Konsep Pendidikan Islami Menurut Al-Ghazali



Bayujati Prakoso, S.I.Kom.
Penulis buku Manifesto Cendekiawan Berpribadi


Kamu calon konglomerat ya? kamu harus rajin belajar dan membaca, tapi jangan ditelan sendiri. berbagilah dengan teman-teman yang tak dapat pendidikan.” Begitulah ungkapan yang dilontarkan Wiji Tukul, sastrawan dan aktivis hak asasi manusia. Pernyataan tersebut bukan tanpa alasan, namun memiliki makna filosofis. Makna filosofisnya ialah terdapat nilai pendidikan, yang kemudian melalui pendidikan dapat membangun pengetahuan bersama. Makna lebih jauh, pendidikan seyogianya bukan dikonsumsi untuk sendiri-sendiri, melainkan pendidikan dikonsumsi untuk semua golongan. Dengan demikian, tercapainya pemahaman akan pengetahuan bersama (struktur kognitif yang kolektif), dan moral-etik kolektif.

Term pendidkan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan oleh seluruh insan di dunia. Dalam arti luas, pendidikan suatu keniscayaan dalam rangka membangun peradaban. Ada kalimat silogisme yang sangat populer di tengah kita, “Pendididkan yang baik, maka akan menghasilkan generasi yang baik & berkualitas”. Artinya, di sini pendidikan menjadi salahsatu pilar penting bagi kehidupan semesta.

Terdapat dua tujuan pendidikan dalam pandangan Imam Al-Ghazali. Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan di akhirat. (Primarni & Khairunnas, 2016: 113).

Baginya, ilmu adalah medium untuk taqarrub kepada Allah, yang Maha Memiliki Ilmu. Takada satupun manusia bisa sampai kepada-Nya tanpa ilmu. Wujud kebahagiaan dapat tercapai dengan ilmu dan amal, amal tak mungkin dicapai kecuali ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan begitu, modal kebahagiaan dunia dan akhirat tak lain adalah dengan ilmu dan mengamalkannya untuk umat. Al-Ghazali (dalam Primarni & Khairunnas, 2016: 113-114) juga menekankan pada proses penyusunan kurikulum pelajaran ilmu-ilmu agama yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Ia ingin memiliki gambaran yang makro, dan utuh tentang agama, yang diyakininya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan landasan yang dipahami dengan sungguh-sungguh. Kemudian, dengan itu menjadi cara berpikir yang penting dalam memberikan kerangka bangunan ilmu pengetahuan.

Hal ini kemudian yang kita sebut bahwa dengan memahami agama Islam secara holistik, dapat mampu menelaah berbagai problematika kehidupan, juga sekaligus dengan agama, dapat memberi sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan didasarkan atas konsep keagamaan, agar manusia terhindar dari kesesatan ilmu.

Oleh karenanya, mempelajari ilmu agama, berarti menekankan terlebih dahulu pada aspek yang lebih makro, utuh, holistik, dan memahami betul prinsip-prinsip agama, yang kemudian itu dapat menjadi rujukan/sumber bagi ilmu-ilmu yang ada di dunia. Islam secara historis telah memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan ilmu, seperti tokoh cendekiawan muslim Ibnu Sina dalam ilmu kedokterannya, Al-Ghazali, dan sebagainya.

Dalam menentukan keilmuan, Al-Ghazali membaginya menjadi dua, yakni ilmu aqliyah, dan ilmu amaliyah. Ilmu aqliyah, yang akan melahirkan filsafat dan ilmu pengetahuan murni yang menggunakan akal budi/rasio untuk menghasilkan berbagai teori, dan konsep sebagai landasannya, lalu harus didasari atas konsep keagamaan (yang memiliki sumber kebenaran hakiki), agar manusia terhindar dari adanya kesesatan dalam memahami ilmu.

Lalu, setelah fondasi keagamaannya tumbuh, dan kuat, pada titik ini ilmu amaliyah, penerapan dari ilmu pengetahuan murni yang menghasilkan berupa teknologi, ilmu praksis/penerapan lainnya dapat berguna untuk membuat manusia hidup dengan baik, bijak di dunia, sehingga peran sebagai manusia dapat maksimal. (Primarni & Khairunnas, 2016: 114-115).

Dengan konsep demikian, dapat dipahami bahwa konsep pendidikan Islam memiliki ciri-ciri konsep pendidikan holistik, yakni terdapat pengembangan intelektual dan prinsip kebermanfaat untuk semua,emosi, rohani, dan fisik. Dalam kerangka lebih jauh, pendidik sejatinya haruslah cerdas, bijak sejak dalam pikiran dan perbuatannya, baik akhlak-moralnya, memiliki rasa kasih sayang, penyabar, menguasai psikologis anak didiknya, memahami akan perbedaan potensi yang dimiliki anak didiknya, menjaga integritas pribadi (pendidik), dan lain sebagainya. Selain itu, murid haruslah berperilaku sopan santun, ramah, mendengar dan memperhatikan gurunya. Begitu juga orang tua sama-sama bertanggungjawab dalam melatih dan membentuk pribadi anaknya agar menjadi baik dan juga bijaksana. Anak haruslah diajari etika yang baik kepada teman sebaya, kepada guru, kepada orangtua, anak juga dilatih untuk bersikap rendah hati dan ramah dalam bergaul dan berinteraksi antar sesama teman atau lingkungan dimanapun ia berada. Anak menurut Al-Ghazali, sejatinya diajarkan bahwa ketinggian budi terletak pada memberi bukan menerima.


Baca tulisan terkait
Kalau Pendidikan itu Penting Kenapa Siswa Bolos Kelas?

Menelisik Feodalisme Pendidikan

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment