Korupsi Sejak Dini

Chusnus Tsuroyya
Penulis Pucukmera.id


PUCUKMERA.ID — Korupsi agaknya selalu menjadi topik yang menarik untuk dibahas. Korupsi menjadi semacam bulan-bulanan masyarakat dan berhasil membuat geram khalayak dengan mencuatnya isu pelemahan lembaga anti rasuah pada 2019 lalu. 

Sejak tahun 2004 hingga Mei 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat ada sebanyak 397 pejabat politik, 274 anggota DPR/DPRD dan 122 wali kota/bupati yang terjerat korupsi. Angka-angka tersebut belum termasuk kasus-kasus suap, penyalahgunaan wewenang, mark-up dan pungutan liar yang dilakukan oleh berbagai profesi seperti jaksa, hakim, pejabat eselon, gubernur dan pejabat-pejabat lainnya. 

Angka-angka tersebut, cenderung tidak menurun dari tahun ke tahun. Korupsi menjadi semacam hobi dan kebiasaan bagi pejabat kerah putih. Dan, lebih parahnya lagi, korupsi dianggap sebagai sebuah pemakluman bagi sebagian orang.

Lantas, sebuah pertanyaan muncul: Mengapa praktik korupsi justru kian menjamur? Mengapa korupsi tampak akrab di sekeliling kita?

Ketika ingin menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, saya jadi bersuuzan. Bagaimana jika korupsi kian menjamur karena sebenarnya kita sudah terbiasa dengan hal itu? Bagaimana jika korupsi tampak akrab di sekeliling kita karena sebenarnya kita diajarkan untuk bertindak demikian?

Begini, saya beri sebuah kisah. 

Ketika saya SD, saya selalu meminta uang SPP kepada Bapak atau Ibuk. Saya biasanya meminta uang lebih kepada mereka dengan harapan, sisa uang SPP tersebut bisa saya gunakan untuk jajan. 

Dulu, ketika saya masih di asrama, saya sering mengambil ayam goreng lebih dari jatah. Di saat yang lain hanya mengambil satu ayam goreng, saya bisa mengambil dua, bahkan tiga secara diam-diam. Ayam-ayam tersebut, tidak untuk saya bagi. Melainkan untuk mengisi perut saya sendiri. 

Seorang kawan juga pernah bercerita. Ketika menjadi panitia di sebuah acara, ia pernah melakukan mark-up anggaran kegiatan. Ia bilang, praktik demikian justru dianggap lumrah di lingkungannya, “Proses mark-up juga sering dilakuin secara gamblang antara pihak kampus (pemberi anggaran) sama panitia (penerima anggaran).” 

Mark-up, kata dia, dilakukan agar acara berjalan dengan lancar, tidak kekurangan suatu apa pun. Lebih-lebih, jika dari anggaran yang digelembungkan itu terdapat sisa uang. Tentunya, sisa uang tersebut akan digunakan demi kepentingan segelintir orang. Tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk meraup untung. 

Ya, meski perbuatan nilep uang SPP dan ambil jatah ayam yang saya lakukan tidak seberapa jika dibandingkan dengan korupsi yang dilakukan oleh Pak Edhy Prabowo dan Pak Juliari Batubara, tapi tetap saja perbuatan kami berawal dari niat yang tidak baik. Rasa ingin untung sendiri, rasa ingin aman dengan uang dan selalu merasa kurang pada akhirnya meliputi setiap tindakan kita. Perasaan-perasaan tersebut, akhirnya menjadi pembenar bagi kita untuk melakukan hal-hal culas itu.

Dari berbagai kisah yang saya sebutkan di atas, dapat dikatakan kalau kita sebenarnya memang lekat dengan korupsi. Meminjam istilah dari seorang kawan, kita dengan korupsi layaknya konco kenthel. Bagaimana tidak? Korupsi sudah tertanam dalam pikiran dan gagasan kita sejak kecil. Praktik korupsi bahkan dibiasakan, dilanggengkan dan diajarkan dalam forum-forum, dalam berbagai organisasi, hingga dalam instansi pendidikan sekalipun.

Sejenak saya berpikir, korupsi yang dilakukan oleh koruptor bengis macam Pak Edhy dan Pak Juliari itu, mungkin saja berawal dari kebiasaannya nilep uang SPP waktu sekolah dulu, atau mungkin berawal dari bakatnya menggelembungkan anggaran kegiatan sewaktu menjadi panitia di kampus.

Ini menjadi semacam pengingat: hal-hal besar lahir dari hal-hal kecil yang diulang-ulang. Korupsi pun begitu. Kebiasaan korupsi yang tanpa sadar kita lakukan sejak kecil, bisa mengantarkan kita pada tindakan korupsi yang lebih besar ketika dewasa nanti. Jika terus-terusan dilanggengkan dan dilumrahkan, bisa saja kita turut menyumbang angka korupsi di Indonesia yang dari tahun ke tahun kian bertambah.

Kita semua sepakat, bahwa korupsi memang menyusahkan dan merugikan. Terlebih rakyat menjadi pihak pertama yang dirugikan akibat korupsi. Kita juga tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika banyak koruptor baru yang lahir karena kebiasaan korup sejak dini.

Mungkin, pada akhirnya, kita tidak bisa menafikan kebiasaan korupsi kita sejak dini. Katakanlah, hal-hal tersebut sudah biasa kita lakukan sedari dulu. Tapi, bukankah sedari kecil kita juga diajarkan untuk menggunakan hati nurani dan rasa empati? Setidaknya, meski kita terbiasa melakukan hal culas sedari dini, kita masih memiliki hati nurani. Bukan begitu?


Pucukmera.id – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangunkk budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment