Konsep ekonomi klasik yang eksploitatif agaknya tak lagi sesuai dengan kesadaran ekologis yang menyeruak di beberapa ruang diskusi. Keith Makoto Woodhouse (2018) dalam “The Ecocentrists: A History of Radical Enviromentalism”, menyebut adanya kelompok eksrim yang disebutnya sebagai “Radical Environmentalist”.
Pada titik ini, kesadaran pentingnya lingkungan rupanya jadi alasan kuat konsep lingkungan dalam ekonomi klasik tak lagi relevan.
Sebagai alternatif, berbagai pemikir mengembangkan konsep baru. Arne Naess (1973) contohnya, seorang filsuf Norwegia, mengembangkan ide yang disebutnya sebagai “Deep ecology”.
Semantara itu di Indonesia, pemikir Ekonomi Islam asal Institut Pertanian Bogor, AM. Saefuddin, menggagas tiga nilai fundamental dalam ekonomi Islam, yaitu ketuhanan, manusia, dan alam yang saling berkelindan satu sama lain.
Konsekuensi logis dari konsep Saefuddin adalah manusia dituntut untuk memandang alam secara egaliter. Manusia tak diperkenankan untuk memandang alam sebagai objek produksi layak dieksploitasi.
Pada tahap tertentu, memang, para pelaku ekonomi yang memahami alam sebagai objek kerap hanya membawa pada konflik berkepanjangan. Baik konflik sosial karena berebut sumberdaya maupun konflik dengan alam.
Misalnya, penjelasan Peter Wohlleben (2015), seorang ahli kehutanan asal Jerman, dalam “The Hidden Life of Trees…”, bahwa tumbuhan punya cara untuk berkomunikasi satu sama lain, layaknya manusia. Maka, jika ada potensi ancaman, ia akan mengirimkan sinyal dalam bentuk “smell” sehingga tumbuhan lain mengetahui ancaman itu.
Dus, mungkin, ada baiknya alam tak lagi dipandang sebagai sumberdaya, melainkan sebagai sebuah biaya. Bila alam dipandang sebagai sumberdaya yang sifatnya gratis (free), tentu saja agen ekonomi ‘yang tidak bermoral’ akan mengesploitasi tanpa batas.
Sebaliknya, jika alam dimaknai sebagai biaya (cost of production), agen ekonomi akan mengatur pola penghematannya. Sebab, semakin tinggi penggunaan sumberdaya, semakin besar beban biaya produksi.
Pandangan alam sebagai biaya (cost of production), tentu terjadi bila agen ekonomi berprinsip alam adalah pemberian Tuhan yang harus dijaga, dihemat, dan dilestarikan.
Masalahnya, pandangan alam sebagai anugerah Tuhan susah ditemukan dalam literatur ekonomi klasik—untuk tidak mengatakan ‘tidak ada’.
Walau begitu, Adam Smith, filsuf moral yang fenomenal itu, sebetulnya sudah menyinggung soal moral dalam bukunya yang terbit sebelum The Wealth of Nations, yakni “The Theory of Moral Sentiments” (1759).
Tapi, penjabaran Adam Smith tentang moral yang dipakai hingga sekarang, agaknya memang terlalu utopis. Ia berasumsi, bahwa semua manusia memiliki sifat moral yang sama: baik. Padahal, dalam kenyataanya tidak begitu.
Pandangan homogenitas moral Adam Smith itulah yang mendasarinya untuk membuat konsep self-interest. Alhasil, lahirlah hegemoni manusia atas manusia dan manusia atas lingkungan.
Terlepas dari itu, sebagai manusia yang mengamini keberadaan Tuhan dan agama sebagai sumber keselamatan jejak kehidupan, kita harus membenarkan bahwa manusia adalah makhluk kreatif (QS. 2:30) dan sanggup menjaga alam. Termasuk, memanfaatkannya untuk kemaslahatan bersama, memangkas kemiskinan, dan membangun nafas ekonomi bagi kaum papa.
Pun juga, tentang pesan Tuhan bahwa alam adalah ‘tanda’ kebesaran-Nya, sehingga dalam konteks ini hal itu bisa dimaknai sebagai sarana untuk menambah keimanan.
Bila jalan ini yang ditempuh, proses produksi sebesar apapun tak akan bermasalah. Bahkan, mungkin, Tuhan akan gembira karena alam yang diamanahkan pada manusia berhasil dijaga dengan baik.
Pikiran-pikiran dalam ekonomi harusnya merambah sampai persoalan ini, dan tidak berhenti pada proses ekonomi yang berorientasi pada kapitalisasi materiil.
Kritik kami, aktivitas ekonomi harus dimaknai secara mendalam, sehingga nuansa profetik menyelimuti setiap aktivitasnya, tidak sekedar retorika simbolik yang menjadi tudung para peraup untung.
Akhirnya, ekonomi dan alam adalah dua entitas yang saling melengkapi. Dalam hal ini, manusia sebagai makhluk kreatif telah dianugerahi kekuatan terbaik (QS. 95:4) untuk menjaga, mengolah, dan melestarikannya.
Adapun pandangan ekonomi yang melihat alam sebagai sumberdaya yang free, harus ditinggalkan. Selain sebab keusangannya, juga karena tidak lagi sesuai dengan keniscayaan manusia sebagai makhluk teomorfik. []
2 Comments
Agit Wisnu
Soal masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa manusia dan alam bukanlah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, musti diedukasi dengan yang masif. Tentu dengan catatan edukasi yang menyegarkan dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Pucukmera mesti mengambil peran. Kekuatan digital pada era ini dapat dijadikan sebagai senjata dalam mengkampanyekan gerakan lingkungan hidup. Ewako!
Azhar
wah, betul mas agit. Kajian kajian ekologi harus kita galakkan. Sudah terlalu lama kita tenggelam dalam gagasan manusia sebagai sentrisme kehidupan 🙂