Izza Fauzia Asrofi
Mahasiswa Farmasi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakata
Jika ditanya satu kata yang menggambarkan keluarga, apa yang terlintas di dalam pikiran kalian? Tentu terdapat banyak kata yang dapat mendefinisikannya. Tapi aku yakin, tidak sedikit dari kalian yang akan menyebut “rumah”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rumah berarti bangunan untuk tempat tinggal. Saat kita mengenyam pendidikan taman kanak-kanak dulu, mungkin ada juga guru yang mengartikan rumah sebagai tempat berlindung dari terik panas dan juga rintik hujan. Memang benar begitu adanya, bahwa rumah memberikan perlindungan bagi keluarga yang tinggal di dalamnya.
Istilah “merantau” sudah sangat umum kita dengar, terlebih jika ada anggota keluarga yang beranjak dewasa. Sebut saja mahasiswa. Banyak lulusan SMA sederajat jauh-jauh dari desa berangkat ke kota untuk menimba ilmu dan memperjuangkan masa depannya.
Tentu diperlukan penyesuaian antara kehidupan di rumah dengan kehidupan di tanah rantauan. Dulu, sarapan sudah dibuatkan ibu. Namun setelah merantau, semua harus diurus sendiri. Mulai dari memberi bahan, sampai memasaknya. Sering kali tidak memasak karena tidak sempat. Atau demi menghemat, lebih baik menjamak waktu sarapan dengan makan siang.
Ada kalanya mahasiswa menyempatkan pulang—bila akses ke rumahnya tidak merogoh kocek tinggi. Alasannya rindu, namun pastinya diiringi keadaan keuangan yang pilu. Meskipun kehidupan di rumah seringkali juga membutuhkan keprihatinan, tapi ajaibnya tetap bisa menyuguhkan sesuatu untuk di makan. Ibaratnya, bahan masak iso njedol ning mburi omah. Alias, bahan masakan bisa mengambil dari tumbuhan yang ditanam di belakang rumah. Dan di sinilah pengertian rumah yang lain, tempat kembali.
Namun, jika kita kembali ke definisi awal rumah, rumah hanyalah bangunan mati. Keadaan aman terlindungi dan rasa ingin kembali tidak akan merasuk ke dalam diri anggota keluarga bila tidak diiringi suasana baik yang diciptakan oleh keluarga itu sendiri. Tentu untuk mewujudkannya harus melibatkan seluruh anggota keluarga.
Namun, untuk memulainya diawali dari sosok ayah dan ibu. Bagaimanapun mereka yang “memulai” kehidupan. Keluarga dimulai dari ikatan sah serta cinta kasih keduanya. Anak-anak lahir bukan semata-mata hasil pemenuhan nafsu biologis, namun terdapat tanggung jawab besar di kemudian hari. Ada hak-hak manusiawi yang harus dipenuhi. Serta banyak yang harus diusahakan untuk mewujudkan generasi yang lebih baik.
Jika melirik anatomi dan fisiologi tubuh manusia, struktur terkecil dari tubuh manusia itu sendiri adalah sel. Kumpulan sel akan membentuk jaringan. Selanjutnya kumpulan jaringan akan membentuk organ. Kumpulan organ akan membentuk sistem organ. Dan pada akhirnya akan membentuk makhluk hidup alias manusia itu sendiri.
Terlihat sederhana memang, karena kita pasti pernah mendengar pejelasan ini di buku paket pelajaran biologi. Selain itu kita bisa membayangkan dengan cukup jelas wujud dari organ-organ pembentuk tubuh manusia tersebut. Namun seringkali pemahaman kita terlalu sederhana, menganggap bahwa penyakit manusia timbul karena kelainan pada organ tertentu.
Nyatanya kita perlu mentelaah lebih lanjut sisi dari organ tersebut yang bermasalah. Lebih dalam lagi menilik bagian-bagian sel dari organ tersebut. Karena pada dasarnya, di dalam sel masih terdapat struktur lain seperti organel sel, DNA, kromosom yang sangat mempengaruhi fungsi tubuh.
Sebut saja mitokondria, salah satu organel sel penyusun sel. Mitokondira memiliki banyak fungsi, namun fungsi utamanya adalah sebagai penghasil energi (ATP/Adenosin trifosfat) dari proses respirasi sel. ATP ini yang akan digunakan tubuh untuk menjalankan proses metabolisme.
Jika Mitokondria mengalami kerusakan, sel tubuh bisa mengalami kematian dan menumbulkan kerusakan pada organ. Sehingga bisa disimpulkan bahwa energi yang dihasilkan dari suatu proses yang terjadi di mitokondria sangat berpengaruh pada kehidupan makhluk hidup.
Begitu pula dalam kehidupan keluarga. Anggota keluarga akan merasakan kehidupan dalam keluarga bila mendapatkan energi dari proses yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Lebih detail lagi, proses itu berupa hal-hal yang dilakukan untuk mencapai tercukupinya kebutuhan fisik, psikis, spriritual, finansial, pendidikan, dan sosial.
Hal-hal tersebut banyak disampaikan dalam kajian pra-nikah. Untuk memantaskan diri satu antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan. Namun masih ada yang memperjuangkan hal tersebut sebatas sampai di jenjang pernikahan saja. Tidak memperjuangkan untuk anak-anak yang akan lahir dikemudian hari. Hal-hal tersebut bila tidak disiapkan dan diusakan dengan baik, dapat menjadi bibit kegagalan dalam berumah tangga dan berkeluarga.
Secara fisik, keluarga harus mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok, yaitu sandang, pangan, dan papan. Selain itu, meghindarkan dari hukuman fisik seperti memukul, menampar, dan sebagainya, harus diusahakan oleh orang tua dalam pola asuhnya. Hukuman fisik tidak hanya membekas luka pada bagian tubuh saja, namun berpotensial menimbulkan luka mental bagi anak-anak.
Figur orang tua yang kasar juga dapat mempengaruhi perilaku anak di lingkungan pertemanan yang tentu dapat membahayakan orang lain. Selanjutnya, secara psikis, keluarga dituntut untuk membesarkan anak dengan penuh kasih sayang. Tidak jarang karena keterbatasan fisik dan kemampuan anak, membuat orang tua menunjukkan penuntutan, sikap tidak menghargai, memarah-marahi yang tentu akan berdampak pada kepercayaan anak terhadap dirinya sendiri.
Kasih sayang bisa diwujudkan dalam bentuk perhatian, juga sikap fisik seperti memeluk dan mengelus kepala. Sikap ini mampu mengaktifkan hormon kebahagiaan (contohnya dopamin), dan menimbulkan ketenangan pada anak. Hal ini perlu ditekankan, agar sentuhan fisik orang tua tidak sebatas menyalami si anak sebelum berangkat sekolah.
Kebutuhan spiritual tidak kalah penting dari kebutuhan sebelumnya. Orang tua wajib hukumnya mengenalkan tuhan dan ajaran agama di dalamnya, sebagai guidance dalam kehidupan si anak. Nilai-nilai budi pekerti anak akan lahir dari ketelatenan orang tua dalam mengajarkan agama.
Selanjutnya pemenuhan kebutuhan finansial. Pola hidup keluarga sangat mempengaruhi tingkat konsumtif anak. Tentu anak harus terjamin kebutuhan keuangannya. Namun tidak perlu lebay dan menuruti semua yang diinginkannya. Hal ini justru akan membuat dia menjadi manja. Didik anak dengan kesederhanaan.
Bila menginginkan sesuatu, pastikan hal tersebut mendukung tumbuh kembang anak dan juga bisa diarakan untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Selanjutnya kebutuhan pendidikan dan sosial. Orang tua harus berusaha memberikan anak pendidikan terbaik.
Di samping pendidikan formal yang diberikan, tentu yang paling utama adalah peran orang tua dalam mendampingi anak belajar di rumah. Juga jangan terlalu membatasi anak dalam bersosialisasi dengan temannya. Mulai mengajak bertamu sejak masih kecil untuk mengasah jiwa sosial dalam dirinya.
Keluarga harus mengusahakan tercukupinya kebutuhan-kebutuhan tersebut. Karena jika tidak, anggota keuarga akan mencari pelampiasan pemenuhan kebutuhan itu dari luar rumah. Tidak hanya menandakan ketidak harmonisan dalam internal keluarga, namun berpotensial mengancam nama baik keluarga bila pelampiasan diwujudkan dengan hal-hal yang tidak benar.
Perlu kedewasaan dan rasa tanggung jawab untuk membina keluarga, jangan hanya memburu enaknya saja. Kasmarannya mudah, tapi tanggung jawabnya susah.
Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.
Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id
1 Comment
Реферальная программа binance
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.