Lusi Hanasari
Anggota komunitas menulis COMPETER
Lelaki senja itu termenung. Garis-garis keriput tercetak jelas di seluruh permukaan kulit tubuh dan wajahnya. Giginya sudah tumbang dimakan usia dan hanya tinggal beberapa saja. Semburat matanya memancar tajam seolah-olah terasah berkali-kali oleh pengalaman hidup yang dilaluinya selama ini.
Kakek Marso, begitu orang-orang memanggilnya. Ia hidup sebatang kara di sebuah gubuk kecil yang setia melindunginya di berbagai macam cuaca. Gubuk berukuran 3×4 meter berdinding kayu, di dalamnya hanya beralaskan tikar tipis dan kardus-kardus yang ditumpuk. Celah-celah lubang tercipta diantara dinding dan pintu gubuknya, akibat serangan angin, panas, dan hujan, membuat sinar matahari diam-diam menerobos masuk ke dalam gubuk.
Setiap malam, ia beristirahat di atas kasur butut. Sedang sehari-hari, ia mengais rezeki dengan memulung. Tangannya mengais barang-barang bekas untuk mendapatkan beberapa koin logam dan lembar kertas guna menyambung hidup. Kakek Marso tinggal dan bekerja di daerah slum area yang memanjang mengikuti aliran sungai. Di tempat ini, masyarakat dari berbagai daerah dan budaya bercampur menjadi satu. Sebuah permukiman kumuh di dekat pusat pembuangan sampah.
***
Aku mencoba mengambil gambar diantara celah tumpukan sampah yang menggunung. Di balik gundukan sampah tersebut, kulihat wanita setengah senja mengais beberapa botol bekas, kaleng, dan plastik lalu dimasukkannya ke dalam karung. Ia tersenyum kecut saat melihatku memotretnya. Aku berlalu meninggalkan wanita itu karena sepertinya beliau tidak nyaman melihat aku memotretnya. Kemudian, mataku tertuju pada seorang kakek yang sedang memikul karung di pundaknya.
Ia berjalan dengan langkah pelan. Aku mendekatinya, memperlihatkan senyuman terbaikku. Ia kembali tersenyum ramah kepadaku. Terlihat gurat-gurat kecil diujung matanya. Bibirnya merekah menampakkan giginya yang tinggal beberapa. Jujur saja, aku terpesona dengan senyumannya. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang alami. Kakek itu menuju gubuk kecil, aku mencoba mengejarnya.
“Maaf sebelumnya, Kek. Bolehkah saya mengambil gambar kakek?” tanyaku spontan sesampainya aku di sampingnya. Aku merasa tidak ingin melewatkan kesempatan agar senyum kakek tersimpan di kameraku. Ia berhenti sejenak menaruh karung yang dipikulnya di atas kursi usang berwarna gelap yang terlihat hampir roboh.. “Kau ini siapa, Nak? Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.” Kakek itu bertanya dengan wajah bingung.
Aku menggaruk kepala saat pertanyaan itu meluncur dari mulut kakek. Aku tersenyum kecil lalu kuberitahu bahwa aku adalah seorang pengambil gambar amatiran. Ia mengangguk. Entah mengerti atau tidak, ia mempersilahkan aku mampir di muka gubuknya. Seorang warga menyapanya dengan memanggilnya kakek Marso. Ia membalas sapaan tersebut dengan melambaikan tangan.
Kakek Marso menyuguhiku segelas air putih. Aku langsung meminumnya karena sedari tadi merasa haus. Sinar matahari semakin meninggi hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara adzan berkumandang dari bilik mushola tak jauh dari tempat kakek. Ia bergegas masuk di dalam gubuk. Tak lama, ia kembali dengan membawa sarung dan songkok.
“Ini, Nak. Untukmu. Mari kita tunaikan kewajiban sebagai seorang muslim,” ujar kakek menyodorkan perlengkapan sholat kepadaku. Sekali lagi aku merasa malu kepada kakek Marso. Aku masih sering kali malas menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Banyak godaan yang berhasil mempengaruhiku sehingga sholatku terabaikan. Entah itu di tempat kerja, saat keluar bersama teman-teman, atau melakukan aktivitas lainnya.
Kami berjalan menuju mushola terdekat. Ia berjalan lamban dan sangat hati-hati sehingga langkah kakiku harus menyesuaikan langkah kakinya. Aku menuntun kakek menaiki tangga mushola. Kulihat sekeliling, ternyata terdapat mushola yang bersih meski tempat ini bisa dibilang jauh dari kata layak.
Setelah wudhu, aku segera memasuki mushola bersama kakek. Sambil menunggu jamaah lainnya, aku melihat kakek melakukan sholat sunnah sebelum dzuhur dengan khusuk. Kemudian ditutupnya dengan dzikir yang lirih. Sekali lagi, aku sangat malu kepada kakek. Meski kehidupannya terlihat kekurangan rupanya kakek tak pernah miskin iman.
Selesai sholat, kami menuju gubuk kakek. Aku bersandar sambil beristirahat di kursi usang milik kakek. Aku tersentak kaget saat tangan lemahnya menyuguhkan sebungkus nasi di hadapanku. “Ini, Nak. Maaf, kakek hanya bisa membelikan ini. Tolong diterima ya, Nak. Kakek akan kecewa kalau kamu tidak memakannya.”
Masha Allah, aku sangat bersyukur bisa berkenalan dengan kakek. Sebenarnya perutku dari tadi sudah keroncongan, tetapi aku sungkan berpamitan kepadanya untuk membeli makanan. Padahal rencananya aku ingin membeli makanan juga untuk kakek karena sudah mengizinkanku mengambil gambarnya. Tetapi, waktu berkata lain. Kakek terlebih dahulu melakukan kebaikan untukku.
Aku makan dengan lahap bersama kakek. Meski makanan yang ia berikan sangat sederhana, aku menyantap habis makanan yang diberikan olehnya. Sejak awal berkenalan dengan kakek, hatiku terasa damai. Aku belajar hal yang sangat berharga dari kakek. Kebahagiaan sesungguhnya bukan hanya dapat diraih dengan kekayaan, kedudukan, atau kemewahan tetapi dari keringanan hati yang selalu bersyukur kepada Tuhan. Kakek Marso adalah sosok tauladan.
Sewaktu kecil, aku sering mengeluh kepada ibu karena merasa bosan dengan masakan beliau sehari-hari. Sampai sekarang, jika aku memiliki sisa makanan, aku juga masih selalu membuangnya tanpa berpikir dahulu bagaimana susahnya mencari sesuap nasi. Aku tidak pernah berpikir, bahwa di luar sana banyak yang masih kelaparan dan bertahan dalam kerasnya kehidupan.
Tanpa sadar bulir air mata berjatuhan dipipiku saat melihat kakek menghabiskan makanannya tanpa sisa. Ia terlihat keheranan dan bertanya, “Loh, ada apa, Nak? Apa makanan yang kakek berikan tidak enak?”
” Tidak kek, aku hanya terharu melihat kakek makan dengan lahap dan terlihat begitu bersyukur dengan apapun keadaan kakek sekarang.” Aku mengusap air mata yang turun semakin deras. “Kamu itu ada-ada saja, Nak. Sudah sepatutnya kakek tidak merasa kurang. Selama hati kakek berada dalam kebaikan, disitulah letak kebahagiaan,” jawab kakek sembari menepuk-nepuk pundakku.
Senyumnya mengembang menampakkan gigi-giginya. Matanya kembali memancarkan kebahagiaan. Jujur saja melihat senyuman seperti itu, adalah momen langka bagiku. Rasanya, tidak semua manusia memilikinya. Sebelum undur diri, aku menyempatkan diri untuk berfoto bersama kakek di muka gubuknya. Foto ini akan menjadi foto yang paling berharga.
Melihat hasil foto kami, aku berniat menempelnya di buku harian kemudian menuliskan sebuah puisi untuknya.
“Lelaki senja
Senyummu mampu menyembunyikan luka
Bagimu derita tiada artinya
Kau tak bertahta
Kau tak berharta
Kau tak berkeluarga
Tetapi semangat hidupmu membara
Memberi kebaikan dan kebahagiaan
Bagi sesama
Terima kasih kakek karena memberiku
Pelajaran berharga
Apa arti bahagia sesungguhnya”
Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.
1 Comment
cloudyrnbw
semangat kak untuk ceritanya