Lusi Hanasari
Aktif bergabung dengan komunitas menulis COMPETER (Community of Pena Terbang)
PUCUKMERA.ID – Ia tersenyum sendiri mendengar gemercik hujan. Ia berlarian di tengah rinai hujan yang semakin tumpah. Matanya tertutup merasakan aliran hujan yang menyentuh pori-pori kulitnya. Ia menari, mencoba menggenggam butiran hujan lalu memasukkannya dalam dada dan kantong hatinya. Kedamaian menyelaminya. Bibirnya mengembang, matanya menyemburatkan kebahagiaan yang mengalir tumpah seperti butir-butir air hujan yang berjatuhan.
Hujan begitu ajaib saat ia turun. Tanah tandus yang gersang, seketika memunculkan tanda-tanda kehidupan. Ia menumbuhkan berbagai macam tanaman, bunga, pohon dan kehidupan makhluk lain. Bagi Saman, hujan adalah kekasih hati karena hujan bisa menghiburnya saat ia dalam keadaan sedih. Namun, sejak beberapa hari ini, hujan tidak kunjung turun. Saman tetap menunggunya dengan setia.
Sampai suatu hari sepulang kerja, hatinya sangat dongkol. Pekerjaan Saman menumpukditambah atasannya yang mengomel terus-menerus. Menjadi karyawan kantor di sebuah perusahaan memang bukan keinginannya sejak awal. Saman tidak ingin menjadi pria karir seperti kebanyakan pria lain. Ia ingin menjadi jurnalis sekaligus penulis. Namun, kedua orang tuanya melarang karena pekerjaan tersebut dianggap mempunyai masa depan yang suram.
Dengan sangat terpaksa Saman mengikuti pilihan kedua orang tuanya. Menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh salah satu kolega orang tuanya. Kolega orang tuanya itu mempunyai jabatan bergengsi di salah satu perusahaan. Kedua orang tua Saman lantas meminta bantuan untuk menempatkan Saman di salah satu posisi di perusahaan tersebut.
Alhasil, setiap hari Saman hanya berkutat pada komputer dan laporan perusahaan yang harus dikerjakan. Seharian, matanya memandangi layar komputer dan jemarinya tak berhenti mengetik nominal. Waktunya habis untuk memikirkan pekerjaan yang selalu menunggunya. Pekerjaan yang tidak ia sukai sekaligus menambah beban pikirannya akhir-akhir ini.
Omelan dari atasan membuat Saman terlihat murung. Ia tidak lagi bisa berkonsentrasi dengan baik saat melakukan pekerjaan. Matanya selalu memandang di balik jendela kaca kantor yang berukuran besar dan menampakkan langit berwarna biru cerah serta gedung-gedung pencakar langit yang menghiasi kota. Ia mulai merindukan kekasihnya yang tak kunjung turun untuk membasahi dada dan hatinya yang mulai gersang.
“Sudah beberapa hari ini kau tidak muncul. Mengapa?”
Ia sibuk berbicara dengan hatinya. Kegelisahan tampak dalam raut wajah dan mata Saman. Tanpa hujan, ia kesepian. Saman sangat merindukannya. Seperti seseorang yang setia menantikan kekasihnya, Saman tanpa lelah memandangi langit setiap kali dalam perjalanan berangkat dan pulang dari kantor.
Rinduku selalu tersimpan di balik putihnya awan.
Kau akan turun bersama rindu itu memeluk namaku.
(Saman)
***
Terlihat seorang lelaki sedang menunggu di sebuah bangku taman. Bangku yang biasanya menjadi tempat favorit para kekasih saat menikmati pemandangan jalanan kota. Suara deru mesin-mesin kendaraan. Lalu lalang orang berjalan, dan suara ciri khas pedagang asongan menjajakan dagangannya membelah kerumunan. Lelaki itu memikirkan saat ia pertama kali bertemu kekasihnya. Ya, itu Saman.
Sepasang muda-mudi berbincang-bincang santai di bangku taman yang lain. Mereka sedang asyik memakan kembang gula berwarna merah muda. Percakapan mereka serasa hangat satu sama lain. Saman tersadar dari lamunannya saat mendengar suara klakson mobil yang heboh karena lampu lalu lintas yang baru saja berubah hijau.
Ia hanya sendirian di bangku taman. Pikiran dan hatinya menanti seseorang. Ia mendongak ke langit menanti wajah kekasihnya, namun tak ada tanda-tanda kekasihnya akan turun. Tidak ada mendung. Berjubel-jubel orang memadati jalanan kota. Matahari sudah terik, rasanya mustahil hari ini kekasihnya akan datang.
Oh, aku benar-benar merindukanmu tetapi jarak dan waktu telah mengurungku.
Sedu sedanku tertahan dalam dada.
Aku benar-benar merindukanmu.
Kau harus percaya itu.
(Saman)
***
Sekali lagi lelaki yang setia menunggu kekasihnya, kini tengah pergi dengan wajah kusut. Hingga wajah bulan memeluk malam, tetap saja ia menunggu kekasihnya datang. Lelaki itu membuka ponsel memeriksa suhu cuaca untuk besok. Tergambar jelas matahari kecil berwarna kuning di balik awan dengan tulisan di sampingnya 36°.
Ia mendengus kesal. Kekasihnya tidak akan datang lagi. Malam yang penuh penantian. Saman merebahkan dirinya di atas kasur menatap langit-langit kamar. Ia menarik selimut dan perlahan matanya mulai menutup dengan memegang ponsel ditangannya.
***
Tergambar jelas sebuah foto seorang lelaki dan wanita dengan senyum merekah menemani setiap malam-malam Saman. Foto berukuran 6R berbingkai kayu dengan ukiran-ukiran indah di pinggirnya yang berwarna kecokelatan. Foto itu terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur Saman. Saat Saman mengingat kekasihnya, ia sering memandangi foto tersebut.
“Di mana kau Alena? Sudah 5 tahun lebih aku menantikanmu. Semua orang bilang kau sudah tiada karena kecelakaan itu. Tetapi aku tidak pernah pernah sebelum jasadmu ditemukan.” Suara Saman bergetar sembari cairan bening keluar dari dalam matanya. Ia memeluk foto itu dalam dekapan.
“Katamu, kau sangat menyukai hujan. Katamu, meski hujan jatuh berkali-kali tetapi ia tidak pernah bosan untuk membumi. Setiap kali kita berbincang memandangi derai hujan, kau selalu bercerita tentang rahasia hujan. Katamu, sederas apa pun alirannya ia tetap menghadirkan kelembutan dan menebar harapan.” Air mata semakin deras menjajah bola mata Saman.
“Aku menuruti perkataanmu. Aku yakin kau hanya pergi bermain bersama hujan. Kelak, kau juga akan kembali bersamanya. Setiap kali aku mendengar hujan, harapanku akan kedatanganmu terus bertahan. Hujan pasti akan membawamu pulang dan membawa cinta kita menari di bawah nyanyian rintiknya.”
Lelaki itu akan terus menunggu hujan. Berharap kekasihnya akan datang dari sembarang seberang. Entah ini adalah takdir yang mempermainkannya atau waktu yang akan menguji kesetiaannya.
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.