Irsyad Madjid
Redaktur Pucukmera.id
PUCUKMERA.ID — Di Muhammadiyah, menjadi kader muda bukanlah perkara mudah. Terkadang yang ditemui adalah rasa minder ataupun malu, melihat kesederhanaan para tokoh-tokoh senior kami di Muhammadiyah. Suatu hari, saya pernah mendampingi salah satu senior Pemuda Muhammadiyah untuk menghadiri acara di UMM. Belum sampai di depan lokasi acara, kami sudah memarkir mobil jauh-jauh dari lokasi agar tak terlihat orang banyak. Senior itu berseloroh “Kita jalan saja, malu sama pak Rektor!”.
Asal muasalnya, mobil yang kami tumpangi, harganya jauh lebih mahal dibanding mobil pak Rektor. Padahal, jabatan beserta akses yang dimiliki oleh pak Rektor tentu jauh lebih “kelas satu” jika dibandingkan dengan kami. Hidup kasual, adalah salah satu “keteladanan” paling berat yang dititipkan oleh para sesepuh Muhammadiyah di level atas. Sangat jarang mendengar, tokoh Muhammadiyah memamerkan kemewahan, ditengah-tengah bergeliat pesatnya amal usaha Muhammadiyah.
Saya berani bilang, mata air keteladanan itu salah satunya bermuara kepada satu sosok sentral yang sering dijuluki sebagai “muadzin” atau “sang mercusuar”, Buya Ahmad Syafii Maarif. Kabar kepergian Buya pada Jumat pagi tanggal 27 Mei 2022 memancing semua cerita-cerita bersahaja itu muncul ke permukaan. Cerita ini tak hanya datang dari lingkar Muhammadiyah saja, namun juga dari berbagai tokoh, baik itu lintas agama atau yang membuat saya heran, lintas usia dengan ragam pandangan politiknya.
Di lingkar Muhammadiyah, Buya sering disebut sebagai muadzin (tukang adzan). Selain tidak ada yang meragukan kapasitas Buya sebagai tokoh Intelektual, Buya juga dikenal berdiri dengan penuh integritas. Sampai akhir hayat, hidup Buya tidak berlebih materi. Beberapa kali Buya menolak jabatan “elite” yang bisa membuat beliau hidup bak seorang konglomerat. Tak kurang kesempatan untuk menjadi Menteri, komisaris BUMN atau bahkan masuk ke dalam Dewan Pertimbangan Presiden, semua ditolak Buya.
Pak Muhadjir Effendy pernah menuturkan sendiri cerita Buya menolak tawaran Menteri di era Megawati dengan alasan menjaga marwah organisasi Muhammadiyah yang sedang ia pimpin. Semua hal ini membuat kritikan Buya terasa begitu tulus. Tanpa pretensi tertentu.
Padahal, membaca tulisan-tulisan kritis beliau bisa membuat “kuping panas”. Diksinya tajam dan menohok, disampaikan tanpa tedeng aling-aling. Saya pernah mendengar kisah Buya menegur langsung pak Jokowi karena kecewa dengan beberapa strategi politiknya.
Namun, pijakan Buya adalah hati burani dan akal sehat, sedangkan keberpihakannya adalah nilai kebenaran. Hal ini membuat Buya berani tampil beda, bukan untuk memecah belah namun murni mengingatkan agar kita semua tidak keluar pada jalur kebenaran.
Paling tajam, Buya tampil mengutarakan pendapatnya bahwa Ahok tidak menista agama dan tidak boleh dipenjara dengan tuduhan penistaan agama. Polarisasi yang amat keras waktu itu, membuat Buya ikut dilabeli dengan istilah “Cebong”. Amat menyakitkan, namun Buya tak bergeming. Buya dicap pendukung Jokowi garis keras hingga tutup mata dengan kelakuan rezim.
Presiden Jokowi memang menaruh perhatian khusus kepada Buya. Saat kondisi Buya sedang tak sehat, Presiden mengutus tim dari Jakarta untuk memantau kondisi Buya. Bahkan, pemerintah meminta izin Buya untuk dirawat di Jakarta. Namun, Buya menolak. Buya sudah terlanjur percaya pada tim dokter dari RS PKU Muhammadiyah Gamping. Ia tahu dan yakin persis sebab organisasi ini ikut ia rawat dan besarkan sendiri.
Di Muhammadiyah, santer terdengar bisik-bisik bahwa salah satu orang yang paling didengarkan oleh Presiden Jokowi adalah Buya. Presiden secara terang-terangan beberapa kali sowan ke rumah Buya. Tak seperti tokoh lain yang senang menghadap presiden ke istana, Buya memilih ambil jarak. Jika butuh nasihat, ia lebih senang berdiskusi dengan presiden di rumahnya.
Buya memang bisa jadi seorang pendukung Jokowi. Namun, integritas dan kesederhanaan yang ia pegang erat-erat membuat label “oportunis” tak tega untuk disematkan pada Buya. Sebab, jangankan mengambil keuntungan pragmatis dari perhatian Pak Jokowi, kepada Muhammadiyah pun Buya selalu bersikap sederhana.
Sudah lazim terdengar, Buya yang selalu semringah dan bersemangat ketika diundang menjadi pembicara/pemateri di acara Muhammadiyah, khususnya di kalangan anak muda Muhammadiyah. Beberapa orang yang pernah jadi panitia bersaksi bagaimana Buya selalu menghadiri undangan dengan usahanya sendiri. Tak sudi untuk dilayani dengan penjemputan. Beberapa kali Buya terlihat sedang duduk di kereta dengan tongkat di tangannya. Jika tak sedang menggunakan transportasi umum, Buya bahkan menyetir sendiri.
Cerita tersohornya yang tetap ikut antrean ketika sedang melakukan cek kesehatan di Rumah Sakit Muhammadiyah mengharukan banyak orang. Mantan orang nomor satu dan sesepuh yang begitu dihormati di Muhammadiyah ini bisa saja mendapatkan akses langsung ketika sedang berobat; bahkan, mungkin di semua rumah sakit di penjuru negeri ini.
Sudah terkenal keras dengan prinsip dan integritas, Buya lebih getol lagi jika terkait dengan dunia intelektualisme. Saya sempat membaca tulisan di situs Tirto.id yang menceritakan bagaimana dedikasi Buya menjadi seorang dosen. Dalam posisinya sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Buya tetap melaksanakan tugasnya secara sempurna sebagai Dosen. Ia tak pernah melanggar kuota 75 % mengajar di tiap semester.
Jika pun harus tak masuk, Buya akan mengganti kuliah di akhir pekan. Keseriusan Buya tak berhenti sampai di situ. Ia juga memberi perhatian yang amat besar terkait gagasan yang dituliskan oleh mahasiswanya. Semua makalahnya dikoreksinya dengan tangan sendiri, seacak-acak apa pun tulisan itu. Buya hanya pernah menitip pesan “Minggu lalu saya ke Amerika. Makalah kalian saya periksa dalam pesawat. Tolong jangan sia-siakan waktu saya dengan membuat makalah yang jelek”
Saya tak pernah heran kenapa Buya amat peduli dengan persoalan dunia Pendidikan. Buya memilih menggantungkan hidupnya dari royalti menulis buku. Saya sungguh ingat, kata-kata yang ia tuliskan pada salah satu bab di buku yang ia tulis, “Kerja-kerja intelektual, adalah kerja seumur hidup”. Sampai akhir hayat, Buya mempraktikkan pesan ini dengan amat serius.
Cerita dari Akmal, Ketua DPD IMM Yogjakarta yang diserahi tugas merapikan rumah Buya ketika jenazahnya sedang diantar ke pemakaman adalah bukti yang amat nyata. Di ruang kerja Buya, buku-buku bacaannya masih berjejer rapi, disertai beberapa draft tulisan yang belum sempat ia tuntaskan.
Pada akhirnya, keras kepala yang dianut Buya karena menolak kesempatan bermewah-mewahan dan teguh pada jalur intelektualisme, mengajarkan satu makna penting yang sudah jarang ditemui hari ini: “Hidup dengan Terhormat”.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.