk meneguk “air-air” tradisi. Kembali ke kampung, berarti kembali ke tatanan semula, menyelaraskan kekeringan, dan menyucikan polusi udara kota dengan oasis desa.

Tradisi dan kultur desa adalah tempat “minum” sebelum kembali “kering” di perkotaan. Desa itu bagaikan sumber air yang lama ditinggalkan, namun tetap dibutuhkan dan dirindukan. Itulah kenapa desa tetap ada dan terjaga. Desa, dengan segenap tatanan budaya, alam, manusia, dan normanya, adalah oasis bagi “gersangnya” kehidupan urban.

Mudik dan Transisi Kehidupan

Modernisasi telah merubah corak kehidupan masyarakat dari agraris yang serba teratur, tertata, alami, dan harmonis ke masyarakat urban-industrial yang bergerak, tidak pasti, dan rentan mengalami keterasingan diri oleh kehidupan mekanis.

Kemajuan teknologi dan informasi yang begitu pesat, globalisasi, munculnya pabrik-pabrik di kota, dan gejala urbanisasi telah menjadikan kota sebagai pusat kehidupan baru.

Dalam hal ini, mudik adalah ilustrasi tegas mobilisasi besar-besaran masyarakat ke kota. Tradisi tahunan ini selalu membuat kepadatan arus lalu lintas. Ini seolah menunjukkan, bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia dahulu berasal dari desa.

Para perantau, seringnya, membawa cerita sukses dari tanah rantau. Mereka bercerita. Bahkan, mereka mengajak sanak saudara untuk ikut merantau dengan iming-iming tetek-bengek perkotaan. Demikian setiap tahun terjadi di desa saya.

Momen libur lebaran membuat saya berpikir tentang dua realitas yang tengah saya hadapi: perkotaan dan perdesaan.

Menurut pandangan petani di desa, yang berharga adalah sesuatu yang teratur dan yang dihadirkan oleh alam. Musim tanam dan musim panen, misalnya, dipengaruhi oleh musim kemarau dan penghujan. Dalam hal ini, alam adalah kunci utama penentu keteraturan hidup. Keseimbangan termanifestasi dalam relasi manusia dan alam. Alam berdampingan, saling menguntungkan, dan harmonis dengan manusia.

Sedang kehidupan urban adalah sebuah nafas yang sering kali ditentukan oleh faktor selain alam. Buruh industri, umpamanya. Kesadaran waktunya menjadi milik pemodal—pemegang otoritas pabrik. Dialah pemilik orang lain. Tidak ada penghayatan terhadap kehidupan, sebaliknya, hanya keterasingan.

Hidup jadi mekanis dan kaku. Relasi keteraturan hidup, sepenuhnya ditentukan oleh kapital, teknologi, dan kebutuhan pasar.

Itulah sedikit contoh, tanpa bermaksud mereduksi makna kehidupan desa-kota. Barangkali, pada posisi ini, pembaca bisa mengonstekstualisasikan intisarinya pada realitas yang ada di kampung masing-masing.

Kesempatan pulang kampung, kapan pun itu, selalu memberi perjumpaan pada ‘oase’ kehidupan agraris, setelah semuanya jemu dengan kebiasaan kota yang penuh keterasingan. []

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment