Mat & 3 Kematiannya

Radius Setiyawan
Pengajar Sastra di UMSurabaya

Raut wajahnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Nampak sayu dengan kerutan di kening. Berjalan gontai menyusuri sudut pasar. Rupanya sisa hujan tadi malam memberatkan langkah kakinya. Becek, hitam pekat dengan bau anyir yang menyengat. Dia buka satu persatu tong sampah di setiap sudut. Berharap dapat sampah plastik sisa minuman atau bekas barang plastik sisa kesombongan manusia.

Sesekali dia harus menyapa orang-orang yang dikenalnya. Meskipun wajahnya ditutup kaos lusuh berwarna putih. Hanya matanya saja yang tampak.

“Mat, iku lo jupuen, ono sampah nang mburi” sapa penjual ikan yang sepertinya sudah terbiasa menyuruhnya. Bergegas dia mendatangi tumpukan sampah dan memaksukkan ke dalam plastik hitam besar. Diangkut plastik besar itu ke sebuah pembuangan sampah dekat barisan mobil truk milik dinas pertamanan.

“Wes Mbak” sapa dia pada penjual ikan tadi. Diberilah dia uang kertas dua ribuan atas jasanya tadi. Dia bergegas mengambil keranjang sampah yang berisi tumpukan plastik dan melanjutkan membuka satu persatu bak sampah di sepanjang pasar.

Dari arah selatan, tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil memanggilnya. “Mat,iku lo adikmu ketabrak mobil”

Tanpa berfikir panjang dia meninggal keranjang yang berisi tumpukan sampah. Berlari tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya.

***

Mat hidup bertiga dengan ayah dan adiknya di sebuah gang sempit sebelah pasar. Ibunya pergi dari rumah karena tidak tahan hidup susah. Ibunya lebih memilih ikut supir bus antar kota setelah 5 bulan melahirkan adiknya. Info kepergiannya tidak ada yang tahu. Mat dan bapaknya tahu setelah 1 hari tidak pulang, itupun diberitahu oleh teman ayahnya seorang juru parkir terminal bahwa ibunya ikut supir bus antar kota.

Di sebuah rumah papan berukuran 5×10 mereka menjalani hidup. Ayahnya yang dulu seorang tukang becak terpaksa berhenti karena karena diagonis dokter mengidap paru-paru basah. Kehidupan mereka ditopang oleh Mat seorang diri. Mat terpaksa berhenti dari sekolah ketika beranjak kelas 5 SD. Berbekal keranjang dari anyaman bambu tiap pagi memunguti sampah di area teminal dan pasar.

Bagi Mat, adiknya harus tetap bersekolah. Sehingga tiap pagi dia harus menyiapkan keperluannya. Dari mandi, sarapan hingga baju sekolahnya.

Pagi itu Dewi adik kesayangannya bercerita bahwa kemarin dia mendapat nilai paling bagus dari gurunya. Dia dipuji karena nilai matematika hanya salah satu nomor dari sepuluh soal. Dengan wajah datar tanpa ekspresi Mat seolah tidak menghiraukan. Tapi Dewi tidak peduli atas ekspresi kakaknya. Dengan antusias dia bercerita tanpa ada rasa kecewa sedikitpun pada kakaknya. Bagi Dewi hal tersebut sudah biasa. Rasanya selama dia hidup tidak pernah melihat kakaknya tersenyum apalagi tertawa.

Keluarga itu memang kehilangan selera humor sejak kepergian ibunya. Dewi kecil yang tumbuh diasuh oleh Mat hampir pasti tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu.

*****

Kala itu sepertinya pagi yang tidak pernah Mat inginkan. Mereka berpisah di sebuah gang. Dewi berjalan ke sekolah sementara Mat menuju pasar. Ternyata pagi itu menjadi pertemuan Mat yang terakhir dengan adiknya. Dalam perjalanan pulang ke rumah. Dewi mengalami peristiwa nahas. Sebuah mobil bak terbuka menghantamnya dari belakang. Tubuh mungilnya terpental jauh membentur tembok pembatas jalan. Rupanya pengemudi yang sedang mengangkut bahan bangunan sedang mengantuk dan mobil yang dikendarainya oleng. Gadis kecil yang masih berseragam jadi korban. Darah mengucur deras, Dewi terkapar dengan kepala remuk karena kepalanya menghantam pembatas jalan.

*****

Mat, berlari dan bertanya pada orang-orang yang sedang bergerumbul. Dewi mungil sudah diangkut ke rumah sakit dengan mobil pengendara yang berbaik hati mau menolong.

Mat tiba di rumah sakit dengan perasaan hancur. Baginya perasaan ini sama seperti ketika tahu bahwa ibunya lari meninggalkan ayahnya. Dengan baju lusuh Mat mendapat kabar bahwa nyawa adiknya sudah tidak tertolong lagi. Sebuah kondisi yang bakal jadi hari buruk kedua dalam hidupnya. Mat memeluk adiknya dengan mata berkaca-kaca. Dalam hatinya menyesal tidak peduli dengan cerita adiknya yang mendapat nilai tertinggi Matematika di kelasnya. Wajah Dewi sudah hancur, tidak lagi nampak utuh. Bagi Mat, pagi tadi adalah hari terakhir bisa melihat wajah adiknya secara utuh.

*****

Rumah yang sebelumnya sepi menjadi tambah sepi tanpa kehadiran Dewi. Hubungan Mat yang sebelumnya kurang bagus dengan ayahnya adalah salah satu penyebabnya. Rumah itu senyap bagai kuburan. Sudah tidak ada lagi riuh suara adiknya yang biasanya belajar menghafal pelajaran-pelajaran di di sekolah.

Diam, sepi, kaku, beku dan tampak sesak kesedihan. Mat pasca kepergian ibunya termasuk orang yang menyimpan dendam pada ayahnya. Mat tahu betul yang membuat ibunya pergi dari rumah. Ibunya mengalami siksaan yang tidak wajar kalah itu. Saat hamil adeknya, Ibunya dipaksa untuk melayani nafsu seksual ayahnya. Bagi Mat bertahun-tahun dia terbiasa mendengar suara rintihan kesakitan ibunya. Baik karena pukulan, maupun karena perilaku sadis dari ayahnya.

Dunia Mat sebenarnya sudah lama runtuh. Harapannya saat ini hanya satu yakni pada Dewi.

Dua hari pasca adiknya meninggal. Mat tetap harus bekerja memulung sampah agar dia tetap hidup. Mat sudah tidak lagi mau berangkat ke pasar melewati jalan yang dulu dia lalui dengan adiknya.

Dia berjalan jauh untuk sampai pada pasar. Pagi itu pasar nampak lenggang, tidak seperti biasanya. Tapi Mat tidak terlalu peduli. Baginya memunguti sampah sisa kesombongan orang harus tetap dilakukan agar tetap hidup.

“Mat, seng sabar yo. Adikmu wes bahagia nang surgo” sahut si penjual ikan yang biasanya meminta dia membuang limbah sisa ikan. Dengan mata sayu dan jalan gontai dia mengangguk. Mat pagi itu sebenarnya ingin melupakan kejadian yang menimpa adeknya. Tetapi rasanya tidak mungkin. Setiap orang yang dia kenal seolah berusaha mengingatkan lagi. Sesekali bertanya dan berkali-kali mengucapkan belas kasian padanya.

Siang matahari berada tepat di atas kepala. Mat yang sedang mengumpulkan hasil pungutan sampah akan membawanya kepada pengepul.

Tiba-tiba datang perempuan paruh baya menghampirinya.

“Mat, awakmu sehat le?” Sapanya lirih. Mat hafal betul suara siapa itu. Tapi dia tidak yakin suaranya tersebut benar-benar ada. Kemudian dari belakang pundaknya ditepuk. “Mat!”

Mat pun menoleh. Ternyata wajah ibunya hadir dihadapannya. Ibunya mendengar kabar tentang kematian adiknya Dewi. Dengan wajah berkaca-kaca ibunya bertanya tentang Dewi.

Seketika kepala Mat terasa berat. Rasanya dia sedang mengalami dua siksaan terberat dalam hidupnya seketika. Melihat wajah ibunya dan ingat tentang kematian Dewi.

Mat pun terdiam dengan nafas tersengal-sengal. Rasanya nafasnya mulai sesak dan jantungnya berdetak kencang. Seolah rasa dendam menyelimuti dalam dirinya. Orang yang melahirkannya hadir di hadapannya. Dendamnya membuncah. Seketika itu dia ambil balok kayu yang ada di depannya. Dia pukulkan ke kepala ibunya. Seketika itu ibunya terkapar. Seisi pasar menjadi riuh. Tiba-tiba banyak orang berlari mendekati dan memegang dirinya yang sedang memukuli kepala dan tubuh ibunya dengan balok besar.

Ibunya bersimbah darah. Mat pun semakin menjadi hingga perilaku bengisnya berhasil dihentikan oleh banyak orang.

Selang beberapa menit polisi pun datang. Mat diborgol dan dibawa ke kantor polisi. Setan apa yang merasukinya hingga jadi orang bengis dan kejam.

Dia terdiam. Selama berhari-hari polisi tidak dapat mendapat informasi apa-apa darinya. Mat terdiam seribu bahasa. Entah apa yang sedang dia rasakan. Hari ketiga dia dalam sel penjara tetap tidak mau bicara. Meski kerap mendapatkan siksaan, dia tetap memilih diam.

Apalagi ketika dia tahu bahwa perempuan yang dia pukuli itu sudah merenggang nyawa. Mat menanyakan pada dirinya mengapa tidak ada rasa sakit hati ketika mendengar kematian ibunya.

Rupanya Mat sudah lama menganggap ibunya telah mati. Kematian ibunya telah lama terjadi bersama siksaan rasa sakit hati yang pertama. Ketika ibunya memilih meninggalkan dia dan adiknya.

Hari ke-empat seorang lelaki tua datang membesuknya. Dengan nafas tersengal dan batuk yang menggigil menghampiri Mat. Mat pun tetap diam. Laki-laki tua itu adalah bapaknya. Mat pun tidak peduli dan tetap diam.

Hari kesepuluh Mat dipindah ke lembaga pemasyarakatan setelah vonis 20 tahun yang dijatuhkan padanya. Mat mulai melalui kehidupan barunya di penjara.

Bersambung……


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

1 Comment

Leave a comment