Memastikan Bahagiamu

Clean Qurrota A’yun


“Apa kabar?” akhirnya hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulutku yang sudah sepersekian menit membeku. Rasanya seperti terhipnotis sesaat ketika aku harus melihat sosokmu lagi.

“Aku? Seperti yang kau lihat, baik-baik saja dan akan selalu begitu.” jawabmu, masih dengan lesung pipit yang sama seperti dulu. Juga suara renyah yang rasanya begitu familier di telingaku. Kamu memang selalu begitu, tidak ingin membuat orang lain mengkhawatirkan keadaanmu. Kau masih menjadi wanita yang semandiri dulu, bahkan mengenai persoalan remeh temeh semacam kabar.

Aku memutuskan tidak melanjutkan percakapan, mengambil segelas minuman yang tersedia di meja. Meneguknya beberapa kali demi menghilangkan kegugupan yang saat ini menyergapkku. Tanpa sadar, kemudian aku memainkan jari-jariku memutari ujung gelas, melakukannya beberapa kali. 

“10 tahun ternyata tidak mengubah apa pun darimu, kamu tetap saja terdiam ketika sedang gugup. Hm, juga memainkan jarimu di ujung gelas.” katamu sambil sedikit terkekeh karena melihat aku yang sedang terdiam sambil melakukan ritual itu, kebiasaan yang selalu aku lakukan ketika aku gugup.

Aku masih tidak bisa menjawab. Diam dan membeku seperti patung. Tidak bergeming sedikit pun meski perkataanmu membuatku menghentikan ritualku kala aku merasa gugup. Ada sebuah pertanyaan yang mengganggu hari-hariku, 10 tahun belakang ini. Sebuah pertanyaan yang seharusnya aku tanyakan kepadamu sejak dulu, supaya aku bisa melanjutkan hidupku.

“Mama, lihat lah mobil merahku ini. Bannya terlepas, aku sudah memperbaikinya, Ma. Tapi sejak tadi tidak berhasil.” tiba-tiba datang seorang anak laki-laki menghampiri kami. Ia terlihat gempal dan menggemaskan, kalau boleh aku menebak usainya, mungkin sekitar 7 hingga 8 tahun.

“Fatih sayang, Mama tidak membawa alat untuk memperbaiki mainanmu. Bagaimana jika mobilnya disimpan di tas dulu? Nanti kita perbaiki bersama di rumah.” ucap wanita yang menjadi lawan bicaraku sejak tadi. Ia berbicara dengan nada yang penuh kasih sayang sambil mengusap lembut rambut anak laki-laki di sampingnya. Kini aura keibuannya memancar sungguh sangat kuat.

Demi mendengar kata-kata dari sang Mama, anak itu mengangguk sekali. Menatap mata wanita di hadapanku. Ia tampak seperti mencari kesungguhan di sana.

“Iya, sayang. Mama janji akan bantu memperbaiki mobilmu itu, kamu tidak usah khawatir.” seakan paham dengan apa yang diisyaratkan si anak, wanita itu kembali meyakinkan anak laki-laki di hadapannya. Si anak laki-laki itu tampak senang dan berbinar, ia lalu berjalan menjauh dari kami, menemui teman-temannya lagi untuk melanjutkan permainan.

Kini kami berdua kembali menjadi dua orang asing yang sedikit sekali bercakap-cakap. Dua orang yang dulu menghabiskan waktu bersama-sama. Saling menguatkan satu sama lain, bahu membahu menyelesaikan masalah. Sepasang kekasih yang sungguh terlihat amat sangat bahagia saat itu. Sampai hari itu datang.

“Kamu pasti sudah pernah melihatnya bukan? Fatih, putra keduaku.” kamu membuka obrolan demi mencairkan suasana. 

“Umurnya 8 tahun bulan September nanti, saat ini SD kelas dua.” katamu melanjutkan percakapan.

Aku tetap tidak merespon apa pun. Ada satu pertanyaan yang saat ini benar-benar ingin kutanyakan pada perempuan di hadapanku ini.

“Ia suka sekali melukis, aku juga tidak tahu kenapa bakat ini bisa muncul begitu saja. Padahal kamu pasti tahu persis, aku sangat payah dalam bidang itu.” kamu terus melanjutkan penjelasan tanpa menyadari ekspresiku yang berubah.

“Mungkin itu bakat yang diturunkan seorang Ayah.”

Penjelasanmu terputus setelah tanganku memberikan isyarat diam tepat di depan wajahmu. Aku menghela napas panjang. Aku harus menanyakannya. Waktu hampir habis, ini kesempatan yang tak akan pernah terulang.

“Salsabila Qurrotaayunina, apakah kamu berbahagia dalam pernikahanmu?” akhirnya lidahku tak lagi kelu mengutarakan pertanyaan ini, pertanyaan yang kusimpan sejak hari itu.

“Man, pernikahan ini memang tidak pernah ada dalam dongeng mana pun dalam khayalanku, tidak pernah terbesit sedikit pun menjalani sebuah pernikahan tapi bukan denganmu. Tapi, kau benar Salman. Selama niat kita dalam melakukan sesuatu baik, maka kita juga akan memetik sebuah kebaikan darinya. Kau tak perlu khawatir, aku bahagia dan akan lebih berbahagia melihatmu juga ikut berbahagia.” kamu akhirnya meneteskan air bening dari bola mata cantikmu.

Aku lega. Rasanya seluruh masalah dalam hidup terselesaikan. Semua malam yang kuhabiskan dengan harap-harap cemas kini tak akan lagi datang. Mempertanyakan kebahagiaan pernikahanmu adalah ritual dini hari yang selalu aku lakukan 10 tahun belakangan. 

Apa keputusanku saat itu merupakan keputusan yang benar? Apa kau bahagia dengan pernikahanmu? Ah, aku akhirnya bisa mempercayai diriku karena sudah mengambil keputusan yang tepat. Kau berbahagia, aku mendengarnya langsung dari mulutmu. Memintamu menikah dengan orang lain. Mungkin bagi sebagian orang itu adalah keputusan yang buruk. Tapi, bagiku, aku tidak mau menjadi alasanmu melawan orang tuamu yang tidak menyetujui hubungan kita, aku tidak mau kau mendurhakai mereka.

Tugasku sudah usai kini, mengikhlaskanmu dan memastikan kebahagianmu. Selamat datang kehidupan penuh kedamaian.


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment