Membuka Pintu Hati dan Maaf Untukmu, Pak Harto

PUCUKMERA – Siapa tak kenal dengan presiden ke-2 Republik Indonesia ini? Beliau bertahta selama 32 tahun dan diturunkan secara paksa oleh rakyat Indonesia pada tahun 1998. Kepemimpinan beliau dinilai kontroversial di banyak buku sejarah. Selain dijuluki sebagai Bapak Pembangunan, Soeharto kerap dikenal sebagai presiden otoriter dengan segala kebijakannya.

Demikian anggapan sebagian orang termasuk saya ketika ditanya mengenai sosok Pak Harto. Lama kelamaan, saya merasa salah kaprah ketika saya menghakimi pemimpin yang bahkan hanya 3 bulan memimpin saya. Seorang bayi 3 bulan tak mengerti apapun tentang pemerintahan, apalagi prahara yang terjadi selama kurun waktu 1997 hingga 1998. Tak ada hak bagi saya menghakimi Soeharto karena saya tak merasakan penderitaan, maupun makmurnya harga barang ketika itu. Secuilpun data empiris, saya tak punya.
Namun, kealpaan saya terhadap sejarah orde baru menjadi kolom kosong ketika saya mempelajari kasus rencana kudeta PKI tahun 1965. Kebetulan saya benar-benar gila terhadap keabu-abuan sejarah PKI kala saya SMA. Banyak simpang siur yang menyatakan bahwa beberapa nama tertuduh menjadi dalang peristiwa G30SPKI. Beberapa pihak menuduh PKI sebagai dalang utama, beberapa menuduh Soekarno, dan beberapa mengatakan Soeharto yang menjadi aktor utama.
Pihak pihak menjadi saling tuduh dan saling curiga. Bukti bukti yang terkumpul hingga kini tidak cukup untuk mengerucutkan satu pihak sebagai penanggungjawab perustiwa ini. Lalu siapa dalangnya? Gelap!.
Orde lama runtuh, lahirlah Orde Baru yang secara kontroversial mengendalikan sejarah. Lalu dimana posisi pemerintah Orde Baru saat itu?  Menjadi penolong bangsa dari bahaya laten Komunisme, atau aktor yang sebenarnya mengkudeta pemerintahan Soekarno?
Sejarah saat itu menjadi milik Orde Baru. Semua informasi yang merugikan pemerintah akan ditimbun, dan semua informasi yang menjadikan pemerintah pahlawan akan digaungkan agar tetap terkenang. Pernah dengar “Sejarah adalah milik penguasa”?. Tak hanya orde baru, orde orde lainnya pun sama.
Beberapa bagian sejarah menjadi tak terpublikasikan. Sejarah menjadi untold story, sedangkan kini mulai banyak saksi hidup mulai meninggal dunia membawa cerita tahun 65 terkubur bersama jasad saksi. Data CIA cukup menjadi pemuas baru ketika informasi setengah abad lalu tentang terjadinya G30SPKI dipublikasikan didunia maya belakangan ini. Namun, hal itu tak cukup untuk menjawab teka teki dibalik peristiwa berdarah ini.
Demikian, kasus ini belum pernah final. Agus Widjojo bahkan sempat mengadakan Simposium yang secara khusus membahas peristiwa 65. Belum lagi, ada Salim Said, Alfian Tanjung, dan sederet tokoh yang berdiri di atas opini opini dan bukti yang mereka genggam saling melempar fakta agar tercipta kejelasan sejarah. Hal inilah yang harus senantiasa diusahakan, terutama oleh pihak pihak terdampak.
Hal ini sekaligus menjadi momok bagi para pelaku orde baru. Terutama Pak Soeharto karena ini terjadi saat pergantian rezim Sang Proklamator beralih ke rezim Bapak Pembangunan. Hal ini yang menyebabkan Awal dan akhir kepemimpinan Soeharto terasa penuh kontroversi. Bahkan, dari saat beliau lengser dari kursi kepresidenan hingga ajal menjemput, Keluarga Cendana cenderung diam menyikapi berbagai tuduhan terhadap Soeharto.
Namun, untaian kalimat dari dosen saya membuat mata batin saya terbuka. “Otak saya diciptakan untuk memikirkan yang indah dan positif. Mengapa saya harus memikirkan keburukan Soeharto?”. Kalimat itu demikian mengena sehingga saya mulai menyesali diri saya karena belum pernah mencari sisi baik Soeharto.
Manusia tentu punya khilaf. Namun, apakah dengan khilaf tersebut seluruh kebaikan seorang insan tertutupi?
Sudahkah kita meniatkan diri untuk bertabayyun dengan sejarah? Sudahkah kita menyalahkan maupun membenarkan orang yang tepat? Mungkin dibulan Syawal ini, kita bisa memaafkan Soeharto atas kekhilafan Beliau dalam memimpin negara, lalu membuka diri dengan hal hal positif yang telah dilakukan selama Beliau menjabat menjadi RI1. Juga, dapat pula kita memaafkan diri sendiri yang mengabaikan fakta namun justru cepat marah sebelum tabayyun. Lalu,  mari kita mulai membuka hati menerima fakta sejarah orba yang masih berkabut. Semoga Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang dewasa dan berani menerima kebenaran.

Oleh : Devi Wulantika Nur Fitria
Ilustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment