Kuntowijoyo dan Introspeksi Intelektual Muslim Masa Kini

 

PUCUKMERA – Agama yang tumbuh subur dalam bumi tercinta ini, khususnya pada Indonesia dalam perkembangan peradaban islam mengalami perkembangan yang begitu baik, di mulai dari datangnya para pedangang dari Gujarat, India yang juga mensyiarkan islam sekitar abad ke-13.

Dalam buku Daliman ada bukti lain yang menunjukkan islam datang lebih awal lagi pada abad ke-7 berdasarkan sumber dinasti Tang menceritakan adanya orang Ta-shih yang identifikasi sebagai orang Arab (Daliman : 2012). Perjalan perkembangan islam berjalan cukup panjang dan menarik. Hingga saat ini agama islam telah menjadi agama mayoritas di bangsa Indonesia.

Bukti-bukti sejarah terkait perkembangan islam, peran muslim bagi bangsa Indonesia sangatlah besar. Patutlah kita berbangga diri dengan jasa para tokoh islam Indonesia. Ahmad Dahlan, Hasyim Asyari, Jendral Soedirman dan Ir. Soekarno sebagai contohnya, muslim yang menjadi tokoh pembesar bangsa. Pemikir-pemikir islam yang terus menghasilkan sebuah gagasan dan gerakan islam yang turut mengembangkan perkembangan masyarakat.

Begitu pula dengan kaum intelektual muslim Indonesia seperti buya HAMKA, Kuntowijoyo, Buya Syafii Maarif, Nurcholis Majid dan masih banyak lagi. Karya-karya yang dihasilkan begitu mencenangkan, sampai saat ini karya-karya mereka selalu menjadi bahan kajian yang dibutuhkan dalam pergerakan islam.

Melihat perkembangan islam dalam bangsa kali ini, sepertinya kita patut membaca ulang gagasan-gagasan dari para intelektual muslim. Kuntowijoyo dengan “Islam Sebagai Ilmu”. Seolah sebuah peringatan bagi umat islam yang memahami islam hanya sebagai transendensi semata-mata dan hukum halal-haram.

Islam tidak akan sanggup meyakinkan orang dan mampu ikut dalam memecahkan permasalahan bangsa dan manusia. Parahnya lagi apabila islam hanya difahami sebagai hukuman berdasarkan syariat (potong tangan, rajam, cambuk) (Kuntowijoyo : 2006)

“Islamisasi pengetahuan“ menjadi “pengilmuan Islam” sebuah ajakan dari Kuntowijoyo untuk para intelektual islam. Keresahan kuntowijoyo pada gagasan islamisasi pengetahuan yang cenderung bersifat reaktif, gerakan intelektual islam seharusnya lebih maju.

“Islam sebagai ilmu” sebuah gagasan yang coba ditawarkan Kuntowijoyo, tiga sendi yang membangun gerakan ini. Mulai dari pengilmuan islam yang pertama, paradigma islam dan islam sebagai ilmu.


Dari teks ke konteks selangkah lebih maju “pengilmuan islam”. Ada berbagai sebab mengapa orang islam harus melihat realitas melalui islam. Realitas tidak dapat dilihat secara langsung oleh orang tetapi melalui tabir. Orang islam banyak terpengaruh ilmu-ilmu sekuler yang tidak semuanya objektif seperti didaku.

Ada perbedaan antara paradigma ilmu sekuler dan ilmu integralistik, kuntowijoyo berpendapat ilmu-ilmu sekuler adalah produk bersama seluruh manusia, sedangkan ilmu integralistik adalah produk bersama seluruh manusia beriman. Sekarang ini adalah produk, partisan dan konsumen ilmu sekuler, maka jangan gegabah mengganggap ilmu sekuler rendah.

Kuntowijoyo (Sumber : basabasi.co)
 

Alur pertumbuhan ilmu sekuler di mulai dari filsafat-antropesentresisme-diferensiasi-ilmu sekuler. Sekularisme sering muncul karena klaim yang berlebih-lebihan dari ilmu. Sedangkan alur keilmuan integralistik dimulai dari Agama-teoantroposentrisme-dediferensiasi-ilmu integralistik. Ilmu integralistik yang menyatukan wahyu tuhan dan temuan pikiran manusia, tidak akan mengucilkan Tuhan atau mengucilkan manusia.

Dari sini diharapkan akan menyelesaikan konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.


Paradigma islam bukan gerakan intelektual balas dendam dengan segala cara. Seorang intelektual muslim harus objektif baik kepada muslim maupun non muslim. Paradigma islam tidak akan secara apriorik menolak ilmu sekuler. Benar bahwa islam sebagai ilmu akan selalu kritis terhadap semua pengetahuan, sekuler atau tidak, bahkan akan kritis terhadap diri sendiri.

Sampai saat ini terkadang perdebatan tentang islam masih berkisar pada tingkat semantik. Ilmu keislaman konvensional mengartikan toelogi sebagai ilmu kalam, sedangkan bagi mereka yang terlatih dengan tradisi barat atau cendekiawan muslim mengartikan teologi sebagai penafsiran pada realitas dalam perspektif ketuhanan.

Kuntowijoyo mengganti istilah “teologi” ke “ilmu sosial” untuk menghindari perdebatan. Yang sedang dihadapi adalah kebutuhan untuk dilakukannya transformasi sosial melalui perangkat-perangkat yang objektif.

Timbul pertanyaan ilmu sosial bagaimana yang akan kita terapkan, kuntowijoyo mengemukakan bahwa yang dibutuhkan ialah ilmu sosial profetik, tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa serta berdasar etik dan profetik tertentu.


Ilmu sosial profetik mempunyai tiga pilar utama, yaitu amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tu’minuna billah (transendensi). Pentingnya kesadaran nilai-nilai ilahiah yang membedakan etika islam dari etika materialistik.

Pandangan marxis bahwa superstruktur (kesadaran) ditentukan oleh struktur (basis sosial, kondisi material) bertentangan dengan pandangan islam tentang independensi kesadaran.

Demikian pula pandangan yang mengembalikan pada individu (individualism, eksistensisme, liberalism, kapitalisme) bertentangan dengan islam yang menentukan kesadaran bukan individu tetapi tuhan. Segala sekularisme bertentangan dengan kesadaran ilahiah.


Dehumanisasi banyak terjadi beriringan dengan perkembangan teknologi dalam masyarakat. Jachques ellul (1964) dalam karyanya the technological society mengatakan berapa jauh teknologi berpengaruh dalam kehidupan.

Manusia dalam zaman industri mudah sekali terjatuh, kehilangan kemanusiaan. Dibutuhkan suatu usaha untuk mengangkat kembali martabat manusia, humanisasi sangat diperlukan. (QS At-Tin : 5,6) dikatakan bahwa orang terjatuh ketempat paling rendah, kecuali orang beriman dan beramal sholeh, kiranya ayat ini menunjukakan humanisasi yaitu iman dan amal sholeh.


Sasaran liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan, sistem sosial, sistem ekonomi dan politik. Liberasi sistem pengetahuan ialah usaha membebaskan orang dari sistem pengetahuan materialistis, dominasi sktruktur misalanya kelas dan seks (kuntowijoyo : 2006).

Bagi umat islam transendensi berarti beriman kepada Allah, humanisasi dan liberasi harus mempunyai rujukan islam yang jelas. Oleh sebab itu umat islam harus meletakkan Allah sebagai pemegang otoritas, tuhan yang maha objektif. Ilmu sosial profetik harus menjadi pelayan umat, menjadi bagian dari inteligensi kolektif yang mampu mengarahkan umat ke arah evolusi sosial secara rasional (kuntowijoyo : 2006). [Didin]

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment