Konon, Ada Beragam Cara untuk Mengamalkan Nasionalisme

AS Rosyid
Seorang penulis dan pustakawan.


I

Selalu ada momen yang pas untuk kita mengekspresikan rasa bangga pada negara ini. Selalu ada tanggal peringatan hari tertentu. Selalu ada ucapan selamat. Selalu ada jargon―ini menarik. Terkadang, rasa bangga kita pada negara hanya bersifat jargonistis. Dangkal. Kita hanya tahu bahwa kita harus bangga pada negara. Tapi, untuk apa dan karena apa?

Dulu, Soe Hok Gie pernah menulis tentang angkatan yang lahir setelah angkatan 45. Ulasnya, angkatan 45 adalah angkatan yang penuh kebanggaan karena pernah bertaruh hidup mati melawan Jepang dan Belanda. Mereka terbakar jargon-jargon Bung Karno yang optimistik, bahwa Indonesia bisa menjadi negara besar yang dikiblati bangsa-bangsa lain.

Angkatan sesudah 45 itu lahir dan dipupuk optimisme di sekolah, bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka impikan. Ada yang ingin menjadi ahli fisika nuklir. Ada yang ingin menjadi antropolog yang meneliti mode produksi dan konsumsi berdikari milik suatu masyarakat pedalaman. Semua demi kebaikan Indonesia di masa depan.

Tapi mereka lupa, pasca perang banyak elit politik yang gagal menata nafsu kuasa. Negara korup selalu menciptakan kondisi yang mematah-bingkas harapan generasi mudanya.

Maka angkatan baru itu mengalami kekecewaan. Mereka yang ingin menjadi ahli fisika nuklir, tidak punya lembaga pendidikan karena politik internasional tidak memberi izin negara ketiga memelihara teknologi nuklir. Diizinkan pun, Soekarno lebih memilih membangun monumen―itu setelah sebelumnya kas negara dikorupsi lingkaran politiknya. 

Sementara calon antropolog harus menahan pahit karena, selain anggaran penelitian dari negara untuk pergi ke pedalaman tidak ada, ide keberdikarian itu pasti semu bagi Indonesia yang mengarahkan negaranya pada peradaban urban-industrial, yang masyarakatnya serba ingin praktis. Semua demi mengejar basa-basi kemajuan yang dipromosikan Barat.

Karena tidak becus mengurus negara, Orde Baru bangkit menumpas Orde Lama. Tapi apalah artinya Orde Baru itu bila sama-sama korup dan zalim. Sama-sama bermental pura-pura.

II

Maka apa nasionalisme itu, sesungguhnya? Nasionalisme adalah rasa menjadi bagian dari suatu bangsa dan negara, memilikinya, dan siap membela bila ada yang menyerang. Akar nasionalisme adalah kepedulian, tapi nutrisi utamanya adalah kritisisme: sikap siap untuk meninjau ulang dan mempertanyakan penerapan dari nasionalisme. Sudah matangkah?

Kepedulian kita pada bangsa kita ternyata tidak cukup sekadar kepedulian geografis, di mana kita harus berteriak “Merdeka!” bila wilayah kita hendak dicaplok. Kepedulian itu terkait juga dengan tingkat kesejahteraan, kualitas SDM, dan keutuhan SDA. Untuk memelihara ketiganya dibutuhkan ketekunan, keikhlasan, dan keberanian.

Ketekunan dibutuhkan untuk belajar. Kita tidak mungkin mengerti kompleksitas kemiskinan kalau tidak tekun belajar. Tidak mungkin membangun irigasi mandiri di desa kalau tidak belajar. Sebaliknya, keikhlasan dibutuhkan untuk berpraktik. Cuma mengerti kemiskinan tidaklah cukup: seseorang harus berkorban terjun ke akar rumput untuk mengentaskannya.

Adapun keberanian dibutuhkan untuk melawan kezaliman. Ini penting. Niat baik akan terjegal oleh orang-orang yang “memiliki niat baik untuk dirinya sendiri.” Ada masalah yang perjuangannya tidak menuntut terlalu banyak resiko. Ada masalah yang perjuangannya mengancam nyawa. Keberanian dibutuhkan untuk melakukan protes dan melancarkan kritik.

Masalahnya, ada sebagian orang yang lugu (baca: naif) menilai negara. Mereka pikir, pemerintah selalu berniat baik dan selalu bersungguh-sungguh ingin menyejahterakan warga. Mereka pikir, korupsi itu cuma tentang mengambil uang rakyat. Mereka pikir bendungan, jalan tol, dan mal tercipta begitu saja tanpa masalah. 

Orang-orang lugu itu tidak tahan mendengar pemerintah dikritik. Sebab, mereka tidak mengerti. Mereka adalah salah satu tipe rakyat yang paling suka mendendangkan ungkapan-ungkapan nasionalisme, tapi tidak tahu apa-apa tentang keadaan nation-nya sendiri. Nasionalisme mereka jargonal, tidak kritis. Tidak ada yang lebih menyedihkan dari itu.

III

Nasionalisme jargonal adalah tipe nasionalisme yang mudah dikooptasi oleh negara untuk membenarkan narasi-narasi tertentu milik para elit yang berkepentingan. Sebaliknya, nasionalisme kritis membutuhkan wawasan, pengalaman, dan kesadaran. Semua itu hanya bisa ditumbuhkan dengan belajar, berpraktek di akar rumput, dan menyeksamai keadaan.

Sejujurnya, saya pribadi sudah sangat tidak antusias dengan jargon-jargon nasionalisme yang kerap saya dengar dari kawan-kawan saya. Saya bahkan tidak pernah menggunakan hak pilih saya, sekali saya tahu mesin politik bekerja dengan cara yang korup dan pilihan yang disajikan pada kita adalah hasil dari kerja korup itu. Lah, siapa yang bisa dipilih, kalau begitu? 

Saya bahkan selalu masygul bila kebetulan membaca esai murid-murid saya di Madrasah, tentang betapa mereka percaya pada kebaikan negara. Mereka lupa negara itu benda mati, konsep khayali. Yang nyata hanyalah aktor. Negara itu siapa? Aktor yang menjalankannya. Sistem kita mengatur agar negara kita diisi aktor korup. Bagaimana saya tidak masygul?

Sial, bahkan saya merasa sangat bersalah ketika berkata pada mereka: “Kalian bisa menjadi apa yang kalian inginkan.” Saya benar-benar merasa telah berdusta. Di negara yang korup, orang-orang baik adalah oase. Orang-orang lugu adalah komedian. Tapi saya tetap harus memotivasi mereka. Sayalah yang harus mengalah: menelan siksa karena telah berdusta.

Tentu, senyana mengajar, saya tetap berusaha agar mereka kritis. Agar mereka memahami masalah. Agar mereka mengenal tokoh-tokoh (tua, muda, lama, baru) yang berusaha mengedukasi rakyat agar melek situasi dan berusaha memperbaiki keadaan. Saya mengenalkan buku-buku para tokoh itu, menyimak ceramahnya, dll. Sampai mereka paham, ada ragam cara bagi kita untuk mengamalkan nasionalisme. Sebab ada beragam pula masalah yang kita hadapi sebagai nation. []


Pucukmera.ID – Sebagai media anak-anak muda belajar, berkreasi, dan membangun budaya literasi yang lebih kredibel, tentu Pucukmera tidak bisa bekerja sendirian. Kami membutuhkan dukungan dan kolaborasi dari semua pihak. Untuk itu, kami merasa perlu mengundang tuan dan puan serta sahabat sekalian dalam rangka men-support wadah anak muda ini.

Tuan dan puan serta sahabat sekalian dapat men-support kami melalui donasi yang bisa disalurkan ke rekening BNI 577319622 a.n Chusnus Tsuroyya. Untuk konfirmasi hubungi 085736060995 atau email sales@pucukmera.id.

What's your reaction?
0Suka0Banget
Show CommentsClose Comments

Leave a comment