Wini Romiz Alam
Guru Muda
Tepat pukul sembilan pagi saat matahari sedang gagah-gagahnya, saya keluar kantor sengaja menyapa hamparan gunung yang mengelilingi sekolah kami. Dengan ditemani hawa sejuk khas pegunungan saya menghampiri seorang kawan yang sedang menjajakan dagangannya. Tak seberapa, namun hasil yang didapat cukup untuk menghangatkan keluarga kecilnya di rumah. Jam istirahat adalah waktu favorit bagi sebagian siswa, begitu juga di sekolah kami. Sewajarnya anak yang baru mengenyam bangku sekolah dasar, tentu sikap manjanya masih menyelimuti dirinya. Tak pelak keberadaan ibunya menjadi penting, walapun di saat jam sekolah.
Pada pagi itu ada yang membuat ganjil pandangan saya, karena selama kurang lebih lima bulan berdinas di sekolah tersebut belum pernah saya menemui seorang wanita (maaf) yang berpenampilan rapi. Tak heran karena sebagian besar dari warga yang bermukim di sini berprofesi sebagai petani, maka pakaian rapi bukan prioritas mereka. Wanita yang sudah menjadi ibu tersebut berada lima meter di depan pandangan saya, rasa penasaran khas bujang pun muncul seketika melihat wanita yang berpenampilan cukup menarik. Hal ini pun sontak saya ungkapkan pada rekan saya yang sedang asyik menghitung laba dangannya. “Bu, di Pamayang (nama dusun sekolah kami berada) ternyata ada juga ya wanita yang berpenampilan rapi? Sembari memperhatikan, wanita tersebut sedang menyuapi anaknya yang tidak lain murid kami juga. “Itu adik kandung Putri” (teman seprofesi kami, yang juga berdinas di sekolah ini). Mendengar jawaban tersebut, rasa penasaran ini pun semakin menjadi.
“Loh berarti masih seumuran saya dong?”
“Iya, dia itu istri kedua dari seorang laki-laki.”
Dengan polosnya saya kembali bertanya “Kok mau ya dimadu?”
“Eee… jangan salah suaminya tajir, coba bayangkan tiap bulan dia mendapat kiriman Rp 5 juta. Ya walaupun hubungan mereka berjauhan, yang penting kan uang tetep ngalir. Na, sekarang PNS aja gak sampai segitu lho.”
Singkat cerita, wanita tersebut adalah istri muda dari seorang laki-laki yang bekerja di sebuah hotel di daerah Tengger (Jawa Timur). Menurut paparan rekan saya, pasangan suami istri tersebut bertemu di jejaring sosial. Kemudian antara istri pertama dan kedua pun tidak satu rumah alias berjauhan.
Perbicangan atau bisa disebut juga pergunjingan yang kami lakukan berlangsung dengan gurih nan renyah. Sampai akhirnya bel tanda masuk telah dibunyikan, namun seketika melihat kisah keluarga tadi, pengalaman hidupku bertanya. Bagaimana cara wanita tersebut menikmati kehidupan dengan hanya (maaf) istri kedua sedangkan suaminya tidak tinggal bersamanya? Apakah mungkin dengan 5 juta perbulan bisa menggantikan kebahagiaan kala berkumpul dengan keluarga? Di mana peran seorang ayah ketika mendidik anaknya, apakah cukup dengan uang 5 juta? Dan sekali lagi, saya yakin dia melawan kodratnya sebagai wanita.
Melihat realita tersebut, kita bisa menarik benang merah bahwa pendidikan ternyata penting untuk membentuk pola pikir seseorang. Pola pikir di sini dalam arti bagaimana orang tersebut memandang sebuah pernikahan ataupun dalam merancang masa depan. Pun demikian halnya ketika sesorang menuntut ilmu tidak semata-mata mengharap penghasilan yang besar layaknya pengusaha-pengusaha sawit. Saya tidak mengatakan wanita tersebut atau si laki-laki tadi tidak berpendidikan. Namun yang menjadi pelajaran kita semua seorang yang berpendidikan bisa menjadikan pengasilan yang sedikit bermanfaat untuk orang banyak, sedangkan orang yang tidak berpendidikan hanya menggunakan uangnya untuk kesenangan yang sesaat. Dan bagi seorang muslim yang mempercayai Allah lah yang Maha Kaya, jangan sekali-kali mengukur kebahagiaan dengan sebatas uang.
Baca tulisan terkait
Rumah Tanpa Garpu