Literasi Politik dan Fenomena Pilkada di Indonesia

PUCUKMERA – Rabu 27 Juni 2018 lalu telah dilakukan pemungutan suara serentak bagi  daerah-daerah yang melaksanakan Pilkada baik pemilihan gubernur dan wakil gubernur maupun pemilihan bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota.

Walaupun hasil resmi hitung suara manual belum keluar namun hasil quickcount dari form C1 KPU dan berbagai lembaga survey dapat dijadikan rujukan sementara. Hasil quickcount  memang beberapa sudah diprediksi namun beberapa memberi hasil yang tak terduga.
Salah satu hasil mengejutkan yaitu hasil quickcount Pemilihan bupati dan wakil bupati Tulungagung yang dimenangkan oleh paslon pertahana yang merupakan tersangkan KPK. Bupati pertahana, Syahri Mulyo terjerat kasus korupsi milyaran rupiah sekitar 2 pekan lalu. Syahri Mulyo berpasangan dengan Maryoto Birowo unggul dengan persentase 59,8 persen atas lawannya, Margiono dan Eko yang meraih 40,2 persen. Perhitungan ini berdasarkan hasil quickcount KPU Tulungagung dari rekap form C1 dengan prosentase data yang sudah masuk 80,82%.
Paslon yang menjadi tersangka KPK memang tidak hanya terjadi di Tulungagung, seperti misalya di kota Malang 2 dari 3 orang calon walikota juga terjerat kasus korupsi. Namun, paslon tersangka korupsi yang unggul dalam pilkada nampaknya hanya di Tulungagung, mungkin ini juga pertama dalam sejarah. Memang belum ada PKPU (peraturan KPU) yang mengatur tentang pembatalan pencalonan bagi paslon yang terjerat kasus korupsi, jadi tidak ada pembatalan paslon dalam Pilkada.
Ada satu lagi fenomena yang menarik datang dari Pilkada Makassar. Berdasarkan quickcount yang dilakukan lembaga riset Celebe Research Center (CRC),  pasangan calon walikota dan wakil walikota Makassar, Munafri Afifuddin-Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) harus belapangdada bahwa suara yang diperoleh di bawah perolehan suara kotak kosong. Pasangan Appi-Cicu ini hanya memperoleh 46,55 persen, kalah dengan kotak kosong yang mendapat 53,45 persen suara. Paslon melawan kotak kosong ini dapat terjadi karena memang hanya ada 1 paslon dalam Pilkada, paslon tersebut dikatakan menang jika memperoleh suara diatas 50%.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin nemerka-nerka mengapa fenomena-fenomena langka dalam Pilkada ini bisa terjadi. Saya ingin mencoba menghubungkan dengan literasi politik masyarakat Indonesia. The American Library Association (1996) mendefinisikan literasi politik sebagai keterampilan mencari, memanfaatkan dan mengevaluasi informasi untuk memecahkan masalah. Literasi politik yang tinggi dapat mendorong tumbuhnya masyarakat rasional, terdidik (educated society). Jika masyarakat Indonesia memiliki literasi politik yang baik maka masyarakat akan berperan aktif mewujudkan demokrasi yang sehat dan berkualitas. Pertanyaannya, sudah baikkah literasi politik masyarakat Indonesia?
Menghubungkan dengan fenomena Pilkada Tulungagung yang dimenangkan oleh paslon tersangka korupsi, jika memang literasi politik masyarakat Tulungagung sudah baik berarti memang paslon tersebut dinilai masyarakat sebagai paslon yang tepat memimpin Tulungagung walaupun di akhir jabatannya terjerat kasus korupsi. Berarti masyarakat Tulungagung telah melalui pertimbangan sehingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada paslon tersebut. Mengutip perkataan ketua KPK bahwa masyarakat mudah memaafkan. Kemungkinan lain, jika literasi politik masyarakat Tulungagung belum baik, berarti masyarakat tidak melalui pertimbangan yang matang saat memilih paslon tersebut, atau mungkin ada faktor lain yang mebuat masyarakat memilih. Elektabilitas paslon dinilai masyarakat hanya karena nama paslon tersebut familiar sedangkan paslon pesaing merupakan tokoh baru yang belum dikenal. Atau mungkin juga karena literasi rendah, masyarakat tidak tahu bahwa paslon ini terjerat kasus korupsi. Sampai di sini, saya hanya menawarkan beberapa kemungkinan, bukan memberi kesimpulan.
Mengenai fenomena kedua, dimana paslon walikota dan wakil walikota Makassar kalah tipis dengan kotak kosong, saya melihat ini merupakan bentuk perlawanan masyarakat dalam demokrasi. Karena paslon hanya satu, masyarakat tak lantas memilih paslon yang ada, namun mempertimbangkan opsi lain dengan memilih kotak kosong. Menghubungkan dengan literasi politik, jika memang literasi politik masyarakat Makassar tinggi, berarti masyarakat telah mencari informasi dan mempertimbangkan sehingga pada akhirnya memilih kotak kosong. Sampai disini, saya kembali hanya menawarkan beberapa kemungkinan, bukan memberi kesimpulan.

Oleh : Nuzula Khoirun Nafsah
Illustrator : Mufardisah

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment