Irvan Ulvatur Rohman

Ketika menulis ini, saya masih percaya bahwa mahasiswa memiliki satu tanggung jawab besar: mengaplikasikan pengalaman yang didapat dari kampus oleh karena filosofi “agent of change dan agent of social control.”

Tanggung jawab tersebut tersemat dalam diri mahasiswa sebagai pembela hak rakyat. Namun, sadarkah hari ini mahasiswa kehilangan semangat?

Ya, tentu, pertanyaan itu terbuka untuk diperdebatkan.

Di sisi lain, tidak elok rasanya jika tulisan ini hanya membedah soal merosotnya peran mahasiswa tanpa dibarengi sebab yang mengiringinya.

Dewasa ini, signifikasi perkembangan teknologi tidak mudah dibendung. Cilakanya, perkembangan tersebut, melahirkan dua dampak secara bersamaan. Di satu sisi kemajuan teknologi menghilangkan sekat antarwilayah, di sisi lain teknologi menyebabkan disrupsi yang sangat hebat.

Fenomena ini memberi perubahan besar, bahkan sampai aspek substansi. Dampak lain yang ditimbulkan adalah kecepatan itu sendiri. James Gleick menyebut, kebanyakan manusia telah terperangkap pada term kecepatan.

Lebih lagi, Gleck melihat kecepatan ini sebagai bentuk ekstasi: tenggelamnya manusia dalam kecepatan sebagai akibat perkembangan teknologi. Perlu dipahami lagi bahwa ekstasi merupakan kondisi kebebasan dan pemenjaraan dalam waktu yang sama. Artinya, kecepatan, dalam benak Gleick telah membebaskan manusia dari berbagai hambatan. Sedangkan pemenjaraan adalah memerangkap manusia di dalam arus kecepatan itu sendiri.

Lantas, apa kaitannya dengan pola mahasiswa itu sendiri?

Sebagian besar dari mahasiswa adalah usia muda dan menyukai teknologi. Selain itu, usia muda, secara psikologis, mudah dipengaruhi oleh kemajuan teknologi yang dapat menimbulkan ketergantungan. Inilah asal degradasi nilai menjadi seorang mahasiswa. Ketergantungan pada teknologi dapat menyebabkan formophobia, atau kondisi seseorang tidak ingin ketinggalan informasi.

Namun, masalahnya, informasi yang sengkarut dapat mengacaukan paradigma berpikir yang jernih. Timbulnya polarisasi pun tak lepas dari pengaruh media baru.

Hal ini tentu sangat berbahaya buat eksistensi mahasiswa itu sendiri.

Berangkat dari persoalan itu, apa korelasi yang lebih aktual antara mahasiswa, intelektual, dan realitas sosial?

Untuk menjawab pertanyaan filosofis tersebut, diperlukan penalaran deduktif, melalui dari sesuatu yang umum, sehingga dapat ditarik konklusi.

Kembali lagi, mahasiswa sebagai kaum intelektual dan anggota masyarakat, berkewajiban untuk bersikap profesional dan proporsional di dalam kehidupan masyarakat. Ingat, terdapat dua tugas utama yang diampu oleh mahasiswa: masyarakat dan pendidikan.

Untuk dapat melihat secara mendasar, pada kesempatan ini, mari kita korelasikan kedua hal tersebut melalui cara berpikir yang inheren.

Franz Magnis Suseno, dalam bukunya, Etika Dasar, memiliki perspektif khusus mengenai etika. Alat inilah yang saya gunakan untuk merangkai sentralisasi mahasiswa dalam kancah pendidikan (intelektual) dan masyarakat (realitas sosial).

 Pertama, menurut Magnis, signifikansi etika adalah membantu mahasiswa untuk mengintegrasikan secara intelektual pengalaman-pengalaman baru yang didapatkan dari proses internalisasi intelektual ke dalam diri. Secara konseptual, diri (kepribadian) yang dimaksud di sini dilihat dari segi paket nilai dan anggapan normatif yang dibawanya.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah, pengalaman-pengalaman baru tersebut, didapat oleh mahasiswa melalui proses keterlibatan mahasiswa di universitasnya.

Lebih mandalam lagi, fungsi etika di sini adalah integrasi intelektual: membantu mahasiswa supaya bertanggungjawab atas pengalaman-pengalaman baru. Artinya, pengalaman-pengalaman itu, secara intelektual, patut diformulasikan untuk menghadapi persoalan sosial-kemasyarakatan.

Masih menurut Magnis, materi etika harusnya diinternalilasikan oleh universitas kepada mahasiswa. Harapannya, setelah melakukan itu mahasiswa mampu menjadi manusia kritis terhadap segala problematika yang ada.

 Kedua, sebagai kesimpulan, esensi antara mahasiswa, intelektual, dan realitas sosial tidakdapat dipisahkan. Melalui etika sebagai alat mengintegrasikan tiga fundamen tersebut, peran mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control tidak hanya berhenti pada jargon yang melangit. Kuntowijoyo menyebut, kaum intelektual tidak boleh hanya melangitkan pikirannya di menara gading, melainkan harus membumikan gagasannya untuk kebermanfaatan.

Semoga dengan ini, mahasiswa tidak hanya mengejar gelar sarjana, melanggengkan segala urun daya demi IP semata, namun juga menjawab realitas sosial yang ada.

Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.