Gilang Drajat Maulana
Wakil Presiden BEM FPIK UB
PUCUKMERA – Istilah toxic menjadi sebuah tren baru di kalangan masyarakat, khususnya generasi milenial. Istilah toxic ditujukan kepada seseorang yang dianggap memiliki sifat racun atau menyusahkan orang lain dan merugikan orang lain baik secara fisik maupun psikis. Kriteria orang toxic biasanya dianggap sebagai manusia yang suka mengeluh, egois, dan sering merasa tidak puas.
Namun benarkah orang-orang yang sering kita anggap toxic memang mempunyai sifat tersebut secara alamiah? Atau sebaliknya, apakah orang yang kita anggap toxic sebenarnya tidak mau berada di posisi tersebut dan sifat yang mereka miliki bukan sepenuhnya salah mereka? Hal ini menjadi menarik untuk dibahas karena akan berhubungan langsung dengan cara kita menghadapi orang-orang toxic tersebut.
Sebelum berbicara lebih jauh, saya akan sedikit membagikan sedikit cerita tentang teman saya yang lahir dari keluarga kurang harmonis. Teman saya bercerita, bagaimana pola asuh orang tua yang salah ternyata diterapkan terhadap dirinya. Dia memiliki seorang ayah yang mudah sekali marah. Ia juga tidak pernah diajarkan pendidikan agama yang baik. Teman saya ini juga mengaku, ia mengalami perundungan dari teman-temannya, mulai dari fisik hingga psikis sejak kecil. Dia bahkan juga mengalami kekerasan fisik dan psikis dari didikan orang tuanya di rumah. Masa kecil yang ia lalui tidak seperti masa kecil anak-anak biasanya.
Lalu apa dampak yang dihasilkan dari pola asuh dan kondisi lingkungan yang seperti itu? Akibat pola asuh yang tidak baik, teman saya terlahir sebagai manusia yang mempunyai karakter dengan pola komunikasi yang buruk, keras kepala, egois, dan memiliki rasa empati yang sangat kecil. Dia lahir dengan karakter yang sangat memenuhi kriteria sebagai orang toxic. Namun singkat cerita, seiring berjalannya waktu, dia menjadi sadar bahwa apa yang menjadi kebiasaannya ternyata sangat merugikan orang lain.
Apa yang dapat diambil dari sedikit cerita saya mengenai perjalanan hidup dari teman saya ini? Ya, ternyata tidak semua mereka yang kita anggap toxic sepenuhnya akibat kesalahan mereka sendiri. Semua manusia terlahir sebagai manusia yang baik dan suci. Lingkungan sekitar yang akan membentuk kepribadian dan sifat mereka. Kita mengenalnya dengan istilah buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.
Lalu benarkah istilah tersebut? Secara teori memang ada sifat dan karakter yang dapat diturunkan melalui gen. Melansir dari Speakingtree.in, gen ayah juga bisa menentukan sifat anak seperti selera humor. Dari hasil penelitian Priatini et. al. (2008), Tipe pengasuhan pelatihan emosi, disiplin, pembelajaran emosional di sekolah, dan fungsi komparasi sosial sangat mempengaruhi terhadap kecerdasan emosional remaja. Hal tersebut tentunya juga akan membentuk karakter manusia saat mereka menginjak dewasa. Maka dari uraian tersebut semakin memperkuat bahwa anggapan kita terhadap manusia yang toxic akan kembali terpikirkan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita bedah kembali mengenai sifat toxic ini. Manusia terlahir tidaklah dengan sifat yang sempurna. Ada dua hal yang selalu mengikuti, yakni sifat baik dan buruk, hati nurani dan hawa nafsu. Kedua hal tersebut ada di dalam diri manusia, hanya saja lingkungan tempat mereka tinggal yang akan mencetak sifat mana yang akan dominan melekat terhadap diri mereka. Tantangan terbesar kita saat ini adalah bagaimana menjunjung tinggi nilai toleransi, tidak hanya toleransi beragama, ras, serta golongan. Namun juga bagaimana harus bersikap dan bertoleransi terhadap sifat seseorang.
Padahal, menurut pendapat saya, pribadi sifat toxic ini akan menjadi hal yang biasa saja jika ditempatkan di lingkungan yang tepat. Misalnya saja seorang pemabuk tidak akan menjadi toxic jika dia berkumpul sesama pemabuk, seorang tuna asmara yang setiap harinya galau tidak akan menjadi toxic jika berkumpul dengan sesama tuna asmara. Justru mereka semua akan saling menertawakan sifat toxicnya sendiri. Fenomena yang menarik adalah sering kali kita dengan mudah memberikan cap toxic terhadap orang lain, namun sering kali tidak sadar bahwa kita sendiri juga toxic untuk orang lain.
Lalu apa yang harus dilakukan jika kita menemukan orang yang toxic? Mahatma Gandhi pernah menyampaikan, “Bencilah dosa tapi cintailah para pendosa.” Tidak semua sifat toxic dari sesorang merupakan kesalahannya sendiri. Seperti cerita teman saya tadi, bisa jadi dia memang terbentuk dari lingkungan yang toxic.
Bukankah terlihat seperti menghakimi sendiri jika tiba-tiba membenci orang yang masih belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah. Mencintai merupakan sifat humanitas yang harus dimiliki oleh seorang manusia. Cinta adalah sendi segenap keutamaan dunia. Orang-orang yang memiliki cinta tidak akan pernah menyakiti dan tidak pernah mengecewakan.
Jika mengacu pada pandangan etika, manusia sempurna adalah manusia yang memiliki sikap kasih sayang kepada sesama. Ia memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi, tidak egois dan selalu mendahulukan kepedulian. Bukankah terlalu egois jika kita terlalu menyalahkan orang karena sifat toxic-nya? Maka mulai bertoleransilah dengan orang toxic dan mulailah cintai mereka sebagai seorang manusia.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
2 Comments
binance Norādījuma kods
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
Registrera dig
Can you be more specific about the content of your article? After reading it, I still have some doubts. Hope you can help me.