Oleh: Nashir Efendi (@nashirefendi)

Peristiwa bencana nggak hanya berpengaruh pada persoalan ekonomi, sosial, psikologi dan politik, tapi juga menyangkut problem teologi dan pola pikir masyarakat. Masyarakat yang terdampak dan yang menyaksikan bencana, tentu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap bencana.

Namun, apapun itu, seenggaknya ada tiga arus pemikiran utama yang membayangi cara berpikir masyarakat atas bencana yang datang silih berganti beberapa tahun ini, yakni; teologi mistis, nihilistik, dan religio-fenomenologis.

Pertama, teologi mistik-klenik. Di era kepemimpinan Jokowi-Kalla, rentetan bencana kebetulan makin sering mendera bangsa ini. Kejadian itu mengundang spekulasi pemikiran berbau ‘mistik’, bahwa duet dua pemimpin itu nggak diterima atau lemah secara spiritual untuk memimpin negeri ini.

Bencana yang menyatakan kehendak alam ditafsirkan sebagai keengganan—kalau bukan penolakan—atas representasi mereka. Bahkan, ada yang nyleneh otak-atik asal jadi ala klenik, mengambil persamaan kata dengan tokoh dan alam pikir dunia pewayangan, meyakini bahwa jika yang berkuasa di bumi adalah Joko (Widodo?) dan Bethara Kala (Jusuf Kalla?), maka yang akan terjadi  adalah bencana.

Pemikiran dan pemahaman (baca: teologi) semacam ini nggak hanya salah dari sisi logika, karena menggunakan pengukuran mitos yang belakang berkembang tanpa preseden, tapi juga menyesatkan karena berbasis takhayul dan apriori.

Kedua, teologi nihilistis. Rentetan bencana yang selalu membawa kematian, kerap terjadi di tengah sulitnya himpitan hidup dan merajalelanya ketidakadilan politik, sosial, dan ekonomi. Hal itu, menurut saya, membuat masyarakat makin terbiasa nggak acuh dan kehilangan kepekaan terhadap alam dan sosial.

Hemat saya, hal ini lebih disebabkan bencana yang kerap terjadi itu sudah dianggap hal yang lumrah. Bencana sosial, ekonomi, dan politik yang mendera tanpa habis, membuat masyarakat nggak lagi sempat memperhatikan orang lain yang sedang tertimpa musibah. Akhirnya, sikap acuh tak acuh mengkristal dan membentuk kecenderungan masyarakat yang apatis.

Ketiga, teologi religio-fenomenologis. Konsep ini, biasanya merujuk  pada al-Quran, yaitu doktrin bahwa “Telah tampak kerusakan di darat dan di  laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mareka, agar mereka kembali (ke jalan  yang benar),” (QS Ar-Rum ayat 40). Term ketiga ini muncul nggak terlepas dari kerakusan manusia yang lebih mementingkan diri sendiri daripada kemaslahatan umat, sehingga mereka nggak mau mendengar panduan Ilahi.

Sebetulnya, yang jadi persoalan adalah ketika konsep “bencana”, yang pada awalnya dipahami sebagai “simbol” peringatan Tuhan terhadap sikap egoisme manusia atas alam, secara perlahan mulai pudar.

Hal ini, ditakutkan akan memunculkan apatisme (distorsi teologis) dalam ruang kesadaran masyarakat terhadap setiap bencana yang muncul. Masyarakat nggak lagi merasa prihatin terhadap musibah yang menimpa saudara-saudaranya. Nah, apabila kondisi ini telah menjadi mindset umat di negeri ini, maka nggak ada lagi harapan bagi umat negeri ini untuk bangkit.

Pola pemahaman masyarakat tersebut, lebih jauh, dapat dilacak dari basis pengetahuan teologis yang fatalis. Lebih dari sekadar itu, pola-pola demikian terkadang jauh melewati batas nalar.

Saat masyarakat tertimpa bencana, lantas muncul anggapan-anggapan dan dugaan yang bersifat ‘teologis’. Rumitnya persoalan ini juga disebabkan model pemahamaan keagamaan yang bersifat parsial, tekstual, dan bahkan dangkal.

Menurut saya, bencana alam nggak lagi disebabkan kemaksiatan; zina dan nggak berjilbab, tetapi lebih disebabkan oleh kemaksiatan terhadap lingkungan; pengerusakan hutan yang menganggu harmoni ekosistem.

Dengan demikian, diperlukan interpretasi ulang atas term kemaksiatan itu sendiri, di samping harus segera dibangun kesalehan natural, yakni hidup selaras dengan alam (Abdul Munir Mulkan, 2008).

Dalam konteks ini, kita bisa meragukan asumsi bahwa bencana sepenuhnya bagian dari rencana Tuhan. Oleh karena itu, teologi bencana yang perlu dikembangkan di masa depan adalah teologi harapan yang mendasarkan pada pembangunan kesalehan natural.

Teologi model ini memberikan harapan, bukan rasa putus asa atau sikap menyerah kepada kekuasaan Tuhan. Teologi yang diharapkan itu juga mesti memberikan semangat untuk memecahkan masalah dan memungkinkan manusia untuk membebaskan diri.

Di samping itu, kita juga perlu mendorong  masyarakat ke arah “Masyarakat ilmiah”. Masyarakat ilmiah adalah masyarakat yang mampu ‘keluar’ dari tempurung ‘mistik’ dan pemahaman agama yang fatalis. Dalam hal ini, agama justru nggak ditinggalkan begitu saja, tapi menjadi spirit dalam menelaah fenomena alam yang demikian rumit.

Masyarakat ilmiah mampu menempatkan “Ruang agama” selaras dengan ruang bekerjanya “sains”. Keduanya bekerja pada ruang masing-masing tetapi tetap terhubung dalam ranah-ranah yang disepakati bersama.

Jika demikian, maka penyelesaian cara pandang terhadap bencana alam; gempa bumi, longsor, dan kawan-kawannya itu, dapat jadi pijakan dasar untuk menyelesaikan masalah krusial lainnya, terutama kalau menangani bencana alam yang lebih mengerikan.

Selamat Hari Kesiap-siagaan Bencana Nasional, semuanya. Mari ubah kepanikan dan segala prasangka dengan aksi nyata. []

*) Peneliti Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat, Universitas Brawijaya