M. Hasan Rofidi *)

Ingar-bingar pilpres sudah sangat terasa di permukaan. Manuver-manuver politik khas para pasangan sudah mulai dilakukan. Di antaranya, mereka membeli media massa dan blusukan. Jelas, tujuannya adalah raupan simpati serta dukungan politik oleh warga.

Dari kaum bawah sampai elite negeri diterjang, tak pandang strata. Katanya, hal itu supaya tidak ada lagi kesenjangan di antara kita. Karena, demokrasi politik sebagai konsekuensi demokrasi selalu dapat dinikmati oleh berbagai kalangan.

Pergolakan dan perbincangan politik semakin ramai, bukan hanya di meja-meja seminar atau pangung-panggung intelektual, tapi sudah sampai kalangan bawah yang selama ini buta politik, bahkan tak menyukainya.

Mereka yang mulanya tak pernah tampak sorotan, kini mulai membuat panggung-panggung sebagai ajang perlombaan dan pembuktian.

Barisan para mantan sudah tak segan untuk terang-terangan. Partai baru hadir melakukan kerja-kerja politik sesaat. Harapan saya, semoga mereka dapat istikamah pada jalan yang dipilihnya, bukan hanya ikut meramaikan lalu hilang tak berbekas.

Nah, pada musim pilpres seperti ini, peran kaum milenial sangatlah berpengaruh dan menentukan. Hak pilih mereka diperebutkan dengan berbagai strategi dan cara pasangan masing-masing.

Kandidat memperlihatkan keseksiannya agar si milenial tertarik padanya. Pada situasi seperti ini, si milenial harus tumbuh lebih kritis agar mampu mencerna setiap persoalan dengan komprehensif.

Seluruh akademisi dan mereka yang melek pendidikan harus ikut turun gunung secara masif demi membangun arus baru yang lebih segar bagi milenial. Lebih-lebih, agar kekurangan pemahaman tentang isu dan kegiatan politik tidak menyebabkan milenial apatis terhadap proses demokrasi yang terjadi.

Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, menyebut bahwa “literasi politik lebih luas dari hanya sekadar pengetahuan politik, melainkan cara membuat diri menjadi efektif dalam kehidupan publik dan dorongan untuk menjadi aktif, partisipatif dalam melaksanakan hak dan kewajiban baik dalam keadaan resmi maupun di arena publik yang sifatnya suka rela”.

Oleh karena itu, betapa pentingnya literasi politik bagi si milenial. Mari kita sama-sama  menghidupkan kembali naluri dan nurani si milenial supaya tercipta politik yang menyegarkan dan berpengetahuan.

*) Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang