Matinya Kepakaran, Bangkitnya Kewarasan


Habib Asha Kurniawan
Mahasiswa UM Ponorogo


Sebuah perbincangan berlangsung begitu saja. Tidak ada kesengajaan dalam pembahasan topik, lebih-lebih tentang keseriusan di dalamnya. Ya, daripada tidak ada pembicaraan.

“Memangnya, kenapa pemerintah Indonesia tidak segera ngambil keputusan lockdown, to? Sudah kayak gini lho keadaannya.”Ungkap kawanku yang nggremeng sambil membaca berita terkini di platform digital. Tiba-tiba kawan saya yang lain menyeletuk, “Kalo jadi lockdown, kamu paham dampak apa yang akan terjadi? Pemerintah juga penuh pertimbangan akan hal itu”

Dengan perbincangan sebatas asumsi dan ke-soktahu-an yang demikian, saya males mendengar, lebih baik pulang dan memilih social distancing.

Sesampai di rumah, sudah dipastikan saya tidak tahu bagaimana kelanjutan obrolan kawan saya yang sama keras kepala. Sebenarnya itu awal yang baik untuk memulai sebuah diskusi.

***
Terlepas dari pikuk perbincangan mengenai wabah yang sedang melanda negeri, ada hal menarik yang kiranya perlu dibahas. Mengenai, ke-sok tahu-an dan daya pikir kritis pada diri seseorang.

Masih ingatkah, ketika Ust. Rahmat Baequni mendakwahkan sebuah fenomena langka dan mengkaitkan ke ranah teologi dan terkesan irasional? Salah satunya ketika beliau sedang menjelaskan mengenai fenomena keberadaan UFO dan crop circle yang erat kaitannya dengan keberadaan dajjal dan para pengikutnya.

Loh, kok bisa? Emang, apa sih yang can relate? Saya saja pas mendengar sampai bingung bukan kepalang. Lain hal ketika beliau menyampaikan sebuah bahasan yang condong dengan kepakaran beliau, ya bicara agama.

Bagaimana tidak, dalam penyampaian di salah satu forum tersebut, beliau menyampaikan bahwa pesawat UFO yang masyarakat sering katakan adalah kendaraan dari mahkluk luar angkasa tersebut ternyata adalah kendaraan pengintai dajjal yang diciptakan untuk mengintai kekuatan dunia dan kita diimbau untuk lebih berhati-hati.

Agaknya, saya yang sangat awam dan cenderung sangat tidak paham mengenai teori konspirasi akan kebingungan. Barangkali saya akan lebih percaya dan intens menyimak ketika beliau membincangkan seputar pembahasan agama. Ya, saya percaya, wong dia Pak Ustadz kok.

Kalau katanya Tom Nichlos, bisa jadi itu adalah bagian kecil dari The Death of Expertise. Memang benar, hari ini, mulai dari kaum buruh, akademisi, hingga politisi kelas kakap bisa berpendapat tentang Omnibus Law, yang katanya sangat nggak berpihak pada kaum buruh.

Lantas, ketika kaum buruh sendiri membicarakan Omnibus Law dengan segala keterbatasan latar belakang keilmuwan, apakah itu hal yang salah? Mungkin saja, itu hal yang fatal menurut Tom Nichols. Ya, masak ada kaum buruh bicara Omnibus Law? Orang yang mahasiswa saja juga belum tentu paham akan hal itu.

Berbanding terbalik dengan hal tersebut, menurut saya fenomena tersebut merupakan sebuah bangkitnya kewarasan. Hal itu baik, positif. Perlu adanya keberlanjutan oleh siapapun, tak melulu harus yang berlatar belakang bachelor’s of law. Cukup kita harus memahami akan makna matinya kepakaran dan bangkitnya kewarasan akhir-akhir ini. Tidak boleh sembarang klaim sana-sini, apalagi dengan narasi penuh kebencian.

Tapi mohon maaf, kalau disuruh membela pemuka agama tersebut dengan narasi bangkitnya kewarasan yang bicara UFO adalah kendaraan para pengikut dajjal, dirasa tidak mungkin dan sangat irasional.

Lebih lagi di era kebaruan saat ini, semua orang bisa bersuara, dengan hak dan porsi yang sama. Budaya produksi informasi tidak hanya menjadi hak para pemangku kekuasaan, para ilmuwan, dan segala superioristis lainnya. Seperti yang saya katakan di awal, seorang buruh dengan wacana pengetahuan luas akan lanyah ketika diminta berpendapat tentang Omnibus Law.

Kalau kata Tom Nichols “Keadaan sekarang hampir seperti evolusi terbalik: kita menjauhi pengetahuan yang teruji dan mundur menuju legenda dan mitos yang disampaikan dari mulut ke mulut. Hanya sekarang semua itu dikirimkan melalui alat elektronik.”Bagi saya itu memang fakta, benar, dan sedang kita rasakan bersama-sama.

Sederhana saja. Juga dengan kedua kawan saya tadi yang berbeda pandangan terhadap keputusan pemerintah membuat kebijakan lockdown atau tidak tersebut. Padahal, kedua kawan saya notabene bukan anak politik dan kesehatan yang sedikit banyak paham keadaan politik nasional dan wabah virus corona. Tapi berani-beraninya mau bahas dampak dan efek dari lockdown? Ya, karena mereka kritis namun waras. Hanya saja, saya malas mendengar debat tanpa pendapat yang jelas.

Perlu dicatat bahwa bangkitnya kewarasan tanpa adanya wacana-argumentasi, pengetahuan luas, ilmiah, dan rasional, menyebabkan matinya kepakaran. Selain itu, fenomena tersebut mendorong bertambah banyaknya orang-orang dengan keterbatasan informasi akan menelan segala informasiabsurd tanpa memilahnya.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment